KabarBaik.co – Fauzi, pedagang sembako dan pengelola gilingan bakso di Pasar Garum Kabupaten Blitar, mengeluhkan adanya pungutan liar (pungli) oleh oknum yang mengaku sebagai petugas penarikan karcis di pasar. Pungutan ini telah berlangsung selama empat tahun tanpa karcis resmi maupun Surat Keputusan (SK).
Menurut Fauzi, dugaan pungli ini memberatkan sekitar 150 pedagang yang diwajibkan membayar Rp5.000 per bulan, terlepas kios mereka buka atau tutup.
“Kami sudah mengalami pungli di sini selama sekitar 4 tahun. Tidak pernah ada SK yang menunjukkan dia diangkat sebagai petugas apa pun, dan pungutan juga tidak disertai karcis,” ungkap Fauzi, Senin (6/1).
Fauzi menuding uang pungutan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi. Ia juga menduga Andri, Mantri Pasar, mengetahui praktik ini.
Fauzi dan pedagang lainnya berharap Pemerintah Kabupaten Blitar yang baru, di bawah kepemimpinan Rijanto dan Beky, dapat segera menangani permasalahan ini. “Kami berharap pemerintah yang baru benar-benar responsif terhadap laporan masyarakat, karena masalah seperti ini menyangkut kepentingan orang banyak,” kata Fauzi.
Ia juga menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya yang dinilai kurang mendukung para pedagang pasar. Para pedagang telah mengajukan surat kepada dinas terkait untuk meminta penyelesaian masalah ini.
“Kami hanya berpegang pada perda yang berlaku. Sepengetahuan kami, retribusi pasar sudah mencakup fasilitas, termasuk kebersihan dan keamanan,” pungkasnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Blitar, Darmadi angkat bicara. Ia menjelaskan bahwa pedagang di pasar telah membentuk paguyuban yang membuat kesepakatan terkait iuran.
Darmadi menegaskan bahwa retribusi resmi sesuai peraturan daerah (perda) sudah mencakup biaya kebersihan dan keamanan pasar. “Selain retribusi, iuran lain merupakan inisiatif dari paguyuban pedagang itu sendiri. Hal ini telah dimediasi sebelumnya,” jelas Darmadi.
Sementara itu, Andri, selaku Mantri Pasar, menilai bahwa masalah ini merupakan urusan internal pedagang yang tergabung dalam paguyuban. Ia menyatakan bahwa iuran tersebut bukan pungutan paksa, melainkan sukarela, dengan nominal bervariasi mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 5.000.
“Iuran itu ditarik oleh pengurus paguyuban pedagang, dan hasilnya digunakan untuk keperluan kas paguyuban, termasuk kegiatan bersama pedagang,” ujar Andri. (*)