KabarBaik.co – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemotongan dana insentif pajak di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD) Sidoarjo kembali digelar di Pengadilan Tipikor PN Surabaya pada Senin (14/10). Dalam persidangan tersebut, mantan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor dihadapkan dengan delapan saksi yang memberikan kesaksian terkait aliran dana pemotongan insentif.
Empat saksi yang dimintai keterangan lebih dahulu adalah Akbar Prayoga, Aswin Reza Sumantri, Gelar Agung Baginda, dan Perdigsa Cahya Binara. Keempatnya merupakan staf Prokopim dan ajudan Gus Muhdlor. Mereka membantah pernah menerima uang hasil pemotongan insentif pajak yang dilakukan oleh mantan Kepala BPPD, Siska Wati. “Kami tidak pernah menerima uang tambahan atau Tunjangan Hari Raya (THR) dari Siska Wati,” ujar Gelar Agung di hadapan majelis hakim.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andre Lesmana sempat menanyakan apakah mereka pernah menerima uang melalui Achmad Masruri, sopir Gus Muhdlor, sebagaimana disampaikan Siska Wati dalam persidangan sebelumnya. Namun, keempat saksi kompak membantah keterlibatan mereka dalam aliran dana tersebut. “Tidak pernah ada honor atau THR dari Siska maupun Pak Masruri,” tambah Aswin.
Dalam sidang sebelumnya, Siska Wati mengaku bahwa dia menyerahkan uang Rp 50 juta kepada Masruri. Uang tersebut disebut-sebut sebagai honor untuk 12 orang yang bekerja di Pendopo Kabupaten Sidoarjo. Namun, menurut keterangan saksi, mereka tidak pernah mengetahui adanya pemberian uang tersebut dan menegaskan bahwa mereka hanya menerima gaji dari APBD.
Selain itu, para saksi juga membantah pernah mempertemukan Siska Wati dengan Gus Muhdlor untuk menandatangani surat keputusan (SK) terkait insentif BPPD. Gelar Agung menyebut bahwa SK tersebut ditinggalkan di pos Satpol PP atau kantor Sekretariat untuk ditandatangani tanpa pertemuan langsung dengan bupati. “Saya hanya membantu proses administrasi, tidak ada pertemuan,” ujarnya.
Akbar Prayoga juga memberikan keterangan serupa. Ia mengatakan bahwa dirinya berkontak dengan Siska melalui aplikasi pesan WhatsApp, namun pada hari penyerahan SK, ia tidak sedang bertugas karena mengikuti sistem piket ajudan. “Saya bekerja dua hari di lapangan dan dua hari standby, jadi saat itu saya tidak di tempat,” katanya.
JPU juga menyinggung soal pembayaran Bea Cukai sebesar Rp 27 juta untuk paket dari Maroko yang diduga dibebankan kepada mantan Kepala BPPD Sidoarjo, Ari Suryono. Namun, para saksi kembali membantah adanya keterlibatan mereka dalam urusan tersebut. “Saya tidak pernah meminta uang kepada Bu Siska atau Pak Ari,” tegas Perdigsa.
Perdigsa menambahkan bahwa ia pernah menanyakan kepada Masruri mengenai biaya bea cukai itu, dan Masruri hanya mengatakan bahwa urusannya sudah beres. “Tidak ada instruksi dari Gus Muhdlor untuk meminta biaya itu, bahkan saya sampaikan kepada beliau bahwa saya akan menyelesaikan biayanya sendiri,” imbuhnya.
Kasus dugaan korupsi ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 25 Januari lalu di kantor BPPD Sidoarjo. Dalam OTT tersebut, 11 orang diamankan, termasuk Ari Suryono dan Siska Wati. Keduanya kini telah divonis bersalah oleh majelis hakim dengan hukuman masing-masing 5 dan 4 tahun penjara.
Dalam dakwaannya, KPK mengungkap bahwa kedua terdakwa memotong insentif ASN BPPD Sidoarjo sebesar 10 hingga 30 persen. Pemotongan tersebut berlangsung dari triwulan keempat 2021 hingga triwulan keempat 2023 dengan total kerugian negara mencapai Rp 8,544 miliar. (*)