Saudara-saudara, saya telah mencanangkan bahwa Indonesia harus segera swasembada pangan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kita harus mampu memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia. Saya sudah mempelajari bersama pakar-pakar yang membantu saya. Saya yakin, paling lambat 4-5 tahun kita akan swasembada pangan. Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia.
Itulah satu di antara penggalan pidato Presiden RI ke-8 Jenderal (Pur) H. Prabowo Subianto. Di hadapan majelis tertinggi negara: MPR. Pada 20 Oktober 2024 lalu. Rakyat mendengarnya. Jejak digital pun telah mencatatnya. Menjadi bagian lembar sejarah, yang pasti tak terhapuskan.
Pidato itu terdengar dengan suara lantang. Khas karakter Presiden Prabowo sebagai seorang prajurit. Terpancar keseriusan. Tidak main-main. Tepuk tangan terdengar bergemuruh. Berkali-kali dalam ruangan gedung bundar Senayan itu. Media-media arus utama pun banyak mengulasnya. Memberi apresiasi atas pidato luar biasa tersebut.
Rasanya sangat rasional apa yang dikemukakan Presiden Prabowo. Ketahanan pangan ke depan begitu teramat sangat pentingnya. Kalau tidak boleh dibilang menjadi ’’harga mati’’. Sebab, sejatinya Negeri ini sangat kaya. Diberkahi rahmat dan karunia Tuhan yang luar biasa. Seperti dalam lirik lagu Koes Plus: Tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman.
Karena itu, seperti disampaikan oleh Presiden Prabowo, kita tidak boleh tergantung sumber makanan dari luar. Dalam krisis, dalam keadaan genting, tidak ada yang akan mengizinkan barang-barang mereka untuk kita beli. Karena itu, tidak ada jalan lain dalam waktu yang sesingkat-singkatnya kita harus mencapai ketahanan pangan.
Gemes. Mungkin itulah yang juga ada di dalam benak Presiden Prabowo begitu mendapat amanat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Betapa tidak. Narasi-narasi swasembada itu sudah kerap terdengar. Dari dulu sekali. Setiap kali ganti presiden. Toh, swasembada masih bagus dalam narasi. Faktanya, kita masih mendengar kata impar dan impor.
Kalaupun pernah dalam catatan sejarah, swasembada itu terjadi di masa Presiden Soeharto. Yakni, pada tahun 1984. Yang Anda sudah tahu siapa Pak Harto itu, mertua dari Presiden Prabowo.
Genderang telah ditabuh Presiden Prabowo. Begitu nyaring. Target swasembada pangan sesingkat-singkatnya. Ibarat Timnas Indonesia, target Piala Dunia 2026 adalah ‘’harga mati’’. Dan PSSI telah menunjuk Patrick Kluivert sebagai pelatih kepala. Dengan dibantu banyak asisen pelatih, baik asing maupun lokal, target itu mesti dibuktikan.
Pun begitu sepertinya dengan target swasembada pangan. Presiden Prabowo telah memberikan amanat besar kepada Andi Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian (Mentan) dan Sudaryono sebagai Wakil Menteri Pertanian. Dua sosok yang terbilang sudah tidak diragukan jam terbang maupun kompetensinya.
Sosok Mentan, misalnya. Dia boleh dikata sebagai salah seorang tokoh petani dan pertanian di Indonesia. Baik rekam jejak akademik maupun pengalamannya. Selepas dari SMA, ia lulus sarjana Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas), melanjutkan Magister Ilmu Pertanian Unhas, dan doktor Ilmu Pertanian Unhas. Tinggal selangkah menjadi guru besar atau profesor.
Ibaratnya, soal-soal pertanian—kata orang Jawa—sudah pasti ngelonthok. Secara basic keilmuan di luar kepala. Ia pun pernah menjadi dosen di kampusnya itu. Tentu sederet prestasi pernah diraih. Salah satu di antaranya pada 2007 silam, mendapat penghargaan tanda kehormatan Satyalancana Pembangunan di Bidang Wirausaha Pertanian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Demikian pula pengalamannya. Sebelum dipercaya kembali dipercaya Presiden Prabowo, Amran sudah pernah menjadi Mentan di masa Presiden Jokowi. Yakni, pada Oktober 2014, yang tercatat sebagai Mentam ke-27. Setelah masa jabatannya selesai pada 2019 lalu, Amran kembali ke kabinet sebagai Mentan untuk menggantikan Syahrul Yasin Limpo yang terjerat kasus korupsi. Dia dilantik 25 Oktober 2023.
Bak dalam sebuah tim sepak bola, Amran kini adalah Coach. Dengan dibantu Wamentan Sudaryono yang juga anak seorang petani kampung di wilayah Grobogan, yang kemudian sukses menempuh studi di luar negeri, rasa-rasanya secercah sinar swasembada itu kian terang. Sejak dilantik pada 20 Oktober lalu, nyaris hari-hari kedua tokoh bidang pertanian itu dihabiskan untuk berkeliling Nusantara. Dari satu daerah ke daerah lain. Menebar dan memastikan amanat seperti dalam pidato Presiden Prabowo itu.
Namun, diakui atau tidak, untuk mewujudkan swasembada pangan itu tidak semudah membalik telapak tangan. Ada tantangan-tantangan. Sama dengan permainan di sepak bola, pelatih kepala dan asisten sudah berjuang gigih, namun tidak ada dukungan dari elemen-elemen terkait lainnya, maka tentu bertepuk sebelah tangan.
Apalah artinya kegigihan Mentan dan Wamentan, jika tanpa support dari segenap stakeholder. Di sinilah pentingnya kolaborasi-kolaborasi. Pentahelix. Termasuk media massa. Utamanya, semua lembaga negara atau pemerintahan wajib holopis kuntul baris, sak-iyek sak-eko proyo, satu gerak satu kesatuan usaha. Dari pusat hingga ke daerah.
Rasa-rasanya di bawah komando Presiden Jenderal (Pur) H Prabowo Subianto dengan kegemesan dan ketegasannya sebagai seorang patriot atau prajurit, swasembada itu bukan lagi sebaagai narasi. Sebatas manis di bibir dan penghias media. Namun, kita tinggal menunggu waktu. Sesingkat-singkatnya itu. Wes wayahe. Semoga (*)