112 Tahun Tragedi Titanic, Awalnya Diklaim Tidak Bisa Tenggelam, Bahkan oleh Tangan Tuhan Sekalipun

Editor: Hardy
oleh -379 Dilihat
Ilustrasi tenggelamnya Kapal Titanic karya Willy Stower (Capture Historia.id)

KabarBaik.co- Tepat 112 tahun lalu atau 15 April 1912, tragedi besar mengguncang dunia. Kapal pesiar terbesar dan termegah di abad itu, RMS Titanic, tenggelam. Diperkirakan sebanyak 1.500 orang turut terkubur di dasar laut. Tenggelamnya kapal nomor wahid itu melegenda hingga sekarang. Film Titanic juga luar biasa.

Mulanya, Titanic diklaim sebagai kapal yang takkan bisa tenggelam. Bahkan oleh tangan Tuhan sekalipun. Kapal itu dibangun oleh maskapai White Star Line, Inggris, mulai 1908.

Produksi kapal itu sebagai jawaban atas persaingan transportasi laut kelas elite dengan dua kapal milik maskapai Cunard yang belum lama diluncurkan. Yakni, RMS Lusitania dan RMS Mauretania, serta kapal milik maskapai Hamburg-Amerikanische Packetfahrt-Aktien-Gesselschaft (HAPAG), SS Konig Friedrich August dan SS Imperator.

Titanic dibuat hampir berbarengan dengan RMS Olympic dan HMHS Britannic, buah karya arsitek Thomas Andrews Jr. dan anak buahnya dari galangan kapal Harland and Wolff asal Belfast, Irlandia Utara.

Andrews, menurut David F. Hutchings dan Richard P. de Kerbrech dalam RMS Titanic 1909-12, merancang Titanic dengan memodifikasi desain standar di Harland and Wolff. Dimensi yang lebih besar dan lebih mewah dari para pesaingnya, yakni berukuran panjang 269 meter dan lebar 28,2 meter berikut empat cerobongnya sebagai exhaust.

Sebagai wahana pesiar nomor wahid, Titanic punya dekorasi interior mewah. Semua fasilitasnya high-end, utamanya yang eksklusif untuk para penumpang kelas satu. Titanic diklaim takkan bisa tenggelam.

Andrew memang merancangnya sedemikian rupa agar tetap bisa berlayar dengan mulus tanpa terombang-ambing jika diterpa badai di lautan. Demi tetap menjaga estetika dek kelas satu Titanic diputuskan membawa sekoci 20 unit  saja dari rencana 48 unit. Toh, Titanic diklaim tidak bisa tenggelam.

Sayangnya, Andrews khilaf bahwa ancaman transportasi laut bukan hanya badai. Namun, juga gunung atau bongkahan es. Dan itu tidak masuk dalam perhitungannya. Akibatnya fatal.

Pada 14 April 1912 tengah malam, Titanic menabrak gunung es di tengah Samudera Alantik Utara. Dua jam kemudian, sudah memasuki 15 April, ia tenggelam di dasar laut dengan kedalaman sekira 12.500 kaki (3,8 kilometer).

Di tahun yang sama, ketika para keluarga korban masih berduka, sejumlah keluarga konglomerat yang anggota keluarganya juga jadi korban sudah mulai membentuk konsorsium. Tujuannya, untuk mencari cara bagaimana menemukan lokasi bangkai Titanic–hingga era 1980-an masih dipercaya dalam keadaan utuh dan tidak terbelah dua–lalu mengangkatnya.

Letkol (Purn) Robert Duane Ballard penemu lokasi bangkai kapal Titanic dan wahana DSV Aliv (capture Historia.id)

“Masih di tahun yang sama Titanic tenggelam, perwakilan keluarga Astor, Guggenheim, dan Widener mencoba mengontak perusahaan Merrit and Chapman Wrecking, untuk membicarakan dengan serius kemungkinan operasi pengangkatan (bangkai) Titanic,” tulis Marc Shapiro dalam Total Titanic seperti dilansir Historia.id.

Meski kemudian wacana itu dibatalkan tiga keluarga konglomerat tersebut karena lokasinya belum ditemukan, bukan berarti upaya dengan tujuan serupa dari pihak-pihak lain menghilang begitu saja.

