KabarBaik.co- Dahulu, sebelum lantunan ayat suci bergema di setiap penjuru desa, Tebuwung adalah tempat yang gelap dan gersang. Bukan hanya karena tanahnya, tapi juga karena hati penduduknya. Di tanah yang kini dikenal sebagai salah satu kampung santri itu dulu banyak bersemayam kemaksiatan. Mabuk, madat, maling, main, dan madon menjadi pemandangan biasa.
Namun, sejarah selalu punya caranya sendiri menyalakan cahaya di tengah gelap. Cahaya itu datang bersama langkah kaki seorang ulama karismatik dari Sidayu: KH Abdul Karim, keturunan Sunan Drajat, yang kelak menjadikan Tebuwung sebagai salah satu kiblat keilmuan Islam di Kabupaten Gresik bagian utara.
Tahun 1862 menjadi titik balik bagi Tebuwung. Saat itu, kepala desa (Kades) bernama Utsman telah berulang kali meminta tolong kepada para kiai untuk membina masyarakatnya. Namun, tak seorang pun sanggup menaklukkan kerasnya hati penduduk.
Sampai akhirnya, takdir mempertemukannya dengan Kiai Abdul Karim. Dengan penuh keikhlasan, sang kiai menerima permintaan itu dan hijrah dari Sidayu ke Tebuwung, sebuah langkah kecil yang kelak mengubah wajah sejarah.
Kiai Karim tidak datang membawa harta atau pasukan, melainkan membawa cinta dan kesabaran. Di tengah hutan Bendo, ia awalnya mendirikan sebuah surau sederhana pada tahun 1864. Dari sinilah berdiri Pondok Bendo, yang kelak dikenal dengan nama Pesantren Al-Karimi.
Dari surau kecil itu, gema azan pertama terdengar di tanah yang dulu sepi dari ibadah. Sedikit demi sedikit, Tebuwung bertransformasi. Dari sarang kemaksiatan menjadi taman keimanan.
Langkah Sang Wali: Perjalanan Ilmu dan Hikmah
Nama asli beliau adalah Raden Karmadin, lahir di Lamongan pada 11 Syawal 1245 H (5 April 1830). Sejak kecil, ia diasuh oleh pamannya, Kiai Asnawi, yang melihat cahaya spiritual di dahi keponakannya, tanda bakal seorang wali. Sejak muda, Karmadin telah ditempa dalam riyadah dan tirakat: nyirih, mutih, ngebeleng, hingga pati geni.
Dari Sidayu ia belajar kepada Kiai Mustahal, lalu berguru kepada Mbah Suto Sendang Duwur Paciran, hingga akhirnya menimba ilmu makrifat di Tanah Hijaz (Makkah). Di sana, ia berguru pada para ulama besar seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi, sejajar dengan sahabat-sahabatnya: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Kholil Bangkalan, dan Syekh Sholeh Darat.
Sepulang dari Makkah, ia mengganti nama menjadi Abdul Karim, tanda kelahiran spiritual baru. Ia membawa pulang bukan emas, melainkan ilmu dan hikmah. Tak heran jika kemudian Tebuwung dikenal sebagai pusat ilmu hikmah; kitab Syamsul Ma’arif dan berbagai kitab hikmah lainnya dikuasai dengan mendalam oleh sang kiai.
Warisan Tak Padam dari Tebuwung
Dari pondok kecil di hutan Bendo, Al-Karimi tumbuh menjadi lembaga besar yang melahirkan ribuan santri. Sistem hafalan kitab, nyasak kitab kuning, dan sorogan yang diwariskan Kiai Karim masih lestari hingga kini.
Seiring berjalannya waktu, pesantren ini berkembang pesat. Mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (1949), MTs (1968), Madrasah Aliyah (1974), lalu sekolah umum SMP (1980) dan SMA (1986), serta belakangan SMK (2017). Semua itu menjadi bukti bahwa ilmu dan iman dapat tumbuh berdampingan dalam satu ladang pengabdian.
Dari dua istrinya, Mas Amirah (keturunan Kanjeng Sepuh) dan Nyai Khodijah (keturunan Jaka Tingkir), Kiai Karim dikaruniai sebelas anak, yang kemudian menjadi cikal bakal para ulama di berbagai daerah. Dari Pesantren Al-Muniroh Ujung Pangkah, Tarbiyatut Tholabah Kranji, Qomaruddin Bungah, hingga Al-Islah Rengel Tuban dan Sunan Drajat al-Qosimiyyah Parung Bogor.
Mereka semua menyalakan kembali obor yang dulu ditanam oleh sang kiai di Tebuwung.
Kini, setelah lebih dari satu abad, nama KH Abdul Karim Tebuwung tetap harum. Di setiap sujud para santri Al-Karimi, dalam setiap lantunan ayat di langgar kecil hingga aula pesantren, doa untuk beliau tak pernah berhenti mengalir.
Dari desa yang dulu kering dan gelap, lahirlah pelita peradaban, cahaya yang tak padam, menerangi Gresik, dan menyinari Nusantara. (*)