Meramal Masa Depan Pers dan Wartawan

oleh -1016 Dilihat
HUD

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

 

SEORANG wartawan mendapat penugasan mendadak dari redakturnya. Dia diminta untuk mewawancarai ahli teknologi tentang ramalan masa depan. Ketika wawancara, si ahli teknologi itu terus menggunakan istilah-istilah rumit seperti blockchain, quantum computing, dan neural network.

Si wartawan hanya mengangguk-angguk, sambil dalam hatinya berpikir: “Apa ini? bahasa Alien? Kenapa tidak pakai bahasa manusia saja?” Singkat cerita, ia akhirnya menulis berita dengan kalimat pembuka. “Menurut ahli, teknologi masa depan akan sangat canggih. Sangat canggih sekali. Sangat.”

Redaktur pun menanyakan kalimat sangat canggih sekali yang dimaksudkan wartawannya itu. ‘’Pokoknya sangat canggih sekali, Pak,’’ jawab si wartawan. Sang redaktur pun gedek-gedek. Ha…ha…ha…

Esok hari, redaktur atau editor bertanya lagi kepada si wartawannya: “Kapan tulisanmu selesai?”. Si wartawan menjawab: “Sebentar lagi, Pak. Saya sedang menunggu inspirasi datang.”

Editor: “Inspirasi? Insipirasi itu bukan Gojek, tidak bisa dipanggil sesuka hati!” Akhirnya, karena sudah tiba waktunya deadline si wartawan menulis sambil menangis ditemani segelas kopi dingin.

Cerita di atas itu hanya sekadar anekdot. Gambaran profesi seorang wartawan.  Jika ada profesi yang membuat seseorang bisa menjadi seperti guru, politikus, detektif, psikolog, dan atlet lari maraton sekaligus, itu adalah wartawan. Bayangkan, mereka harus mengejar sumber berita, menulis dengan cepat, namun tetap tersenyum. Terlebih era sekarang. Wartawan mesti pinter. Terus belajar. Multiskill, multiplatform, dan multitasking. Jika tidak? Maka, ubur-ubur ikan lele. Walaikum salam, Le!

Zaman menuntut itu. Perkembangan teknologi digital, terutama media sosial, telah mengubah lanskap industri media secara drastis.  Membalik-balik. Gempuran informasi terasa begitu cepat. Sistematis, masif, dan terstruktur. Kondisi ini menjadikan pers dan wartawan menghadapi tantangan begitu besar untuk tetap relevan dan dipercaya. Serta bertahan.

Media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi begitu banyak orang. Laporan Reuters Institute Digital News Report 2023, lebih dari 70 persen responden di seluruh dunia mengakses informasi dan berita melalui media social seperti Facebook, Twitter (X), Instagram, dan TikTok. Menggeser peran media konvensional yang dulu menjadi gatekeeper utama informasi.

Jangan heran di rumah sekarang, suami, istri, dan anak-anak sibuk dengan ”setan gepengnya” masing-masing. Istri di kamar satu, suami di kamar lainnya, sementara anak di kamarnya sendiri juga, tidak lagi banyak bertegur sapa. Sibuk berdialog dengan teman mayanya masing-masing. Bahkan, karena sedang asyik-asyiknya dan malas keluar kamar, terkadang satu rumah pun berkomunikasi lewat handphone. Ada yang begitu? Wonge teko..

Kondisi demikian bukan hanya menjadi alarm bagi biduk rumah tangga. Perubahan perilaku itu juga membuat pers dan wartawan dalam tantangan besar. Bagaimana wartawan harus bersaing dengan konten-konten yang tidak terverifikasi? Apa yang keluar sudah dianggap sebuah kebenaran. Padahal, meminjam istilah pesantren, banyak dari konten itu sanad dan perawinya tidak jelas.

Pers kini semakin sulit. Pendapatan dari oplah atau dari iklan telah banyak beralih ke platform digital seperti Google dan media sosial lainnya. Situasi itu jelas berdampak serius. Informasi-informasi layoff, pemutusan hubungan kerja atau pengurangan karyawan, bahkan perusahaan pers itu tutup belakangan terus terjadi.

Ya, banyak dari kita lebih memilih konten singkat dan visual, seperti video TikTok atau Instagram Reels, daripada artikel panjang. Apalagi generasi muda. Media sosial telah dianggap sebagai “cermin”. Melalui tren, tagar, dan konten viral. Riset Pew Research Center (2023) menyebut, media sosial telah menjadi ” dukun”. Alat prediktif yang kuat untuk memahami pergeseran sosial,  ekonomi, budaya dan politik. TV di rumah-rumah pun banyak teronggok. Kapan Anda terakhir menonton televisi?

