KabarBaik.co – Kisah inspiratif datang dari Budi Hartono, pemuda Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Dia berhasil memberdayakan belasan warga di desanya berkat usahanya membuat anyaman ilalang.
Pemuda berusia 37 tahun ini bercerita kisahnya dimulai pada tahun 2018 setelah dia di-PHK dari pabrik rokok tempatnya bekerja. Dia bekerja di sana 2 tahun.
Bersama dengan temannya dia kemudian mengisi kesibukan dengan membuat anyaman ilalang. Pertama kali dibuat anyaman ini digunakan untuk perbaikan atap makam leluhur Gandrung Mbah Semi di Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri.
“Saya akhirnya pulang dan mencoba untuk mencari ide mendapat penghasilan dengan cara lain,” kata Budi saat menerima kunjungan Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani dalam kegiatan bupati ngantor di desa (Bunga Desa), Selasa (17/9).
Di luar dugaan, tidak mudah bagi Budi untuk menemukan ide bisnis baru. Ia sempat pontang-panting mencari penghasilan. Sempat juga Budi bekerja di konter pulsa selama menganggur. Hingga akhirnya, ia secara tidak sengaja menemukan ide untuk membuat anyaman atap berbahan ilalang kering.
“Idenya awal tidak sengaja dan coba-coba,” kata Budi.
Awalnya, ide membuat anyaman atap berbahan ilalang bukan dimaksud untuk mencari uang. Ia dan beberapa orang temannya punya ide untuk memugar makam Mbah Semi di Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri. Mbah Semi dikenal sebagai tokoh penari gandrung perempuan pertama di Banyuwangi.
Setelah pemugaran makam rampung, Budi dkk. punya ide untuk memproduksi anyaman atap ilalang untuk dijual. Kebetulan saat itu, tren kafe, resto, dan homestay tradisional tengah menjamur di Banyuwangi.
“Akhirnya kami tawarkan ke beberapa pengusaha kafe dan ternyata mereka tertarik. Saat itu tahun 2019,” lanjut Budi.
Tak disangka, minat terhadap atap anyaman ilalang cukup besar. Belum berapa lama, Budi mendapat pesanan banyak dari salah satu kafe dan homestay di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.
“Saat itu dapat pesanan terbanyak pertama, sekitar enam ribu lembar,” tuturnya.
Untuk memenuhi pesanan tersebut, Budi mengajak belasan warga sekitar tempat tinggalnya untuk bekerja. Hingga saat ini, sebanyak 15 warga ikut bekerja bersama Budi untuk membuat kerajinan tersebut.
Lambat laun, pesanan anyaman atap ilalang terus berdatangan. Baik dari Banyuwangi maupun luar kota, mulai dari Jember, Surabaya, hingga Bali. Bahkan, Budi sempat mendapat tawaran dari pembeli untuk dikirim ke luar negeri.
“Tapi saya belum bisa menyanggupi karena keterbatasan bahan baku,” sambungnya.
Ilalang memang terbilang rumput liar yang banyak tak termanfaatkan. Namun ternyata, Budi sempat mengalami kesulitan untuk menemukan tumbuhan tersebut. Terutama saat musim kemarau. Saat kemarau, ilalang tak tumbuh. Sehingga, produksi Budi mandek saat musim itu.
Seiring bergulirnya waktu, Budi mulai menemukan trik agar bisa berproduksi sepanjang waktu. Caranya, yakni dengan menyetok sebanyak mungkin ilalang saat musim penghujan. Tak sanggup untuk mencari sendiri, ia mengajak warga untuk mencari rumput di tempat-tempat ilalang tumbuh.
“Sekarang ilalang banyak ditemuikan di lahan kosong daerah-daerah perumahan. Kami beli dari pencari rumput. Harganya Rp 5 ribu per ikat,” ujar Budi.
Budi menjual anyaman atap ilalang buatannya yang berukran sekitar 2,5 meter x 1,5 meter seharga Rp 15 ribu per lembar. Harga bisa lebih murah apabila pembeli memesan dalam jumlah banyak.
Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengapresiasi ide bisnis yang dijalankan Budi dan warga lainnya. Ide tersebut sesuai dengan semangat yang kini digandrungi banyak orang, yakni tradisional dan kembali ke alam.
“Saya rasa ini ide yang kreatif. Bersamaan dengan pariwisata Banyuwangi yang terus berkembang, pasti pasar dari anyaman atap ilalang ini sangat menjanjikan,” tutur Ipuk.
Menurut Ipuk, banyak pengusaha kafe-resto dan homestay yang saat ini mengangkat tema natural dan tradisional. Kerajinan buatan Budi diyakini dapat terus berkembang dengan menyasar pasar tersebut.(*)