KabarBaik.co – Indeks inklusi keuangan Indonesia telah mencapai angka yang fantastis, bahkan menembus batas 92 persen jika menyertakan produk asuransi sosial seperti BPJS. Namun, di balik angka capaian yang membanggakan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyoroti sebuah “jurang” yang menganga, yaitu rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat.
Kesenjangan antara kemampuan masyarakat mengakses layanan keuangan dan pemahaman mereka terhadap produk yang digunakan, menjadi tantangan serius bagi Indonesia dalam mewujudkan target inklusi keuangan nasional yang seutuhnya.
Hal ini diungkapkan Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Mohammad Ismail Riyadi, saat ditemui di sela gelaran Finexpo 2025 di Tunjungan Plaza Surabaya, Kamis (23/10).
“Hasil survei nasional menunjukkan inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai 80,71 persen, bahkan bisa mencapai 92 persen jika memasukkan produk asuransi seperti BPJS. Namun, literasi keuangan baru 65,46 persen,” ujar Ismail, menjelaskan gap yang timpang.
Angka tersebut mengisahkan sebuah paradoks: sebagian besar masyarakat telah memiliki akses, baik itu rekening tabungan, akun dompet digital (e-wallet), hingga produk kredit. Namun, faktanya, mereka belum tentu memahami cara menggunakan layanan keuangan tersebut dengan benar—apalagi mengerti manfaat dan risikonya secara mendalam.
“Ini menunjukkan masyarakat sudah punya akses, tapi belum tentu paham cara menggunakan layanan keuangan dengan benar,” tegasnya.
Minimnya pemahaman ini, kata Ismail, sangat rentan dimanfaatkan oleh oknum penipu yang menawarkan investasi atau layanan keuangan ilegal, seperti pinjaman online (pinjol) tanpa izin. Masyarakat yang hanya berbekal akses, tanpa disertai pemahaman, dengan mudah terjebak dalam pusaran tawaran yang menyesatkan.
Oleh karena itu, OJK menegaskan bahwa inklusi keuangan tidak bisa berdiri sendiri tanpa literasi. Kombinasi keduanya adalah kunci utama agar masyarakat dapat memanfaatkan layanan keuangan untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga investasi masa depan.
“OJK terus memperkuat edukasi agar masyarakat tidak hanya memiliki akses, tapi juga paham risiko dan cara melindungi diri dari penawaran ilegal,” katanya.
Di samping isu literasi, Ismail juga menyoroti masalah pemerataan akses yang masih timpang di tingkat daerah, terutama di Jawa Timur. Indikator OJK menunjukkan adanya ketimpangan dalam kepemilikan tabungan, asuransi, dan kredit, terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemerataan infrastruktur digital di daerah juga masih menjadi hambatan, meskipun penggunaan e-commerce dan dompet digital meningkat pesat di kota besar.
“Masih ada daerah yang tertinggal dalam akses terhadap layanan keuangan. Padahal, sektor keuangan yang inklusif seharusnya mampu menjangkau hingga lapisan terbawah masyarakat,” jelasnya.
Menatap masa depan, pemerintah telah menetapkan target ambisius, yakni tingkat inklusi keuangan nasional mencapai 91 persen pada 2025 dan 98 persen pada 2045 (Indonesia Emas).
Untuk mengejar target ini, OJK mengandalkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Strategi ini tidak hanya fokus pada pembukaan rekening atau penyaluran kredit, melainkan juga pada pengembangan ekosistem digital, pemberdayaan UMKM, dan peningkatan pemahaman masyarakat.
“Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya bisa dicapai jika setiap warga punya kesempatan yang sama untuk mengakses layanan keuangan. Inilah esensi inklusi keuangan yang sesungguhnya,” pungkas Ismail.
OJK optimis, peningkatan literasi akan menjadi pondasi yang memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Pada akhirnya, inklusi keuangan bukan sekadar soal angka, melainkan jalan menuju kesejahteraan.
“Tujuan akhir dari inklusi keuangan adalah kesejahteraan. Ketika masyarakat paham dan punya akses yang adil, maka ekonomi nasional pun akan tumbuh lebih kuat dan merata,” tutup Ismail.