SEBUAH foto sederhana bisa berbuah kontroversi besar. Begitulah yang terjadi ketika dua menteri Presiden Prabowo Subianto, yakni Raja Juli Antoni (Menteri Kehutanan) dan Abdul Kadir Karding (Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) tertangkap kamera sedang asyik bermain domino bersama Aziz Wellang di posko Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS).
Sekilas, apa salahnya permainan domino? Bukan itu hanya hiburan ringan, sebuah kebiasaan sosial yang akrab di kalangan masyarakat? (Mungkin) tidak ada transaksi gelap, tidak ada dokumen rahasia di atas meja. Tapi, dalam dunia politik, simbol sering kali lebih keras suaranya daripada realitas. Foto itu menjadi viral, menciptakan tafsir liar, dan menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah pejabat publik berhak “bersantai” dengan figur yang sempat menjadi tersangka dan juga sempat ditahan dalam kasus illegal logging (pembalakan liar), betapapun status hukumnya sudah gugur?
Memang, secara hukum formal Aziz Wellang tidak lagi berstatus tersangka. Putusan praperadilan dan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) sudah mengembalikan posisinya sebagai warga negara tanpa beban kasus pidana. Maka, tuduhan bahwa dua menteri “bermain dengan pelaku kejahatan” jelas tidak berdasar. Hukum telah bicara, dan prinsip presumption of innocence harus dijunjung.
Namun, penting digarisbawahi, etika pejabat publik tidak berhenti di batas hukum. Integritas seorang menteri ditentukan bukan hanya oleh legalitas, melainkan juga oleh persepsi publik. Etika menuntut pejabat menghindari segala bentuk potensi konflik kepentingan atau hubungan yang dapat memunculkan kesan tidak pantas. Sebab, bagi masyarakat, yang terpenting bukan hanya apakah seorang pejabat benar-benar bersalah, melainkan apakah ia tampak menjaga jarak dari segala bentuk kompromi yang merugikan kepentingan rakyat.
Kritik semakin tajam karena momen ini terjadi tidak lama setelah aksi massa yang berujung pembakaran gedung publik di mana-mana berawal dari tuntutan 17+8 rakyat itu. Gerakan tersebut di antaranya menyuarakan keresahan terhadap lemahnya penegakan hukum.
Di tengah atmosfer publik yang menuntut ketegasan negara, foto dua menteri “bersantai” dengan seorang sosok yang sempat dikaitkan dengan isu itu terasa seperti ‘’pelecehan simbolik’’. Publik menuntut garis tegas, bukan abu-abu. Maka, sensitivitas waktu seharusnya menjadi pertimbangan utama. Apa yang mungkin dianggap wajar dalam konteks internal organisasi budaya, menjadi tidak pantas ketika berhadapan dengan emosi publik yang masih panas.
Kedua menteri sudah memberikan klarifikasi. Karding menegaskan bahwa bermain domino hanyalah bagian dari tradisi KKSS. Dia bahkan mengaku tidak tahu latar belakang Aziz Wellang saat itu, dan baru belakangan memastikan bahwa status hukum yang bersangkutan sudah bersih. Demikian juga Raja Juli Antoni. Sekjen PSI itu menjelaskan, diirnya datang untuk menemui Karding, berbincang dua jam, lalu sebentar ikut bermain domino sebelum pulang.
Klarifikasi tersebut penting dicatat. Publik berhak mendapatkan informasi yang utuh. Tidak ada bukti bahwa pertemuan itu bermotif politik atau intervensi hukum. Kita tidak hendak menghakimi pribadi maupun niat dua menteri bersangkutan. Namun, di panggung politik, klarifikasi yang rasional pun tidak serta-merta menghapus kesan yang telanjur terbentuk.
Dalam politik, sering kali simbol lebih menentukan daripada fakta. Publik mungkin memahami bahwa domino hanyalah permainan. Namun, yang mereka lihat adalah dua pejabat negara duduk santai bersama figur yang belum lama diberitakan media mainstream dalam perkara pembalakan. Pesan simboliknya jelas kontras dengan tuntutan publik yang baru saja bergema di jalanan. Inilah pelajaran penting. Pejabat publik harus selalu membaca konteks, bukan hanya aturan formal. Kesalahan terbesar bukanlah bermain domino, melainkan gagal menyadari bagaimana sebuah momen sederhana bisa terbaca berbeda oleh masyarakat luas.
Kejadian ini mesti menjadi pengingat bagi setiap pejabat bahwa transparansi, sensitivitas, dan kehati-hatian adalah mata uang utama dalam menjaga kepercayaan publik. Kegiatan sosial, budaya, atau silaturahmi tentu wajar dan sah. Tetapi, kehati-hatian dalam memilih momen, tempat, dan rekan duduk sangatlah krusial.
Di sisi lain, publik agar tetap kritis tanpa terjebak dalam trial by the press. Kritik tajam boleh, tapi tidak boleh berubah menjadi penghukuman tanpa dasar. Pemerintah perlu mendengarkan suara masyarakat, sementara masyarakat pun harus adil dalam menimbang klarifikasi yang diberikan.
Domino hanyalah permainan, tetapi dalam politik, ia bisa berubah menjadi papan ujian etika. Raja Juli Antoni dan Abdul Kadir Karding memang tidak melanggar hukum. Namun, etika pejabat publik menuntut standar yang lebih tinggi daripada sekadar tidak bersalah di mata hukum. Di tengah krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum , foto itu adalah pelajaran pahit. Bahwa di era keterbukaan informasi, setiap gestur seorang pejabat adalah simbol yang bisa menguatkan atau melemahkan kepercayaan rakyat.
Dan simbol, seperti yang kita lihat, sering kali berbicara jauh lebih keras daripada klarifikasi. (*)






