Kolak, Kuliner Ramadan yang Sarat Sejarah dan Makna

oleh -195 Dilihat
Salah satu kreasi kolak Srikaya khas Sidoarjo yang hanya muncul saat Ramadan tiba. (Yudha)

KabarBaik.co – Saat azan Maghrib berkumandang di bulan Ramadan, banyak orang berbuka puasa dengan segelas air dan semangkuk kolak hangat. Manisnya gula merah berpadu dengan lembutnya pisang atau ubi dalam kuah santan yang gurih, menciptakan rasa yang khas dan menenangkan. Namun, tahukah Anda bahwa kolak bukan sekadar hidangan berbuka? Kuliner ini ternyata memiliki sejarah panjang dan makna filosofis yang mendalam.

Pemerhati sejarah Surabaya, Nur Setiawan, menuturkan bahwa kolak telah ada sejak zaman kerajaan. “Kuliner kolak ini sudah dikenal sejak era klasik, mungkin sejak zaman kerajaan,” ungkapnya.

Sejak dulu, masyarakat Nusantara telah mengenal sajian berbasis santan dan gula merah ini sebagai makanan yang mengenyangkan serta memberikan energi setelah seharian berpuasa.

Seiring waktu, kolak berkembang dengan berbagai inovasi. Jika dulu hanya terdiri dari pisang dan ubi, kini pedagang kuliner menambahkan bahan seperti durian, labu, hingga biji salak.

“Dengan perkembangan zaman, kolak semakin bervariasi. Namun, bahan dasarnya tetap sama: santan, gula merah, dan umbi-umbian,” tambah Wawan, sapaan akrab Nur Setiawan.

Tak hanya dikenal di kalangan masyarakat biasa, kolak juga pernah dicatat dalam buku Mustika Rasa, sebuah kumpulan resep masakan Nusantara yang disusun pada era Presiden Soekarno. Buku ini menjadi bukti bahwa kolak telah menjadi bagian dari warisan kuliner Indonesia yang patut dilestarikan.

Selain sejarahnya yang panjang, kolak juga memiliki makna filosofis yang menarik. Chrisyandi Tri Kartika, sejarawan dan pustakawan Universitas Ciputra Surabaya, menjelaskan bahwa kata “kolak” diperkirakan berasal dari bahasa Arab khala, yang berarti “meninggalkan.” Filosofi ini berkaitan erat dengan esensi Ramadan, yaitu meninggalkan kebiasaan buruk dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

“Kolak bukan sekadar makanan, tetapi juga memiliki pesan spiritual. Filosofi ini dapat ditemukan dalam bahan-bahannya. Misalnya, ubi atau ketela yang sering disebut telo pendam melambangkan penguburan dosa, agar kita tidak mengulanginya lagi,” jelasnya sambil tersenyum kecil.

Santan, bahan utama lainnya, juga memiliki makna tersendiri. Dalam beberapa kepercayaan masyarakat, santan sering dikaitkan dengan kesucian dan pengampunan. Hal ini selaras dengan tujuan Ramadan sebagai bulan penuh ampunan, di mana umat Islam berusaha mensucikan diri dari kesalahan masa lalu.

Bagi banyak keluarga di Indonesia, kolak bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol kebersamaan. Di sore hari, ibu-ibu sering terlihat di dapur, sibuk mengaduk santan dan merebus pisang, sementara anak-anak menunggu dengan sabar di meja makan. Tradisi ini terus berlangsung dari generasi ke generasi, menjadikan kolak sebagai bagian dari memori Ramadan yang hangat.

Meskipun kini banyak makanan modern bermunculan, kolak tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Baik dijual di pinggir jalan, pasar Ramadan, maupun disajikan di rumah, kolak selalu menjadi menu wajib saat berbuka puasa.

Di balik rasanya yang manis, kolak menyimpan jejak sejarah, filosofi, dan tradisi yang melekat kuat dalam budaya Indonesia. Setiap suapan bukan hanya tentang menikmati rasa, tetapi juga merasakan nilai-nilai yang telah diwariskan sejak zaman nenek moyang. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: Yudha
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.