Tragedi UKT! Uang Kuliah Tunggal

oleh -1009 Dilihat

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

SAYA kaget, mungkin juga Anda, dengan pernyataan ini: Pendidikan tinggi atau jenjang kuliah bukan bagian dari program wajib belajar. Namun, kebutuhan tersier atau tertiary education. Sifatnya pilihan bagi masyarakat (baca Tempo.co, 22 Mei 2024).

Pernyataan itupun viral. Memunculkan beragam reaksi. Meluas. Di media pers. Apalagi media sosial. Seolah melarutkan sekuku logam Natrium (Na) ke secibuk air.

Kaget karena pernyataan itu disampaikan Prof Tjitjik Sri Tjahjandarie, salah seorang dosen saya. Dulu. Di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unair. Tepatnya, dosen ilmu Kimia. Yang belakangan saya baru tahu, ternyata beliau kini telah menjadi sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek.

Ketika saya masuk di Matematika FMIPA Unair pada 1993, mungkin Bu Tjitjik masih ingat bahwa uang SPP waktu itu ’’hanya’’ Rp 180 ribu per semester (enam bulan). Jadi, setiap bulannya Rp 30 ribu. Kalau lulus kuliah tepat waktu delapan semester, maka total uang SPP ‘’cuma’’ Rp 1,44 juta.

Mungkin zamannya Bu Tjitjik, besaran uang SPP jauh lebih kecil lagi. Sebab, beliau diterima di Kimia FMIPA Unair mulai 1987. Satu tahun lebih awal dari Anas Urbaningrum, mantan ketua umum PB HMI, yang masuk Unair pada 1988. Jika tidak salah, besaran SPP per semester di zamannya Rp 120 ribu.

Baca juga:  Pendaftar Tembus 785.058 Siswa, Ada Perubahan Jadwal Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Saya pun tertarik dengan deskripsi Mas Anas, senior saya di Unair itu. Sekaligus tergelitik. Dalam cuitannnya, buat orang kampung, membayar SPP sebesar Rp 120 ribu itu tidak ringan. Orang tua harus nekat. Bernyali besar. Apalagi, memiliki anak sekolah atau kuliah tidak satu.

Uang SPP di zaman saya, Mas Anas, dan Bu Tjitjik itu mungkin tidak mahal. Tapi, tentu juga tidak murah. Tak semua anak rakyat bisa dengan mudah membayar uang kuliah ‘’hanya’’ sebesar itu. Termasuk saya. Terkadang orang tua sampai harus berutang kesana-sini. Apalagi belum musim panen padi atau ikan bandeng.

Jika Mas Anas menganalogikan dengan harga gabah, saya membandingkan dengan ikan bandeng. Seingat saya, harganya masih berkisar Rp 3.000 per kilogram. Sebagian uang SPP kuliah saya itu juga dibayar dari hasil menjual ikan bandeng. Jika harga bandeng sekarang berkisar Rp 45 ribu, maka uang kuliah tunggal (UKT) yang setara waktu itu di angka Rp 2,7 juta. Atau kalau dikurskan dengan harga gabah, saat itu Rp 700, maka UKT saat ini idealnya hanya berkisar Rp 3,4 jutaan.

Bayangkan, kalau sekarang UKT jauh lebih dari Rp 4 juta per semester dan uang bulanan sebagai anak kos sekitar Rp 2 juta, pertanyaan Mas Anas, keluarga kampung level apa yang bisa mengirim anaknya untuk dapat kuliah? Belum lagi kalau UKT sampai belasan juta atau bahkan puluhan juta rupiah. Orang kampung kebanyakan pasti sudah ngeri lihat angkanya.

Baca juga:  Catat! SNBT Mulai 21 Maret, 15 PTN Terbaik Ini Bisa Jadi Paling Banyak Diincar

Para mahasiswa kampus generasi 70-an dan 80-an, pasti memiliki cerita penuh kepahitan, kenekatan, dan keserderhanaan. Yang penting berani daftar. Nekat untuk kuliah. Apapun kesukaran yang dihadapi.

Namun, saya sepemahaman dengan Mas Anas, memang proses itulah yang membuat mereka bisa memperbaiki nasib, termasuk keluarganya. Mereka pula yang berkontribusi besar karena kemudian mengisi birokrasi, jalur politik, akademis-intelektual, aktivis advokasi, dan lainnya.

Anak-anak rakyat itulah yang terbantu akses pendidikan tinggi oleh negara yang membuat kebijakan SPP relatif terjangkau. Kala itu. Outputnya adalah orang-orang terdidik yang ikut menjadi turbin penggerak perubahan sosial, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Orang-orang di kampus dan di berbagai kementerian serta lembaga, termasuk di Kemendikbudristek sekarang yang salah seorang di antaranya adalah Bu Tjitjik, merupakan produk kebijakan lama yang agak “ramah biaya” itu.

Jika sekarang UKT dinaikkan secara tidak terukur, akses pendidikan tinggi akan makin sempit bagi anak-anak orang biasa. Anak-anak rakyat akan terkena “tersierisasi” pendidikan tinggi. Kampus akan lebih ramah bagi kalangan yang ”ada”. Sementara anak-anak dari orang-orang yang “kurang berada” akan makin kecil kesempatannya. Ini adalah tragedi!

Baca juga:  Tidak Lolos SNBP? Tetap Semangat, Baca Strategi Jitu Ini untuk Bisa Tembus SNBT

Saya pun berfikiran, boleh jadi hal itu linier dengan tingginya pemakai jasa pinjaman online (pinjol), bahkan mungkin pengguna judi online di Indonesia. Yang jumlahnya ratusan trilunan itu. Bukankah hasil temuan PPATK, mayoritas usernya kalangan menengah ke bawah? Mereka mungkin terpaksa menempuh ’’jalan ninja’’ itu. Termasuk membiayai kuliah.

Alih-alih asa Indonesia Emas pada 2045, kalau kemudian jalan menuju ilmu dan pengetahuan terasa begitu terjal dan berat. Bukannya emas yang didapat, khawatirnya malah logam karsinogenik. Berkarat.

Teringat lagu jenaka almarhum The Lord Didi Kempot: Ku coba coba melempar manggis, manggis ku lempar mangga ku dapat. Ku coba coba melamar gadis, gadis ku lamar janda ku dapat.

Meskipun dibilang kebijakan hanya untuk mahasiswa baru, saya juga sepemahaman bahwa argumentasi tersebut bukanlah argumen. Toh, mahasiswa baru akan segera menjadi lama pada tahun berikutnya.

Jadi, kembalikan pada semangat pendidikan “untuk semua”, bagi sebanyak mungkin anak rakyat. Pendidikan yang merdeka dan membebaskan. Yang menjadi cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara serta pendiri bangsa lainnya. Bukan hanya atas tafsir tunggal mereka. Penguasa. Semoga!

—-

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kampung Suci, Gresik.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.