Mendiagnosis Kronika Korupsi

Editor: Hardy
oleh -268 Dilihat

OLEH: PROF SUPARTO WIJOYO*)

PEKAN ini saya silaturahmi ke Tasikmalaya. Mengenang pula perjalanan tempo hari ke kawah Gunung Galunggung. Saya mendengar deru orang yang berkerumun sambil membisikkan atas nestapa yang dirasa masyarakat Sidoarjo maupun anggota DPR RI. OTT KPK di Sidoarjo dengan penetapan tersangka kepada Bupati Sidoarjo  maupun penggeledahan kantor Sekretariat DPR RI menjadi sorakan yang diunggah. Sang tersangka tertunduk dan publik dapat menyelami ketertundukan itu sebagai “ruang bergam kisah”. Berkaitan dengan kasus yang membuncah di Sidoarjo tentu memperluas diri sambil menyebut tokoh agama ataupun politisi yang menduduki tahtahnya.

Saya hanya mampu menahan “tarik nafas dalam-dalam” sambil menerawang atas tingkah orang yang selalu mengintai siapa saja yang bersalah meski dikabarkan penuh semangat. Saya menepikan diri saja mengawani beragam kolega  yang membaktikan diri untuk alam sambil menanam pohon kopi atau memetik bibit untuk dibawah pulang ke Surabaya dari Kampung Salapan daerah Urug Kota Tasikmalaya. Wajah-wajah mereka tulus meneduhkan diri sambil merebahkan cintanya untuk hijaunya semesta. Cengkerama sambil melihat dan duduk di tepian balong yang berjajar di hampir setiap rumah. Tasikmalaya mengesankan dengan balong-balong (kolam-kolam ikan) di areal perkampungannya.

Memang dalam pekan ini saya sedang berjelajah di Pulau Jawa (menikmati libur panjang nasional 9-12 Mei 2023) menapak kelok lembah serta ngarai yang mendaki menuju puncak gunung. Melintasi Solo-Yogyakarta. Menambatkan diri di Kebumen ataupun Banyumas. Apalagi menyemai rute Banjar hingga Tasikmalaya. Kesan selalu ada dan cerita dapat dipahatkan. Pada akhirnya singgah jua di beberapa lembaga, mulai dari masyarakat penjuat Dawet Ayu tepi sawah di Banyumas, Pemerintah Daerah, maupun instansi aparatur penegak hukum (APH) yang peduli agar kerugian ekologis menjadi bagian dari kerugian keuangan negara. Hal ini diyakini akan menjadi agenda yang “membuldoser” banyak pihak tentang gelegak korupsi dari korporasi maupun instansi birokrasi. Jangkauan kerja KPK  semakin diyakini berarti bagi penyelamatan lingkungan yang “menggelayut” pada dirinya.

Baca juga:  Kunci Sukses dan Kebahagiaan Bupati Banyuwangi Bisa Lulus S-2 Unair

Ide Helikopter Bawean, Terobosan Tanggap Kebencanaan dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat

Untuk itulah bincangan korupsi yang saya sorongkan bukan yang tidak menjadi kapasitas akadamik saya melainkan yang sejajar saja dengan penyelamatan lingkungan semisal  adalah korupsi di sektor tambang. Kasus 271 T dalam tata niaga produk tambang timah di Bangka Belitung yang diangkat Kejaksaan RI amatlah menyentakkan.  Secara yuridis-ekologis Kejaksaan dan KPK telah memendarkan energi kedigdayaannya dalam memproteksi kepentingan lingkungan di sektor pertambangan. Angka 271 T sangat spektakuler. Padahal dulu tahun 2019 dengan membongkar dugaan korupsi Rp 5,8 triliun yang melibatkan Bupati Kotawaringin Timur, sudah sangat terbelalak. Kala itu Sang Bupati ditetapkan KPK sebagai tersangka yang merugikan negara berkenaan dengan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk sejumlah perusahaan (PT FMA, PT BI dan PT AIM) saat menjabat  periode 2010-2015. Berdasarkan keterangan pers yang dilansir KPK   sebagaimana diberitakan media massa pada 3 Februari 2019 menunjukkan bahwa timses bupati menduduki posisi direksi dan mendapatkan jatah saham 5% di PT FMA. Kerugian negara yang diungkap KPK  melampaui kasus e-KTP (Rp 2,3 triliun) dan kasus BLBI (Rp 4,58 triliun).

