Yatim sejak Usia 9 Tahun, Guru Besar Cerdas Alumnus Unair Itu Berpulang

oleh -3212 Dilihat
PROF HADRIADI

KabarBaik.co- Civitas akademika Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tengah berpayung duka. Salah seorang guru besar sekaligus dokter terbaiknya telah berpulang. Yakni, Prof Dr R. Hariadi SpOG (K). Rabu (4/2), dokter spesialis obstetri dan ginekologi (kandungan) itu meninggal dunia di usia 88 tahun.

Bagi mereka yang mengenal almarhum semasa hidup, Prof Hariadi merupakan sosok yang bekerja dengan hati ikhlas, sabar, setia, serta selalu bersyukur. Penampilannya tampak begitu sederhana. Tutur bahasanya lembut. Selalu memberikan hope dan ketenangan. Terutama bagi para pasiennya.

Dari berbagai sumber yang dihimpun, Prof Hariadi terlahir dari keluarga guru. Ayahnya, R. Tamat, dan ibunya, Rr. Suparti Mursutji, dulu seorang pendidik. Demikian juga adik dan kakaknya. Prof Hariadi lahir dari keluarga besar. Jumlah saudaranya sembilan orang. Prof Hariadi anak kedua. Lahir di Malang, 1937.

Karena itu, darah gurunya mengalir. Saat masih kecil, Prof Hariadi juga bercita-cita menjadi guru. Mengikuti jejak keluarga besarnya. Cita-cita itu terkabul. Ia menjadi dosen yang juga merupakan tenaga pendidik, sekaligus sebagai dokter. Prof Hariadi menjadi dosen sejak 1964 atau setahun setelah menyandang gelar dokter dari Fakultas Kedokteran (FK) Unair.

Sebelumnya, setelah tamat SMA pada 1955, ia mendaftar pada tiga universitas. Pertama, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Malang, yang saat itu merupakan cabang Unair. Kedua, mendaftar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ketiga di FK Unair. Ternyata, Prof Hariadi diterima di tiga PTN tersebut. Ia menjatuhkan pilihan ke ITB.

Beda dengan sekarang, di awal perkuliahan ketika itu belum ada penjurusan atau program studi. Namun, Prof Hariadi tidak lama di ITB. Hanya satu semester. Faktor biaya menjadi penyebabnya. Padahal, kala itu, ia sudah merencanakan untuk memilih Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA). Harapannya tidak lain agar bisa mewujudkan mimpinya. Jadi guru.

Sejak usia 9 tahun, Prof Hariadi menjadi yatim. Ayahnya telah meninggal dunia. Untuk biaya sekolah dan kuliah, dia mendapat sokongan dari Etty Setyowati, kakak pertamanya, yang saat itu menjadi guru di SMP Negeri 2 Surabaya. Nah, sang kakak mau membantu biaya kuliah. Asalkan, Prof Hariadi kuliah di Kota Surabaya saja. Bukan di Bandung. Kuliah di Surabaya biayanya tentu jauh lebih hemat.

Prof Hariadi mengalah. Menuruti persyaratan sang kakak. Dengan berat hati, akhirnya ia boyongan dari Kota Kembang Bandung ke Surabaya. Saat masa penerimaan mahasiswa baru, Prof Hariadi pun mendaftar kembali ke FK Unair. Karena memang cerdas, ia diterima lagi di FK Unair.

Prof Hariadi pun memanfaatkan kesempatan itu. Belajar serius dan bersungguh-sungguh. Harapannya juga mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Lumayan, beasiswa itu cukup membantu untuk membeli buku dan biaya kuliah lainnya. Pada tahun 1963, Prof Hariadi lulus dari FK Unair. Semula, ia ingin berkarier sebagai dokter. Namun, salah seorang guru besar FK Unair Prof Haryono memintanya untuk menjadi asisten dosen. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi dosen. Dengan demikian, ia pun tetap menjadi pendidik sebagaiman yang dicita-citakan sejak kecil.

Dalam sebuah wawancara dengan media, Prof Hariadi ketika itu menyebut bahwa dosen dan dokter hakikatnya tidak jauh berbeda. Kedua profesi itu bertujuan mendidik. Guru atau dosen mengajar kepada murid, sedangkan dokter kepada pasien. “Dokter tidak hanya memberikan resep kepada pasien. Tapi juga memberikan pendidikan kepada pasien agar dapat menjaga Kesehatan,” ungkapnya ketika itu.

Namun, kalau melihat dari sisi finasial memang ada perbedaan mencolok dari dua profesi tersebut. Ada gap pendapatan antara dosen atau guru dan dokter. Seorang dokter, khususnya yang sudah bergelar spesialis, bisa dengan mudah memiliki mobil-mobil bermerek. Sebaliknyaa, jika mengandalkan gaji dosen, rasanya sangat sulit diraih. Ia pun merasakan sendiri hal itu.

Semasa hidup, selain lama menjadi dosen, Prof Hariadi juga pernah menjadi CEO salah satu rumah sakit ternama di Surabaya. Setelah pensiun sebagai dosen, ia justru diberi amanah mengemban tugas menjadi CEO RS Husada Utama, yang berlokasi tak jauh dari gedung FK Unair. Meski tidak mempunyai dasar menjadi seorang direktur, tak membuatnya lekas berputus asa dalam menjalani sesuatu yang baru. Tekuni setiap tugas dengan ikhlas dan kerja sebaik-baiknya, maka hidup terasa ringan tanpa beban. Soal hasil, biarlah tetap menjadi urusan Tuhan.

’’Dokter itu profesi mulia dan terhormat karena tugasnya mengabdikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat. Jangan melihat dari sudut pandang berapa besar materi yang akan didapat. Seorang dokter harus mempunyai jiwa mengabdi dan tulus memberi,”pesannya dalam sebuah wawancara kepada wartawan pada 2015 silam.

Kini, Prof Hariadi telah berpulang. Sugeng tindak Prof. Semoga husnul khotimah. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.