Oleh: Muhammad Wildan Zaky
SELEPAS salat tarawih, malam kelima Ramadan 1446 Hijriah terasa sejuk. Udara di Desa Ngawen, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik menyisakan hembusan angin yang membawa aroma khas tanah basah.
Dalam keheningan malam, aku memutuskan untuk berziarah ke salah satu makam keramat di desa ini yaitu Makam Mbah Sinari. Dalam benakku, pastilah tempat ini kosong. Namun, jika ada seseorang di sana, mungkin lebih baik aku segera pergi.
Namun, begitu menginjakkan kaki di pelataran makam, sesuatu membuat langkahku terhenti. Lantunan ayat suci Alquran mengalun merdu dari dalam area makam.
Suara itu begitu syahdu, menusuk ke relung hati. Rasa penasaran mengalahkan ketakutanku, dan aku pun mengikuti arah suara tersebut.
Di balik musala kecil, aku melihat dua sosok lelaki duduk bersila, melantunkan Ayat Kursi dengan penuh kekhusyukan. Salah satu dari mereka bangkit dan berjalan ke arahku.
“Ada apa, Mas?” sapanya ramah.
Dengan sedikit gugup, aku menjawab bahwa aku hanya ingin berziarah. Lelaki itu tersenyum dan memperkenalkan diri. Ia adalah Wasi’an, juru kunci makam Mbah Sinari. Sembari menghisap rokoknya, ia mulai menceritakan sejarah makam yang telah dijaganya bertahun-tahun.
Menurut Wasi’an, makam Mbah Sinari tidak memiliki catatan sejarah tertulis, namun cerita tentangnya diwariskan turun-temurun. Salah satu kisah menarik berkaitan dengan Mbah Kanjeng Sepuh, tokoh besar di Sidayu.
Dahulu, ketika Mbah Kanjeng Sepuh ke delapan melaksanakan salat berjamaah di Masjid Kanjeng Sepuh Sidayu, ia selalu mendapati seseorang telah lebih dulu berdzikir di sana.
Padahal, biasanya Mbah Kanjeng Sepuh yang datang paling awal. Uniknya, orang tersebut juga menjadi yang paling akhir meninggalkan masjid.
Rasa penasaran pun memuncak. Mbah Kanjeng Sepuh akhirnya meminta muridnya untuk diam-diam mengikuti sosok misterius itu.
Betapa terkejutnya sang murid ketika melihat orang tersebut berjalan menuju sebuah tempat yang kini tempat tersebut dikenal dengan Makam Mbah Sinari, lalu menghilang begitu saja.
Pada awal penemuannya, makam ini masih tersembunyi di tengah hutan lebat. Setelah dibersihkan, ditemukan beberapa makam lain yang diperkirakan lebih tua, bahkan diyakini sezaman dengan Siti Fatimah binti Maimun, tokoh penyebar Islam yang makamnya ada di Gresik.
Masyarakat percaya bahwa Mbah Sinari adalah Kanjeng Sepuh Sidayu kelima, yang dikenal dengan julukan Nogosaliro. Ia disebut memiliki senjata pamungkas berupa Tombak Cakra Tirta sepanjang 2,5 meter dan seekor kuda putih setia yang selalu menemaninya ke mana pun ia pergi.
Seiring berjalannya waktu, makam ini menjadi tempat berziarah bagi para musafir. Wasi’an bercerita bahwa masyarakat setempat memiliki tradisi unik ketika memiliki hajat atau doa yang ingin dikabulkan.
Mereka datang ke makam dengan membawa nasi, berdoa, lalu menyantap nasi tersebut bersama. Ada pula yang membawanya pulang untuk dibagikan kepada tetangga.
Nasi yang telah didoakan ini diyakini sebagai obat bagi penyakit yang sulit disembuhkan. Meski terdengar mistis, bagi mereka ini adalah bentuk ikhtiar dan keyakinan.
“Hanya orang-orang tertentu yang paham yang datang berziarah ke sini,” tutur Wasi’an.
Ia menegaskan bahwa ziarah ini bukan untuk meminta kepada makam, melainkan sebagai perantara atau wasilah untuk memohon kepada Allah.
Wasi’an juga berpesan agar generasi muda merawat makam para wali, karena mereka adalah pendahulu yang berjasa menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Malam semakin larut, angin bertiup lebih kencang. Aku berpamitan kepada Wasi’an dan meninggalkan makam dengan perasaan berbeda. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan, seolah doa-doa yang dipanjatkan di tempat ini menggema ke langit, mengetuk pintu rahmat Ilahi. (*)