Pangan adalah Pertahanan, Bukan Sekadar Perut

oleh -305 Dilihat
HARDY

OLEH: SUPARDI H ARDY*)

CADANGAN beras pemerintah kita kini 4 juta ton. Itu rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Bukan sekadar angka. Itu simbol. Bahwa Indonesia bisa berdiri sendiri soal beras. Bahwa negara hadir di sawah. Dan bahwa petani tidak lagi sendiri di musim panen.

Angka itu tidak datang sendiri. Ada kerja keras di baliknya. Ada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di hulu. Ada Bulog di hilir. Dan ada Prabowo Subianto yang menjadikan pangan sebagai bagian dari pertahanan negara.

Presiden Prabowo pernah berkata, “Negara yang tidak bisa memberi makan rakyatnya, tidak bisa mandiri.” (Setkab.go.id, 3 April 2025). Ia tidak hanya bicara. Melalui Menteri BUMN, Presiden kemudian menunjuk Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog. Seorang prajurit. Tegas. Efisien. Membawa semangat tempur ke gudang beras.

Lalu lahirlah rekor demi rekor. Dalam waktu kurang dari empat bulan, Bulog menyerap 2,4 juta ton gabah dari petani. Langsung dari lapangan. Tanpa tengkulak. Tanpa drama.

Sementara di hulu, Menteri Amran menggerakkan jajarannya. Ia kembali ke kursi yang dulu pernah diduduki. Tapi kini dengan tantangan yang lebih besar. Produksi harus naik. Pupuk harus tersedia. Petani harus untung.

Pak Menteri satu ini tidak duduk di kantor. Ia ke sawah. Ke gudang. Ke penggilingan. Kadang bersama pimpinan Bulog. Kadang sendiri. Ia sangat tahu dan paham: untuk bisa menyerap gabah, petani harus bisa panen dulu.

Dari kebijakan hingga lapangan, semua disiapkan. Bantuan benih. Pupuk bersubsidi. Alat mesin pertanian. Irigasi kecil. Data produksi. Semua digarap cepat. (Kementan.go.id, April–Mei 2025).

Hasilnya terasa. Di banyak wilayah seperti Jawa Timur, Sulsel, dan NTB, produksi melimpah. Bulog pun bisa menyerap dengan tenang. Petani senang. Pemerintah lega.

Harga juga diatur. Gabah dibeli Rp 6.500 per kilogram (GKP). Kalau kualitas lebih bagus, bisa sampai Rp 7.400 (GKG). Kalau perlu, Bulog boleh membeli 20 persen lebih tinggi dari HPP. Itu kata Badan Pangan Nasional. (Bapanas.go.id, 2025). Agar petani untung. Tapi harga di pasar juga tidak melonjak.

Di sisi hilir, Bulog tidak diam. Mereka kirim beras ke Papua. Ke Kalimantan. Ke pasar-pasar di Jawa. Lewat program SPHP. Agar harga tetap stabil. Agar rakyat tetap bisa beli.

Dulu, kita impor terus. Sekarang, impor ditekan. Dari 3 juta ton pada 2023, kini bisa diturunkan perlahan. Karena produksi naik. Karena stok cukup. Karena gudang Bulog tidak lagi kosong. (Liputan6.com, 9 Mei 2025)

Negara tetangga masih sibuk cari beras. Thailand kena dampak El Nino. Filipina impor dari India. Tapi Indonesia justru surplus. Kata FAO, ini lompatan besar. (FAO Southeast Asia Report, Juni 2025)

Novi Helmy, saat menjadi Dirut Bulog, mengatakan: “Petani tidak boleh rugi. Rakyat tidak boleh panik. Dan negara tidak boleh lemah.” (Antara, Mei 2025). Itu semangat baru Bulog. Gudang diperbaiki. Sistem logistik dimodernisasi. Distribusi diintegrasikan.

Digitalisasi juga dimulai. Gudang terhubung dengan sistem. Supply chain dilacak dengan teknologi. Bulog bekerja sama dengan startup agritech. Zaman berubah. Bulog memang mesti ikut berubah.

Kini, Bulog bukan sekadar tempat simpan beras. Namun, jadi operator stabilitas. Penjaga kepercayaan pasar. Pemadam gejolak pangan.

