OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)
PSSI akhirnya resmi memberhentikan Shin Tae-yong (STY), Senin (5/1). Pelatih asal Korea Selatan itu tidak lagi menjadi juru taktik Timnas Indonesia. Sebagai gantinya, federasi sepak bola Indonesia baru akan mengumumkannya ke publik pada 12 Januari mendatang,
Biasa. Keputusan itu pasti mengundang pro-kontra. Terlebih, diakui atau tidak, selama menjadi pelatih cukup banyak prestasi yang telah terukir oleh STY. Yang tengah berjalan adalah melanjutkan laga babak kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia di Grup C.
Memang, Indonesia masih dalam proses menuju ke pesta sepak bola terbesar sejagad. Tapi, capaian itu membanggakan. Mimpi menjejak rumput stadion Piala Dunia, terbilang tinggal selangkah. Euforia dan antusiasme menggila. Stadion penuh.
Karena itu, capaian STY bersama Skuad Garuda tentu pantas mendapat apresiasi tersendiri. Meski, kesuksesan tersebut tidak lepas dari formasi hasil naturalisasi. Meng-Indonesia-kan warga keturunan Indonesia yang tinggal di luar negeri.
Pergantian STY di tengah jalan tersebut tentu bukan keputusan tanpa alasan. Tidak datang tiba-tiba dari langit seperti air hujan. Namun, sudah melalui pertimbangan matang-matang. Dan, seperti sudah disampaikan oleh Ketua Umum PSSI Erick Thohir, keputusan diambil berdasarkan evaluasi-evaluasi yang komprehensif.
Bukan berarti dapat ditafsirkan kinerja kepelatihan STY selama ini tidak baik. Mayoritas masyarakat bola tanah air, pasti tidak menampik sederet prestasi yang telah dicapainya bersama Timnas Indonesia. Kalaupun ada, Bung Towel pasti di antaranya.
Tapi, ibarat seorang sopir kendaraan, jalan di depan tampaknya dianggap membutuhkan sopir lain. Keterjalan dan kelokan-kelokan di ujung jalan, dimungkinkan lebih berat. Butuh ganti sopir. Toh, hal ini biasa dilakukan tim-tim dimanapun dan kapanpun. Yang terbaru sekelas timnas Arab Saudi sekalipun.
Jalan di depan, Skuad Garuda akan menjalani empat laga ’’hidup-mati’’ untuk dapat merebut tiket ke Piala Dunia 2026. Yakni, bermain tandang ke Australia pada 20 Maret 2025.
Lalu, menjamu Bahrain (25 Maret 2024) dan menjamu China (5 Juni 2025). Laga tandang terakhir berhadapan dengan ”beton cor-coran” Jepang 10 Juni 2025. Nah, untuk menjaga asa itu Timnas Indonesia wajib mengantongi poin maksimal.
Anda sudah tahu, formasi Skuad Garuda sekarang. Yang sukses hingga menembus babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia itu. Mayoritas pemain naturalisasi. Kebijakan naturalisasi itupun biasa dilakukan negara-negara lain. Bahkan, tim Gajah sekelas Jerman.
Kalau dikerucutkan lagi, skuad Garuda hasil naturalisasi itu dari Belanda. Sebut saja, ada Shayne Pattynama, Ivar Jenner, Rafael Struick, Justin Hubner, Nathan Tjoe-A-On, Calvin Verdonk, Maarten Paes, Mees Hilgers, Eliano Reijnders, hingga Kevin Diks. Mereka semua ada darah merah-putih. Baik dari ayah, ibu atau nenek-kakeknya.
Setelah melakukan evaluasi, sangat mungkin PSSI akhirnya melakukan ’’ijtihad’’. Mengganti pelatih yang lebih pas. Pelatih dari Eropa. Karena mayortas dari Belanda, kemungkinan besar sang pelatih dari Belanda juga. Dengan demikian, chemistry semakin terbangun. Terutama antara pelatih dengan pemain. Apakah selama ini tidak ada chemistry antara STY dengan pemain? Tentu tidaklah tepat kesimpulan demikian.
Diakui atau tidak, memang terdapat beberapa perbedaan karakter antara pelatih sepak bola asal Asia dan Eropa. Berikut beberapa perbedaan itu yang dihimpun KabarBaik.co dari berbagai sumber. Namun, perlu dicatat perbedaan ini bersifat generalisasi. Tentu, pada kasus tertentu situasi dan kondisinya berbeda.
