Saat Sang Raja Menunduk: Refleksi atas Kemunduran Surabaya Samator di Proliga 2025

oleh -706 Dilihat
RIVAN NURMULKI
Rivan Nurmulki, eks pemain Samator yang kini bermain di klub Jepang,

KabarBaik.co- Dalam dunia olahraga, kejayaan memang tak pernah abadi. Seperti ombak yang datang silih berganti. Kemenangan dan kekalahan adalah bagian dari irama kehidupan. Namun, ketika sebuah tim yang begitu melegenda, tiba-tiba terjerembab dalam kegagalan maka publik pun menjadi tertegun. Terlebih bagi para fans.

Begitulah kini nasib tim voli putra Surabaya Samator. Di Proliga 2025 menjadi babak yang menyayat. Tidak pernah menang dalam final four. Bahkan, seolah menjadi pecundang. Bulan-bulanan. Padahal, dua dekade tim ini dikenal sebagai simbol konsistensi, pembinaan, dan kejayaan voli putra Indonesia. Ada apa dengan Surabaya Samator?

Surabaya Samator bukan tim biasa. Berdiri di bawah naungan PT Samator Indo Gas Tbk pada awal 2000-an. Klub ini dibentuk bukan hanya untuk menang. Tapi untuk membina. Mengusung filosofi sederhana namun penuh makna. Membangun kekuatan dari akar, memberdayakan talenta lokal Jawa Timur, dan menjadikan disiplin sebagai napas kehidupan.

Dari fondasi itulah lahir pemain-pemain hebat. Sebut saja Rivan Nurmulki, Rama Fazza Fauzan, hingga nama-nama seperti Hendrik Agel dan Tedi Oka. Samator Surabaya adalah kisah kerja keras yang menjelma menjadi dominasi di panggung voli nasional. Betapa tidak, 8 kali juara Proliga. Capaian itu lebih dari sekadar angka, tapi bukti ketekunan.

Namun di tahun 2025, sang raja tampak kehilangan mahkotanya. Meski berhasil melaju ke babak final four, performa Surabaya Samator terasa pincang. Kekalahan demi kekalahan, terutama dari tim-tim seperti Jakarta LavAni dan Bhayangkara Presisi, membuat mereka seperti tim yang kehilangan arah. Skor menyakitkan 0-3 dari Bhayangkara Presisi menjadi pukulan telak. Bukan hanya secara angka, tapi secara mental dan filosofi.

Apa yang terjadi dengan Samator? Pertama, bisa jadi karena Samator kekurangan sparring partner. Di Kota Surabaya yang dulu menjadi lumbung atlet, kini Samator kerap berlatih tanpa lawan uji setara. Latihan pun menjadi monoton. Pelatih Rodolfo Luis Sanchez pun dipaksa meraba-raba komposisi ideal. Hanya lewat simulasi internal. Ibarat kapal yang mau berlayar jauh, namun hanya diuji di kolam. Nah, ketika masuk kompetisi, kerapuhan pun tampak.

Kedua, ketergantungan dan keletihan. Rama Fazza Fauzan menjadi simbol harapan sekaligus beban. Dalam beberapa pertandingan, hanya dialah yang mampu menembus dua digit poin. Saat melawan Garuda Jaya, misalnya. Rama mencetak 29 poin dan menyelamatkan wajah Samator. Tapi, voli adalah permainan kolektif. Ketika lawan-lawan mulai mengunci pergerakan Rama, ibarat sebuah kapal Samator pun limbung. Pemain asing Yaisel Punales gagal mengimbangi intensitas laga besar.

Ada ironi yang menyakitkan di sana. Dulu, Samator dibangun dari kolektivitas. Kini, mereka menjadi tim yang terlalu bergantung pada satu-dua pemain.

Ketiga, pertahanan yang rapuh dan blok yang terlambat. Dalam voli, blok adalah benteng terakhir. Namun pada Proliga 2025, blok Samator kerap terlambat. Koordinasi lini belakang kacau. Saat LavAni atau Jakarta Bhayangkara Presisi mulai memainkan quick attack dan kombinasi open spike, misalnya, Samator tampak seperti penonton. Terlambat merespons. Tentu, situasi ini bukan soal teknik semata. Namun, soal insting dan kebiasaan bertarung. Sesuatu yang tak bisa digantikan oleh latihan internal.

Barangkali, yang paling menyedihkan bukanlah skor, melainkan kehilangan ruh. Sejatinya, Surabaya Samator adalah tim yang dibangun dengan filosofi jangka panjang: Regenerasi, pembinaan, dedikasi. Tapi, di tengah gempuran klub-klub baru yang bermodal besar dan dua pemain asing bertenaga, Samator kini tampak seperti idealis yang kehabisan tenaga.

Kendati demikian, sejarah tidak bisa dihapus oleh satu musim yang buruk. Sejarah juga tidak boleh membuat jumawa. Samator perlu berefleksi. Mereka harus membuka diri terhadap pendekatan baru: scouting yang lebih luas, investasi pemain yang strategis, hingga perubahan dalam metode pelatihan.

Yang paling penting, mereka harus kembali pada akar Arek Suroboyo. Semangat membina, disiplin, dan kolektivitas. Bukan berarti menolak modernisasi, tapi menjadikannya alat, bukan tujuan.

Dalam filsafat Jepang, ada istilah kintsugi, seni memperbaiki keramik yang pecah dengan emas. Menjadikan retakan itu bagian dari keindahan. Samator sedang retak, tapi belum hancur. Dan jika mereka mampu memperbaiki diri, musim 2025 akan dikenang bukan sebagai akhir, tapi sebagai awal dari transformasi baru. Yang kembali membanggakan warga Jatim dan Indonesia.

Surabaya Samator mungkin dicap “pecundang” di Proliga 2025. Tapi di balik setiap kekalahan, ada pelajaran yang lebih dalam daripada kemenangan. Pecundang sejati adalah mereka yang menyerah. Dan Samator, dengan sejarah dan filosofi yang mereka miliki, terlalu besar untuk dikubur oleh satu musim kelam.

Mereka bukan hanya tim voli. Mereka adalah simbol tentang bagaimana kejayaan harus dirawat, bagaimana idealisme harus dijaga di tengah dunia yang berubah cepat. Dan mungkin, dalam diam dan luka, Samator sedang mempersiapkan babak kebangkitan yang lebih dahsyat. Karena dalam olahraga, sebagaimana dalam hidup, kadang harus kalah dulu untuk menemukan kembali makna menang yang sejati. Semoga. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.