KabarBaik.co – Sanksi administratif dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) justru menjadi titik balik bagi Kota Batu untuk berbenah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu, Dian Fachroni, menyebut dalam tiga hingga empat bulan terakhir pihaknya melakukan berbagai langkah perbaikan hingga membuat Kota Batu masuk kategori kota dengan respons tercepat atas instruksi Menteri LH.
“Jadi Kota Batu itu kemarin juga salah satu kota yang diberikan sanksi administratif oleh Pak Menteri LH. Tetapi kemudian setelah kami berbenah, selama 3–4 bulan terakhir ini, justru Kota Batu yang memiliki potensi untuk meraih Adipura di tahun ini,” ujar Dian di Balaikota Among Tani, Kota Batu, Kamis (4/9).
Dian menjelaskan, hingga saat ini sekitar 70 persen sampah di Kota Batu sudah berhasil tertangani melalui Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R), Bank Sampah Unit, serta fasilitas pengelolaan di hulu. Sementara, 20-30 persen lainnya masih ditangani di hilir.
Meski demikian, masih terdapat sekitar 10-15 ton sampah per hari yang belum tertangani, terutama dari sektor usaha. Untuk menuntaskan masalah tersebut, DLH tengah menyiapkan program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). “Artinya komitmen dalam waktu dekat, bisa 1–2 tahun ini, 100 persen sampah di Kota Batu terkelola,” jelas Dian.
Dengan capaian sementara, lanjut Dian, Kota Batu sudah masuk kategori sertifikat Adipura. Namun, DLH menargetkan lebih tinggi, yakni Piala Adipura bahkan Adipura Kencana.
Penilaian Adipura berlangsung hingga Desember 2025, dan hasil akhir akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) pada Februari 2026 mendatang. “Maka dari itu, Kota Batu cukup optimistis. Penilaian berlangsung sampai Desember 2025, dan kami akan terus dorong agar target tercapai,” tegas Dian.
Dian menjelaskan, sistem penilaian Adipura kini lebih kompleks dibanding sebelumnya. Tata kelola sampah menjadi indikator utama dengan bobot 50 persen, sementara 20 persen dari SDM dan pembiayaan operasional, serta sisanya dari sarana prasarana pendukung.
“Kalau dulu lebih seperti beauty contest. Penilaian hanya satu dua kali pada titik tertentu yang sudah ditetapkan. Kalau sekarang ini lebih ke melihat situasi riil seperti apa. Tim penilai juga hadir secara acak ke wilayah tanpa pemberitahuan. Jadi kesiapan dimulai dari habit masyarakat,” tandas Dian. (*)