Pelatih Eropa:
- Taktik dan Strategi: Cenderung lebih menekankan pada taktik dan strategi yang kompleks dan inovatif. Mereka sering kali menerapkan formasi dan sistem permainan yang berbeda-beda, serta berani bereksperimen dengan taktik baru. Mereka juga cenderung lebih detail dalam analisis pertandingan dan persiapan taktik.
- Fisik dan Intensitas: Seringkali menekankan pada aspek fisik dan intensitas permainan. Latihan fisik yang keras dan intensitas tinggi dalam pertandingan menjadi ciri khas. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh iklim kompetisi di Eropa yang sangat ketat dan mengandalkan fisik yang prima.
- Komunikasi dan Ekspresi: Cenderung lebih terbuka dan ekspresif dalam berkomunikasi, baik dengan pemain, media, maupun publik. Mereka tidak ragu untuk mengkritik atau memuji secara terbuka, dan seringkali menunjukkan emosi yang kuat di pinggir lapangan.
- Otoritas dan Disiplin: Umumnya memiliki otoritas yang kuat dan menerapkan disiplin yang ketat di tim. Mereka memiliki kendali penuh atas tim dan menuntut kepatuhan dari para pemain.
- Adaptasi: Cukup adaptif dengan perubahan dan tren sepak bola modern. Mereka cenderung cepat mengadopsi taktik dan teknologi baru untuk meningkatkan performa tim.
Pelatih Asia:
- Harmoni dan Kolektivitas: Cenderung lebih menekankan pada harmoni tim dan kolektivitas. Mereka membangun hubungan yang dekat dengan para pemain dan mengutamakan kebersamaan tim.
- Disiplin dan Kerja Keras: Sangat menekankan pada disiplin dan kerja keras. Latihan yang disiplin dan fokus pada dasar-dasar sepak bola menjadi ciri khas. Hal ini seringkali dikaitkan dengan budaya Asia yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
- Kesabaran dan Proses: Cenderung lebih sabar dan fokus pada proses pengembangan tim. Mereka tidak terburu-buru untuk meraih hasil instan dan lebih mementingkan perkembangan jangka panjang.
- Komunikasi yang Lebih Halus: Umumnya memiliki gaya komunikasi yang lebih halus dan tidak terlalu ekspresif. Mereka cenderung menghindari konflik terbuka dan lebih mengutamakan harmoni.
- Adaptasi dengan Budaya Lokal: Cenderung lebih beradaptasi dengan budaya lokal di mana mereka melatih. Mereka berusaha memahami dan menghormati nilai-nilai budaya setempat.
Anda suka ciri atau gaya mana? Mazhab Eropa atau Asia? Tentu masalah selera. Karena itulah ada yang suka gaya ini dan itu. Yang jelas, faktanya sepak bola asal klub-klub Eropa lebih banyak diminati daripada Asia. Piala Eropa pun terasa lebih seru dibandingkan Piala Asia bukan? Juara Piala Dunia pun belum ada yang dari Asia.
Lantas, apakah ada jaminan setelah diarsiteki pelatih asal Eropa kemudian Timnas Indonesia dalam lanjutan laga kualifikasi Piala Dunia 2026 nanti lebih baik? Lolos ke Piala Dunia. Tentu tidak ada yang bisa menjamin. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Tapi, seperti disampaikan di atas, keputusan PSSI tersebut bagian dari ikhtiar-ikhtiar. Ijtihad bola. Jika benar akan mendapatkan dua pahala, kalaupun salah akan tetap mendapat satu pahala. Gitu saja kok repot!
Tinggal, siapakah pelatih asal Belanda itu? Apakah betul Patrick Kluivert, salah seorang legenda Belanda itu? Atau Gus Hiddink, Louis van Gaal, atau Giovanni van Bronchkhorst? Tebakan Anda siapa?
Yang jelas, menarik dan happening untuk terus diikuti dunia bola. Di tengah kabar-kabar kenaikan sejumlah pajak yang dibebankan ke rakyat Indonesia dan harga-harga kebutuhan pokok. Kita mungkin mumet, tapi tampaknya tidak dengan Pak Slamet. (*)
—
*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik

 
											