Dua tahun pasca-tragedi Titanic, seorang arsitek asal Denver, Colorado bernama Charles Smith, juga pernah mengungkapkan rencana itu. Namun ide itu tak pernah ditanggapi serius pihak swasta maupun pemerintah Amerika.

“Ide Smith adalah dengan menggunakan magnet yang kuat dan dikaitkan dengan sebuah kapal selam berdesain khusus. Haluan Titanic dianggap akan bisa dideteksi dengan magnet itu untuk menemukan lokasinya lebih dulu. Lalu magnet tambahan akan diturunkan ke air agar bisa ditempelkan ke lambung Titanic dengan kabel-kabel untuk mengangkat Titanic ke permukaan. Dia mengaku akan butuh kru sebanyak 162 orang dan biaya 1,5 juta dolar,” lanjutnya.

Berturut-turut upaya untuk mencari lokasi bangkai Titanic dengan motif memburu harta karun mulai marak pasca Perang Dunia II. Pada Juli 1953 kapal penyelamat Help yang dilengkapi peralatan penyelamatan barang dengan kendali jarak jauh dan kamera deep-dive mencoba peruntungannya.

Mereka juga membawa sejumlah bahan peledak untuk meledakkan lambung Titanic jika lokasinya ditemukan, untuk mengangkat harta-harta yang tertinggal. Percobaan kapal Help itu gagal. Pun dengan kali keduanya pada Juli 1954, lokasi Titanic masih belum ditemukan.

Pada 1966, seorang penggemar kisah Titanic asal Baldock, Inggris, bernama Douglas Woodley mengajukan rencana pencarian dengan menggunakan wahana bothyscape. Wahana itu juga diklaim bisa menarik lambung Titanic permukaan dengan cara dikaitkan ke balon-balon berbahan nilon. Woolley mengklaim berniat menjadikan bangkainya sebagai museum terapung di Pelabuhan Liverpool.

“Titanic Salvage Company sampai didirikan untuk mengatur skema itu dan sekelompok pebisnis dari Berlin Barat juga membentuk konsorsium, TitanicTresor untuk mendukung ide itu dari sisi keuangan. Tetapi proyek itu akhirnya batal setelah mereka belum menemukan solusi bagaimana caranya membuat balon itu mengembang di dalam laut. Perhitungannya juga menunjukkan akan butuh 10 tahun untuk menemukan cara bagaimana gas di dalam balonnya bisa mengatasi tekanan air,” ungkap John P. Eaton dan Charles A. Haas dalam Titanic: Triumph and Tragedy.

Masih dalam kurun 1970-an, muncul ide-ide yang lebih unik. Salah satunya adalah dengan memompa 180 ribu ton lilin cair Vaseline agar bangkai kapal Titanic bisa terangkat dengan sendirinya. Atau dengan memasukkan jutaan bola pingpong dengan harapan serupa.

Lainnya adalah rencana seorang bos kontraktor dari Walsall, Arthur Hickey. Dia mengajukan skema bahwa bangkai Titanic dibekukan terlebih dengan nitrogen cair. Setelah membeku, bangkainya akan bisa ditarik dengan kapal lain sampai ke pelabuhan terdekat.

Namun semua wacana itu mentah. Lagi-lagi karena koordinat tepat lokasi bangkainya pun masih belum bisa ditemukan. Secercah cahaya di ujung terowongan akhirnya baru tampak ketika pakar oseanografi dan geologi kelautan Amerika, Letkol (Purn) Robert Duane Ballard, melakoni ekspedisi dengan pendekatan yang lebih akademis. Ballard sudah menggencarkan upaya risetnya sejak 1977 dan baru berbuah manis pada 1 September 1985.

Ekspedisi berakhir sukses itu dimulai pada Juli 1985 ketika Ballard bekerjasama dengan AL Amerika dan beberapa peneliti IFREMER asal Prancis dengan menggunakan kapal riset Le Suroît. Selama berminggu-minggu tanpa lelah ia menaiki kapal selam mini Argo yang diturunkan dari Le Suroît untuk “menyapu” wilayah seluas 150 mil persegi di tengah Samudera Atlantik Utara berbekal peralatan sonar dan kamera laut dalam.