Konten di media sosial tidak sedikit yang penuh dengan noise. Informasi yang tidak akurat atau hoaks. Sebuah studi MIT Sloan Management Review (2022), menemukan bahwa 60 persen informasi yang viral di media sosial mengandung bias atau ketidakakuratan. Kita bisa saksikan, demi mendapat like atau subscribe, terkadang banyak yang semakin asal. Korbannya sudah banyak. Berjatuhan. Ditangkap polisi, perceraian, wajah menjadi rusak gara-gara tergiur influencer, penipuan, dan sejenisnya.

Kini, salah satu yang juga makin populer itu adalah kecerdasan buatan (AI). AI dapat menganalisis data dari media sosial untuk memprediksi tren, mulai dari pasar saham hingga perubahan iklim. Namun, AI juga memiliki keterbatasan. Menurut Harvard Business Review (2023), algoritma AI sering kali mengandalkan data historis, yang mungkin tidak selalu relevan dengan perubahan cepat di dunia nyata. Selain itu, bias dalam data yang digunakan untuk melatih AI dapat menghasilkan prediksi yang menyesatkan.

Overload Informasi

Menurut University of California, Berkeley (2023), manusia modern terpapar informasi setara dengan 174 koran setiap hari. Ini membuat sulit untuk memilah mana informasi yang relevan. Platform medsos pun terus berevolusi. Tren yang muncul hari ini mungkin sudah usang besok. Sebuah laporan dari Gartner (2024) memprediksi bahwa 30 persen platform medsos yang populer hari ini akan digantikan oleh platform baru dalam 5 tahun ke depan.

Meramal masa depan di tengah gempuran media sosial adalah tantangan yang kompleks. Satu sisi, platform ini menawarkan data berharga yang dapat digunakan. Di sisi lain, kita harus waspada terhadap bias, hoaks, dan manipulasi yang dapat mengaburkan pandangan-pandangan kita.

Meskipun tantangannya besar, masa depan pers dan wartawan rasanya tidaklah suram. Di setiap lorong gelap, pasti ada secercah sinar. Di setiap kesulitan, Tuhan sudah menjanjikan pasti beriringan dengan kebahagiaan. Ada beberapa tren yang mungkin akan membentuk masa depan industri media pers.

Pertama, di tengah banjir informasi, publik mulai menyadari pentingnya sumber berita yang kredibel. Media yang fokus pada jurnalisme penting dan menarik, jurnalisme mendalam (investigasi) dan verifikasi fakta akan tetap diminati masyarakat. Pew Research Center (2022) mengungkap, 65 persen konsumen berita di Amerika Serikat lebih mempercayai media tradisional daripada media sosial.

Kedua, media pers mesti terus beradaptasi dengan bekerja sama dengan platform digital. Banyak media pers yang telah berevolusi. Kolaborasi ini memungkinkan media tradisional tetap relevan.

Ketiga, wartawan tidak lagi sekadar pelapor atau penulis berita. Apalagi sekadar transkrip pernyataan narasumber. Sebatas menyalin. Mesti harus cerdas. Terus belajar. Banyak membaca buku dan literatur. Mereka mesti menjadi edukator dan kurator yang menyaring informasi dan memverifikasi kebenarannya. Fungsi itulah yang tidak tergantikan. Dan, wartawanlah yang memegang profesi mulia itu. Tentu meminjam istilah Gus Baha,  wartawan yang “alim-alamah”.

Masa depan pers dan wartawan di tengah gempuran media sosial tidaklah hitam-putih. Meskipun tantangannya besar, ada peluang untuk bertahan dan berkembang. Beradaptasi pada perubahan. Kebiasaan-kebiasaan baru. Kunci utamanya tentu menjaga kredibilitas dan integritas, terus berinovasi dalam menyajikan berita yang berkualitas.

Rasanya, cepat atau lambat, ”cermin” keriuhan sekarang ini akan mencapai titik kulminasi.  Kejenuhan. Carl Jung, seorang psikolog Swiss, mengemukakan tentang arketipe. Pola-pola perilaku dan pengalaman universal yang diwariskan secara kolektif sering kali muncul dalam bentuk siklus. Pola yang berulang dalam kehidupan individu. Seperti roda pedati.

Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 2025, pers sehat masyarakat selamat. (*)

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.