KabarBaik.co- Setelah melalui tarik-ulur cukup panjang, akhirnya pemerintah ’’melunak’’ kepada PT Freeport Indonesia (PTFI). Pemerintah kembali memberikan kelonggaran izin pada PTFI untuk menjual konsentrat tembaga yang ditambang dari Papua ke luar negeri (ekspor). Izin diberikan selama enam bulan dengan jumlah kuota mencapai 1 juta ton.
Keputusan pemerintah itu sudah dapat diprediksi. Izin ekspor itu semestinya berakhir 31 Desember 2024, setelah sebelumnya PTFI sudah berkali-kali mendapatkan perpanjangan sejak Undang-Undang tentang Minerba keluar pada 2009. Namun, dengan beragam pertimbangan, toh akhirnya pemerintah ’’melunak’’. Lalu, mengubah regulasi lagi untuk kepentingan perpanjangan tersebut. Alasan terakhir adalah kebakaran yang disebut force majeure.
Kepastian pemberian kelonggaran izin bagi PTFI untuk dapat mengekspor konsentrat tembaga lagi itu setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Penyelesaian Pembangunan Fasilitas Pemurnian Mineral Dalam Negeri.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, meski memberikan izin ekspor selama enam bulan untuk PTFI, namun pihaknya akan melakukan evaluasi tiga bulanan. Tujuannya, memastikan progres perbaikan smelter PTFI di Manyar, Kabupaten Gresik, yang sempat terbakar pada Oktober 2024 lalu.
’’Peraturan menteri sudah saya terbitkan, berdasarkan hasil keputusan rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden. Ini berlaku enam bulan sejak izin ekspor kita berikan. Nanti kita akan lihat perkembangannya per tiga bulan dalam progres pekerjaan terhadap pabrik yang kena kahar (force majeure) itu,” kata Bahlil kepada awak media di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (7/3).
Bahlil menyebut, volume konsentrat tembaga yang diperbolehkan untuk diekspor oleh PTFI mencapai sekitar 1 juta ton. Kuota ekspor tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan ketidakmampuan fasilitas pemurnian dalam negeri untuk menyerap hasil produksi akibat insiden kebakaran smelter PTFI di Gresik.
Sementara itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno menjelaskan, PTFI masih harus melalui sejumlah prosedur sebelum ekspor dapat direalisasikan. Di antaranya, PTFI harus mengajukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada Kementerian ESDM sebelum mendapatkan surat rekomendasi ekspor. Setelah revisi RKAB disetujui, Kementerian ESDM akan menerbitkan surat rekomendasi ekspor yang kemudian diajukan ke Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan izin ekspor resmi.
Sebelumnya, saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR bulan lalu (19/2), Presiden Direktur PTFI Tony Wenas mengungkapkan, perbaikan smelter di Gresik, akan dilakukan bertahap untuk meningkatkan produksi.
‘’Ramp up dahulu. ‘’Kan nggak mungkin begitu smelter-nya nyala, langsung 100 persen. Kan bertahap, 40 persen dulu, bulan depannya 50 persen. Kami sudah pengalaman pada Oktober (2024), itu langsung 50 persen, terjadilah kebakaran karena ada malfunction gitu,” ungkapnya.
Tony menjelaskan, pihaknya menargetkan smelter di Manyar dapat kembali berproduksi pada pekan keempat Juni 2025. Kondisi itu akan meningkat secara bertahap mencapai 100 persen pada Desember 2025. ‘’Nggak ada smelter itu mulai 100 persen langsung. Tanya saja sama PT Amman Mineral, tanya sama smelter lain,” katanya.
Dalam paparannya ketika itu, Tony mengungkapkan, akibat terhentinya produksi di smelter katoda di Manyar itu konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport di Papua hanya bisa terserap sebanyak 40 persen oleh PT Smelting di Gresik. Sisanya, diklaim mangkrak (idle). Volume konsentrat tembaga yang mangkrak atau tidak bisa diproses di pabrik PT Smelting mencapai 1,5 juta ton.
Tony menyebut, kalau dikalkulasi dengan harga sekarang, nilainya bisa lebih dari USD 5 miliar atau sekitar Rp 81,5 triliun dengan kurs Rp 16.298. Dari USD 5 miliar itu, lanjut dia, pendapatan untuk negara berupa bea keluar, royalti, dividen, pajak perseroan badan bisa mencapai USD 4 miliar atau sekitar Rp 65 triliun. Perinciannya, antara lain dividen senilai USD 1,7 miliar (Rp 28 triliun), pajak USD 1,6 miliar (Rp 26 triliun), bea keluar USD 0,4 miliar (Rp 6,5 triliun), dan royalti USD 0,3 miliar (Rp 4,5 triliun).
Selain itu, Tony mengatakan, jika PTFI tidak bisa mengekspor konsentrat tembaga akan menyebabkan pengurangan pendapatan daerah sebesar Rp 5,6 triliun pada 2025. Perinciannya, Provinsi Papua Tengah berpotensi mengalami penurunan pendapatan Rp 1,3 triliun, Kabupaten Mimika Rp 2,3 triliun, dan kabupaten lain di Papua Tengah Rp 2 triliun.
Tidak hanya itu. Juga ada potensi berkurangnya alokasi dana kemitraan PTFI untuk program pengembangan masyarakat sebesar USD 60 juta atau Rp 960 miliar pada 2025. Karena itu, pihaknya meminta agar keran ekspor konsentrat tembaga PTFI kembali dibuka tahun ini. Terlebih, sesuai dengan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI yang berlaku, konsentrat dapat diekspor apabila terjadi keadaan kahar. (*)