KabarBaik.co – Penerapan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi topik yang mengundang kekhawatiran, terutama di kalangan pengusaha Indonesia. Kebijakan yang membidik beberapa negara, termasuk Indonesia, dinilai berpotensi menghambat ekspor dan memperburuk kondisi industri dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), Daniel Suhardiman, menyoroti dampak signifikan yang mungkin timbul jika kebijakan ini terus diberlakukan. Menurutnya, nilai ekspor produk elektronik dari anggota Gabel ke pasar AS mencapai USD300 juta per tahun. Namun, dengan tarif resiprokal, peluang pasar tersebut bisa tertutup.
“Yang kami khawatirkan bukan hanya produk Amerika masuk ke Indonesia, tetapi juga risiko produk kita tidak bisa diekspor ke Amerika,” ujar Daniel, Minggu (20/4).
Kekhawatiran tidak berhenti di situ. Daniel menambahkan bahwa kebijakan ini dapat membuka pintu lebar bagi produk impor dari negara lain, seperti Tiongkok, membanjiri pasar Indonesia. Ia mencatat bahwa barang impor sering kali dijual dengan harga murah tetapi memiliki kualitas yang rendah, yang pada akhirnya merugikan konsumen.
“Indonesia menjadi sasaran empuk karena memiliki pasar yang sangat besar. Jika barang-barang impor berkualitas rendah masuk dengan harga murah, dampaknya tidak hanya merugikan industri dalam negeri, tetapi juga konsumen kita sendiri,” tegasnya.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global akibat kebijakan AS, Gabel terus mendesak pemerintah untuk melindungi pasar dalam negeri. Salah satu langkah yang disarankan adalah penerapan non-tariff measure (NTM), sebuah instrumen yang lazim digunakan di negara-negara maju untuk membatasi masuknya produk impor.
“Negara-negara seperti Eropa dan China telah menerapkan ribuan NTM untuk melindungi industri mereka. Di China saja, ada lebih dari 1.500 NTM, sementara Indonesia hanya memiliki sekitar 207. Kita harus mengejar ketertinggalan ini,” jelas Daniel.
Namun, langkah tersebut dinilai tidak selaras dengan kebijakan terkini. Gabel menilai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024 yang menghapus persetujuan teknis (pertek) justru melemahkan daya saing industri dalam negeri. Daniel mengusulkan agar pemerintah kembali menerapkan Permendag 68/2020 dan Permendag 36/2023, yang sebelumnya terbukti efektif menarik investasi.
“Jika kita ingin melindungi pasar dalam negeri, pertek harus dikembalikan. Langkah ini akan membantu menekan masuknya produk impor yang tidak perlu dan mendukung keberlangsungan industri di Indonesia,” pungkasnya.
Di tengah dinamika ini, pemerintah diharapkan dapat segera mengambil kebijakan yang tepat untuk menjaga stabilitas pasar dan melindungi industri dalam negeri dari ancaman global. (*)