KabarBaik.co – Di tengah gelombang demonstrasi yang terus menguat di berbagai daerah, ratusan pemuda di Jombang berkumpul dalam sebuah forum diskusi terbuka bertajuk ‘Anak Muda Jombang Jaga Demokrasi: Membangun Kesadaran Hak Hukum untuk Ruang Publik yang Aman dan Inklusif‘. Acara ini digelar oleh Women Crisis Center (WCC) bekerja sama dengan Aliansi Inklusi Jombang di Kantor WCC.
Diskusi yang dihadiri oleh berbagai organisasi kepemudaan di Jombang ini diawali dengan doa bersama untuk para korban aksi demonstrasi di sejumlah daerah.
Para peserta kemudian menyanyikan lagu nasional ‘Padamu Negeri‘ sebagai bentuk pengingat bahwa kepentingan bangsa harus selalu diutamakan.
Forum menghadirkan empat pemantik diskusi utama, yaitu Daffa (Ketua PC GMNI Jombang), Asrorudin (Ketua PC PMII Jombang), Furqon (Ketua PC HMI Jombang), dan Shasmita (perwakilan IPPNU Jombang).
Turut hadir pula Aan Anshori dari Lingkar Indonesia untuk Keadilan serta Ana Abdillah, Direktur WCC Jombang, yang memberikan tanggapan.
Daffa dari GMNI menyebut demokrasi saat ini hanya sebatas jargon tanpa substansi. Menurutnya, kebebasan berpendapat sering dipersempit dan kritik kerap dibungkam dengan intimidasi.
“Demokrasi tidak hanya soal pemilu dan pilkada. Substansi kebijakan dan kepemimpinan yang benar-benar berpihak kepada rakyat jauh lebih penting,” kata Daffa, Kamis (4/9).
Asrorudin dari PMII menambahkan bahwa represi aparat dan polarisasi politik telah memudarkan cita rasa demokrasi. Ia mengingatkan agar kedaulatan rakyat kembali menjadi prinsip utama.
Sementara itu, Furqon dari HMI menyoroti rusaknya moral elit politik sebagai akar kerusakan demokrasi saat ini.
“Anak muda harus menjadi penjaga moral, dengan iman, ilmu, dan pengabdian kita bisa mengembalikan marwah demokrasi yang sesungguhnya,” ujarnya.
Dari perspektif pelajar, Shasmita dari IPPNU mengungkapkan minimnya pendidikan demokrasi membuat generasi muda mudah terpengaruh arus informasi media dan berujung apatis.
Aan Anshori dari Lingkar Indonesia untuk Keadilan mengapresiasi kapasitas kritis generasi Z, namun mengingatkan soal tantangan serius yang dihadapi demokrasi Indonesia.
“Penahanan ratusan demonstran di Surabaya mencerminkan peningkatan kekerasan negara terhadap warga. Demokrasi berjalan secara prosedural, tapi substansinya sering diskriminatif,” ujar Aan.
Aan juga mengutip pandangan Imam Ghazali yang menyebut rusaknya rakyat berawal dari rusaknya pemimpin akibat tokoh agama yang lebih mencintai dunia.
Ana Abdillah dari WCC menyoroti lemahnya literasi digital yang memudahkan masuknya hoaks dan disinformasi di ruang publik.
“Suara kritis bukan ancaman, melainkan napas bagi demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, literasi, perlindungan hak, dan pengawasan publik harus diperkuat,” tegas Ana.
Menurut catatan WCC, sepanjang 2024 terdapat 4.791 hoaks terverifikasi, dengan mayoritas isu politik. Bahkan, 40 persen percakapan politik di media sosial dilakukan oleh akun palsu.
Diskusi ini menegaskan pentingnya peran anak muda dalam menjaga ruang publik yang aman, inklusif, dan demokratis di tengah tantangan yang terus berkembang. (*)