KabarBaik.co – Didik Noga Ahfidianto dan Eva, pasangan suami istri (Pasutri) pembuat kue di Sidoarjo, harus berhadapan dengan gugatan perdata dari pengembang perumahannya, PT Chalidana Inti Cahaya.
Gugatan tersebut dilayangkan atas tuduhan bahwa Didik dan Eva menyerobot tanah tambahan di rumah yang mereka beli di Safira Juanda Resort, Kecamatan Buduran. Padahal menurut Eva, kelebihan tanah yang menjadi permasalahan merupakan kesalahan teknis dari pihak pengembang saat pembangunan.
Didik dan Eva membeli rumah tipe Miltonia seluas 9×16 meter dengan harga Rp 1,720 miliar pada September 2018. Namun, pada 2023 tanah tersebut menimbulkan polemik.
Tiba-tiba, PT Chalidana melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Sidoarjo dengan alasan terdapat kelebihan lahan seluas 2×9 meter yang diklaim sebagai milik pengembang. Didik merasa kaget dengan gugatan ini. Pasalnya, saat pembelian, lahan tersebut sudah termasuk dalam bangunan yang mereka beli.
“Saya beli unit sudah ada bangunan. Lalu kami renovasi menjadi 3 lantai pada 2019, dan itu sudah atas izin PT Chalidana,” kata Eva saat ditemui di rumahnya di Safira Juanda Resort B2/09, Minggu (17/11). Eva menegaskan bahwa renovasi yang dilakukan telah mendapatkan izin dari pengembang dan sesuai dengan batas bangunan yang ada.
Keputusan untuk merenovasi rumah tersebut dilakukan Didik pada 2019. Renovasi meliputi penambahan lantai menjadi tiga tingkat, yang menurut Didik telah sesuai dengan aturan yang disepakati bersama pengembang. Namun, setelah empat tahun menempati rumah tersebut, mereka justru mendapat tuntutan dari pengembang terkait kelebihan tanah tersebut.
“Yang salah bangun kan mereka (developer), kenapa kami yang harus menanggung kesalahannya,” imbuh Eva dengan mata berkaca-kaca. Eva merasa sangat dirugikan karena masalah ini muncul setelah mereka menempati rumah selama bertahun-tahun, dan tidak ada peringatan atau penjelasan dari pengembang saat proses jual beli berlangsung.
Menurut Didik dan Eva, pihak pengembang pernah melakukan mediasi terkait masalah ini. Namun, hasil mediasi dianggap tidak adil oleh Didik karena pengembang meminta mereka membeli satu unit lahan tambahan di belakang rumah.
“Kalau hanya mau dibeli kelebihannya saja (2×9 meter), mereka (PT Chalidana) tidak mau. Mereka minta satu unit lahan yang ada di belakang ini juga dibeli,” ujar Eva.
Keadaan ini semakin sulit bagi pasangan yang telah berusia 42 tahun tersebut, mengingat mereka masih harus membayar cicilan KPR selama 20 tahun. Tuntutan pengembang untuk membeli tanah tambahan dirasa sangat memberatkan bagi Didik dan Eva, yang telah mengeluarkan banyak biaya untuk renovasi rumah dan cicilan.
Kuasa hukum Didik dan Eva, Rohmad Amrullah, menyoroti kejanggalan dalam kasus ini. Menurutnya, pihak PT Chalidana baru menyampaikan masalah kelebihan tanah pada 2023, setelah rumah ditempati selama kurang lebih empat tahun.
“Padahal rumah tersebut sudah ditempati sekitar 4 tahun, kenapa kok baru sampaikan kalau ada kelebihan tanah pada 2023, kenapa tidak pada saat proses jual beli,” kata Amrullah heran.
Amrullah menduga bahwa kasus ini dimanfaatkan oleh pihak pengembang untuk mendapatkan keuntungan lebih dengan cara meminta kliennya membeli satu unit tanah tambahan. Menurutnya, seharusnya ketika akad jual beli telah selesai, maka tidak ada lagi permasalahan terkait bangunan dan tanah yang dibeli konsumen.
“Kami sebenarnya sangat berharap bahwa Owner PT Chalidana ini adalah ketua REI Jatim yang seharusnya memberikan contoh yang baik. Jangan hanya melihat satu sisi keuntungannya saja,” tegas Amrullah.
Rohmad Amrullah menambahkan, kliennya hanya menginginkan solusi yang adil, yaitu membeli kelebihan tanah 2×9 meter saja tanpa harus membeli unit tambahan yang tidak mereka butuhkan. “Solusi yang diinginkan oleh klien kami adalah kelebihan tanah itu saja yang kami beli,” ujarnya.
Di sisi lain, Tim Legal PT Chalidana Inti Cahaya Siti Khamidah, mengakui bahwa kasus ini merupakan yang pertama bagi perusahaan. Menurutnya, semua pembangunan rumah oleh PT Chalidana didasarkan pada sertifikat resmi, dan kelebihan tanah seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. “Karena dalam pembangunan rumah, PT Chalidana selalu berdasarkan pada sertifikat,” jelasnya.
Siti Khamidah menambahkan bahwa pihaknya sudah mencoba menyelesaikan masalah ini melalui jalur persuasif selama bertahun-tahun. Namun, ia mengklaim bahwa Didik Noga tidak merespons dengan baik solusi yang ditawarkan oleh PT Chalidana. “Namun dari bapak Didik Noga tidak merespons dengan baik solusi tersebut,” ungkap Khamidah.
Menurut Khamidah, gugatan ini tidak akan sampai ke pengadilan jika Didik tidak melakukan renovasi tanpa izin resmi pada bagian belakang rumah yang dijadikan tiga lantai pada 2019. “Bapak Didik Noga juga tidak pernah melakukan izin renovasi rumahnya di bagian belakang rumah menjadi 3 lantai kepada PT Chalidana,” tegasnya.
Namun, klaim dari pihak pengembang dibantah oleh Didik dan Eva. Mereka menyatakan bahwa izin renovasi sudah diajukan sebelum pembangunan dimulai dan telah disetujui oleh pihak pengembang saat itu. “Kami sudah mengajukan izin ke developer sebelum membangun. Tidak ada penolakan dari mereka waktu itu,” kata Didik.
Pasangan Didik dan Eva berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan adil tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang. Mereka hanya ingin membeli tanah yang dianggap kelebihan tanpa harus membeli unit tambahan yang tidak mereka butuhkan. “Kami hanya ingin kelebihan tanah itu kami beli. Tidak lebih dari itu,” pungkas Eva penuh harap. (*)