Kades Trosobo Nonaktif Mulai Jalani Persidangan di Pengadilan Tipikor dalam Perkara Dugaan Pungli PTSL

oleh -524 Dilihat
IMG 20250502 WA0021
Terdakwa perkara dugaan pungli PTSL di desa Trosobo Sidoarjo jalani sidang perdana.

KabarBaik.co – Pengadilan Tipikor Sidoarjo akhirnya menggelar sidang perdana kasus dugaan pungutan liar (pungli) program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang menyeret Kepala Desa Trosobo nonaktif, Heri Achmadi, dan bendahara panitia, Sari Diah Ratna. Keduanya didakwa melakukan pungli terhadap ratusan warga Desa Trosobo, Kecamatan Taman, Sidoarjo, dalam pelaksanaan program PTSL tahun 2023.

Dalam sidang yang digelar pada Jumat (2/5), Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Sidoarjo, I Putu Kisnu Gupta, secara gamblang membacakan surat dakwaan di hadapan majelis hakim.

Heri Achmadi dan Sari Diah didakwa melanggar Pasal 12 huruf e subsidair Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut JPU, Heri Achmadi selaku kepala desa saat itu, memerintahkan agar warga yang ingin mengikuti program PTSL membayar biaya administrasi sebesar Rp 150 ribu. Padahal, program ini sejatinya dibiayai oleh pemerintah alias gratis. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 1.438 warga diminta membayar sejumlah uang tersebut tanpa kejelasan penggunaan dana.

“Namun faktanya warga masyarakat tetep diminta untuk menyerahkan patok dan materai sendiri. Lantas buat apa uang yang Rp 150 ribu itu. Dan hasil penyidikan kami yang yang dikumpulkan tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ucap JPU Kisnu.

Sementara itu, Sari Diah Ratna yang menjabat sebagai bendahara panitia PTSL diketahui ditugaskan untuk mengumpulkan uang dari warga yang mengikuti program tersebut. Dana yang terkumpul dari pungli program PTSL tersebut mencapai angka fantastis yakni Rp 277 juta.

Tak hanya pungli terhadap warga peserta PTSL, jaksa juga mengungkap fakta lain yang lebih mengejutkan. Ada sekitar 20 warga yang sebelumnya mengajukan alih fungsi lahan dari lahan basah menjadi kering turut dipungut biaya hingga Rp 2,5 juta per orang agar dapat masuk ke program PTSL. Ironisnya, sertifikat yang terbit tetap menyatakan status tanah sebagai lahan basah.

“Di sana kan ada zona kuning dan zona hijau. Nah ketika itu dipaksakan maka sertifikat yang terbit tetap berstatus lahan basah. Sehingga muncul kekecewaan dari mereka, hingga akhirnya kasus ini dilaporkan ke aparat penegak hukum,” terangnya.

Total uang yang dikumpulkan dari proses alih fungsi lahan tersebut ditaksir mencapai Rp 50 juta. Usai pembacaan dakwaan, majelis hakim menetapkan sidang akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda eksepsi atau keberatan dari pihak terdakwa. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Yudha
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.