KabarBaik.co – Di atas hamparan laut Desa Segoro Tambak, Sidoarjo, berdiri deretan patok-patok yang memecah ombak tenang.
Heri, seorang nelayan berpengalaman, memandang patok itu dengan wajah penuh tanya. “Patok-patok ini sudah ada sejak saya muda,” katanya sambil menunjuk salah satu patok yang tampak kokoh di tengah air. Heri tidak pernah tahu siapa yang menanam patok tersebut atau apa tujuannya.
Perjalanan menuju lokasi ini bukanlah hal mudah. Dibutuhkan satu jam perjalanan dengan perahu kecil untuk mencapainya. Laut yang biasanya menjadi sumber penghidupan Heri kini menjadi lokasi penuh kontroversi.
Sebuah Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektar tercatat berada di sana. Sejak kabar ini tersebar, para nelayan dan warga sekitar hanya bisa bertanya-tanya, bagaimana mungkin laut yang menjadi milik bersama bisa dimiliki oleh pihak tertentu?
Meski demikian patok-patok itu sebenarnua bukanlah sesuatu yang baru. Karena menurut Heri, patok pertama kali muncul sekitar 20 tahun lalu. Namun, seiring waktu, patok-patok lama rusak dan diganti dengan yang baru sekitar lima tahun lalu.
Bagi Heri dan nelayan lainnya, keberadaan patok ini adalah pengingat bahwa laut mereka bukan lagi sepenuhnya milik mereka. “Mungkin tujuannya untuk tambak,” duga Heri, meskipun ia sadar kondisi pantai yang masih dangkal membuat hal itu sulit direalisasikan.
Namun, ada yang lebih mengejutkan. Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya telah membatalkan status kepemilikan lahan di atas laut sejak 2010. Keputusan itu seharusnya menjadikan laut sebagai wilayah publik yang tidak bisa dimiliki secara pribadi. Meski demikian, patok-patok itu tetap berdiri tegak, seolah menantang keputusan hukum.
Plt Bupati Sidoarjo, Subandi, memberikan penjelasan yang tak kalah membingungkan. Ia mengungkapkan bahwa kawasan tersebut sudah disertifikatkan atas nama sebuah perusahaan sejak 1996.
“Meskipun sudah atas nama PT, pengelolaannya masih dilakukan oleh masyarakat,” ujar Subandi. Pernyataan ini justru menambah tanda tanya di benak masyarakat, bagaimana mungkin sebuah lahan di laut bisa memiliki sertifikat resmi?
Subandi juga menyoroti fenomena unik di wilayah Sidoarjo. Laut yang berlumpur di kawasan itu menyebabkan daratan bertambah setiap tiga tahun. “Setiap kali air surut, daratan baru mulai terlihat,” jelasnya. Hal ini membuat kawasan yang awalnya laut perlahan-lahan berubah menjadi tambak. Namun, prosesnya sangat lambat dan membutuhkan waktu puluhan tahun.
Bagi para nelayan seperti Heri, keberadaan HGB ini lebih dari sekadar dokumen hukum. Ini adalah ancaman bagi mata pencaharian mereka. Laut yang selama ini menjadi tempat mencari kerang dan ikan kini terasa seperti wilayah yang diawasi. Mereka khawatir jika kawasan itu benar-benar dikuasai, mereka akan kehilangan akses untuk melaut.
Di sisi lain, masyarakat juga kebingungan dengan tumpang tindih aturan yang ada. Banyak yang mempertanyakan, bagaimana bisa sertifikat dikeluarkan untuk kawasan laut, padahal seharusnya laut menjadi milik negara? Apalagi, pengelolaan kawasan ini hingga kini tidak jelas dan hanya menyisakan patok-patok yang menjadi saksi bisu konflik ini.
Laut Desa Segoro Tambak kini bukan lagi sekadar hamparan air asin yang tenang. Ia telah menjadi medan konflik antara masyarakat, hukum, dan kepentingan bisnis. Di tengah semua itu, Heri dan para nelayan hanya berharap satu hal: kejelasan. Mereka ingin tahu, siapa sebenarnya yang memiliki laut ini, dan apakah mereka masih punya tempat di sana? (*)