Di bawah kendali baru, Bulog juga lebih transparan. Harga, stok, dan sebaran distribusi bisa dilihat di dashboard. Koordinasi dengan pemerintah daerah juga makin aktif. Ini bukan Bulog yang dulu. Ini Bulog yang siap menyambut zaman baru.

Menteri Amran pun tidak berhenti. Ia mendorong integrasi pangan dari hulu ke hilir. Membentuk gugus tugas ketahanan pangan di setiap provinsi. Ia pastikan anggaran berjalan. Ia datangi lahan-lahan tidur. Ia ajak generasi muda kembali ke sawah. Karena pangan tak bisa hanya diserahkan ke yang tua.

“Pangan ini urusan semua orang,” katanya. Dan ia benar.

Semua ini adalah kerja bersama. Presiden memberi arah. Menteri Amran mengatur hulu. Bulog menjaga hilir. Dan petani? Tetap jadi ujung tombaknya.

Jika ini terus dijaga, kita tidak hanya tahan pangan. Kita bisa berdaulat pangan. Tidak lagi tergantung negara lain. Kita bisa ekspor. Bisa bantu negara lain.

Dan sejarah akan mencatat. Tahun 2025, Indonesia membalik peta pangan dunia. Dari negara pengimpor menjadi negara penyangga. Dari defisit menjadi mandiri. Dari cemas menjadi percaya diri.

Semoga langkah ini tidak berhenti. Semoga musim panen berikutnya tetap melimpah. Dan semoga pemerintah tidak lengah. Karena pangan bukan urusan ekonomi semata. Tapi juga urusan kedaulatan. Urusan masa depan.

Tahun depan, tantangannya lebih besar. Musim kering lebih panjang. El Nino belum benar-benar usai. Harga pupuk dunia masih naik. Perang belum mereda. Dan iklim makin tidak bisa diprediksi.

Tapi pemerintah sudah siapkan langkahnya. Kementerian Pertanian akan memperluas areal tanam hingga 2 juta hektare. Fokus di lahan-lahan suboptimal. Di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, hingga Nusa Tenggara Timur. (Kementan.go.id, Juli 2025)

Dukungan irigasi akan ditambah. Pompanisasi diperkuat. Alsintan disebar lebih cepat. Bibit unggul ditingkatkan. Semua untuk menjaga produksi saat musim sulit.

Menter Amran bilang, “Kalau petani dimanja dengan pupuk dan bibit, mereka pasti panen.” (Detik.com, 30 Juni 2025). Ia tahu: ketahanan pangan butuh eksekusi, bukan seminar.

Di sisi hilir, Bulog juga bersiap. Kini, di bawah nakhoda baru Mayjen TNI Ahmad Rizal Ramadhani.  Tahun 2026, mereka akan menambah kapasitas gudang hingga 5 juta ton. Gudang baru akan dibangun di wilayah perbatasan dan Indonesia timur. Seperti di Maluku Utara, perbatasan NTT, dan Papua Barat.

Distribusi akan diperkuat lewat kerjasama dengan TNI dan BUMN logistik. Sistem digital terpadu akan diperluas. Aplikasi SPHP akan dikembangkan. Masyarakat bisa pantau harga dan stok beras di wilayah masing-masing. (Bulog.co.id, Rencana Kerja 2026)

Bulog juga mulai lirik ekspor. Negara-negara Timur Tengah dan Afrika mulai tertarik. Indonesia dinilai mampu pasok beras medium dengan harga kompetitif. Kalau ini sukses, beras bukan cuma jadi cadangan. Tapi juga komoditas ekspor.

Dan semua ini akan terus berjalan dengan satu syarat: konsistensi.

Kalau kebijakan berubah tiap tahun, kita akan balik ke titik awal. Kalau petani dibiarkan lagi, produksi akan anjlok. Kalau Bulog kembali pasif, harga bisa naik.

Karena itu 2026 bukan akhir. Tapi ujian. Apakah pencapaian 2025 bisa bertahan. Apakah stok bisa dijaga. Dan apakah petani tetap semangat menanam.

Karena di situlah masa depan Indonesia dipertaruhkan. Tidak di meja perundingan luar negeri. Tapi di sawah. Di lumbung. Di truk pengangkut beras. Dan di meja makan setiap keluarga. (*)

*) SUPARDI H ARDY, Dirut KabarBaik.co

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik.  Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan Klik di sini

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.