Selain untuk mencari bangkai Titanic, misi itu sekaligus untuk memetakan bangkai dua kapal selam nuklir, USS Thresher dan USS Scorpion pun mengecek hasil rekaman “penyapuan” dasar laut. Salah satu gambarnya menunjukkan puing-puing dan kemudian bangkai badan kapal. Baru satu jam kemudian ia yakin itu bangkai kapal yang identik dengan Titanic.

“Robert Ballard merayakan keberhasilan itu dengan para krunya. Tetapi mood di atas Knorr seketika berubah. Reaksi Ballard hening ketika keluar ke dek kapal. Para kru mengikutinya ketika waktu sudah memasuki pukul 01.40 dini hari. Ia pun memimpin momen mengheningkan cipta sejenak untuk para korban yang tewas di lautan pada 15 April 1912. Lima menit kemudian dia berkata, ‘Terima kasih semuanya. Sekarang kita kembali ke pekerjaan masing-masing’,” tulis Michael Burgan dalam Finding the Titanic: How Images fromt the Ocean Depths Fueled Interest in the Doomed Ship.

Bangkai Titanic ditemukan Ballard di 690 km tenggara pesisir Newfoundland, Kanada dengan koordinat antara 41 derajat 43 menit 32,99 detik lintang utara dan 49 derajat 56 menit 26,99 detik bujur barat. Hal baru yang juga terungkap adalah, Titanic bersemayam di kedalaman 12.500 kaki (3,8 kilometer) di bawah laut dengan keadaan terbelah dua.

Ballard baru kembali lagi ke lokasi bangkai Titanic pada Juli 1986 menggunakan kapal riset RV Atlantis II yang membawa kapal selam mini DSV Alvin. Ia menyelam kembali untuk merekam puing-puing dan bangkai Titanic, termasuk merekam bagian dalam bangkai.

Tetapi di balik keberhasilan itu muncul masalah baru. Banyak pihak lain yang kemudian mengklaim kepemilikan bangkai Titanic. Antara lain perusahaan asuransi Inggris, Liverpool and London Steamship Protection and Indemnity Association, yang sampai mewacanakan pengangkatan bangkai Titanic.

Lainnya, elite Inggris Douglas Faulkner-Woolley yang mengklaim kepemilikannya berdasarkan hukum Board of Trade tahun 1960. Hal lain yang juga dikhawatirkan Ballard adalah perburuan harta karun ilegal. Lokasi Titanic masih sangat rentan karena tak terlindungi dengan hukum maritim apapun lantaran lokasinya berada di luar wilayah laut Amerika, Kanada, maupun Inggris.

‘’Titanic harus dilindungi dan jangan sampai disentuh para pemburu harta karun. Perkembangan teknologi bawah laut saat ini sudah membuat piramida besar di laut dalam dengan mudah diakses siapa saja. Mereka bisa saja merampoknya seperti yang terjadi di (piramida-piramida) Mesir. Kita mesti melindunginya demi generasi-generasi yang akan datang,” seru Ballard dikutip Don Lynch dalam Titanic: An Illustrated History.

Seruan Ballard itu kemudian ditanggapi Kongres Amerika yang mengajukan RMS Titanic Maritime Memorial Act ke Parlemen dan Senat Amerika medio 1986. Upaya itu diperkuat dengan lobi-lobi diplomatik Kementerian Luar Negeri Amerika kepada para kolega mereka di Kanada, Inggris, dan Prancis.

“Undang-undang itu disahkan parlemen dan senat, serta kemudian ikut ditandatangani Presiden Ronald Reagan pada 21 Oktober 1986. Negosiasi antanegara itu sendiri baru berbuah dalam kurun 1997-2000 lewat kesepakatan Agreement Concerning the Shipwrecked Vessel R. MS Titanic yang kemudian diratifikasi pemerintah Amerika dan Inggris,” ungkap Tullio Scovazzi dalam “The Application of Salvage Law and Other Rules of Admiralty” yang termaktub di buku The Protection of the Underwater Cultural Heritage: Before and After the 2001 UNESCO Convention. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.