Tahun 2024 ini Kejaksaan RI terpanggil mendedar dimensi kerugian lingkungan. KPK pun sejak 2019 terpotret menerapkan perhitungan dalam kerangka valuasi lingkungan yang selama ini menjadi perhatian para aktivis yang gelisah terhadap praktek  pertambangan yang destruktif dan polutif. Aparatur penegak hukum mendata kerugian negara akibat aktivitas tambang dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan, dan kerugian kehutanan. APH pun menduga penerbitan IUP eksplorasi kepada korporasi tanpa mengikuti proses yang benar  dengan mengabaikan  mekanisme lelang wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Cacat prosedur ini diyakini melekat pula untuk penerbitan IUP  bagi perusahaan sehingga menimbulkan kerugian lingkungan yang cukup besar.

Baca juga:  Dibongkar AS, KPK Janji Dalami Dugaan Suap Perusahaan Jerman ke Pejabat Indonesia

Catatan 16 Tahun UU Keterbukaan Informasi Publik

Apa yang diungkapkan APH tersebut  merefleksikan suatu realitas yang selama ini menjadi sorotan publik, khususnya para pegiat lingkungan. Atas nama terobosan hukum demi layanan administratif yang cepat  di bidang perizinan, jajaran birokrasi acap kali melakukan terabasan hukum. Mereka  mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dan berakrobat melintasi prosedur pembuatan keputusan pemerintahan. Prinsip-prinsip good environmental governance yang berupa keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, partisipasi, keadilan, perlindungan masyarakat adat, dan kepastian hukum “diakali”. Amdal sebagai instrumen hukum untuk melindungi lingkungan dipersepsi menjadi “beban yang bertele-tele” dan bukannya dianggap mandat “tanggung jawab kepedulian” terhadap lingkungan. Saya yakin melalui kasus ini APH dinanti dapat membuka “kotak pandora” dunia pertambangan yang diwarnai KKN.

KKN ini membawa efek panjang sejenis “simtomatis” (menyangkut tertumpuknya gejala penyakit) yang menderitakan rakyat dan lingkungan teramat serius dari fenomena  begitu merasuknya “kekuasaan tambang” ke urat nadi  otoritas negara. Khalayak sudah mafhum bahwa pertambangan di Indonesia telah menorehkan tragedi kemanusiaan dan lingkungan di banyak tempat. Ingatlah yang pernah melanda Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara, lahan-lahan bekas tambang di Kaltim, di Papua, bahkan  di ujung timur Jawa Timur.   Kerusakan dan pencemaran diviralkan para pemodal sebagai  sesuatu yang lumrah dalam pertambangan atas nama kemajuan. Mestinya aparatur negara merapatkan barisan untuk menjaga daulat ekosistem sekuat tenaga dengan  penegakan hukum. Dalam hal ini kita dapat mengikuti cara Jepang yang mengembangkan asas presumption of causation, yakni praduga hubungan kausal, jadi tidak hanya praduga tak bersalah.

Baca juga:  Kejati Jatim dan Pascasarjana Unair Jalin Kerjasama Pengembangan SDM

Patutlah diduga adanya hubungan kausal antara derita warga daerah kaya tambang dengan kemiskinan serta  tercemarnya lingkungan  akibat kegiatan pertambangan.  Mengungkap tabir hukum presumption of causation adalah sesuatu yang esensial bagi peningkatan martabat hukum di Republik ini.  Sadarilah bahwa Indonesia adalah negara megakaya  bahan tambang dengan kondisi yang diungkap secara satir oleh Carolyn Marr (1993): ”Indonesia is fabulously rich and Indonesia is desperately poor”. Deposit batubaranya mencapai 36.6 milyar ton dan emas 2.650 juta ton. Korporasi pertambangan bertengger dari Sigli-Aceh  sampai Tembagapura, Papua. Investor Asia, Eropa dan Amerika sudah menikmati dengan lahap bahan tambang yang terbentang di nusantara ini. Ironisnya adalah ternyata kekayaan  tambang itu tidak otomatis memakmurkan rakyat. Keadaan rakyat sekitar wilayah pertambangan ibarat peribahasa: ”anak ayam mati di lumbung padi”.

Lantas apa makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”?   Dari langkah APH, khususnya Kejaksaan RI dan KPK, saya menjadi tahu: kalaulah sekarang ada yang menggerus lingkungan,  ada yang menambang tanpa reklamasi, ada yang mengambil kekayaan masyarakat adat, ada yang membuat derita dan sengsara alam, ada  warga negara dirundung kemelaratan di daerah kaya tambang, pasti ada tanda-tanda penyakit kronis KKN yang terdiagnosis, meminjam bahasa kedokteran itulah “simtom” korupsi dan inilah sisik melik kronika korupsi di NKRI. Dengan pembaca yang selalu optimis menjelajahi negeri ini, pasti akan hadir generasi anti korupsi yang memimpin NKRI.

*) PROF SUPARTO WIJOYO, Guru Besar Fakultas Hukum dan Wakil Direktur Bidang Riset, Pengabdian Masyarakat, Digitalisasi & Internasionalisasi Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.