KabarBaik.co – Forum Komunikasi Pengusaha Travel Umrah dan Haji Khusus (FK Patuh) Jawa Timur menyambut baik disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), yang salah satu poin pentingnya melegalkan pelaksanaan umrah mandiri sebagaimana tertuang dalam Pasal 86 huruf (b), dengan sejumlah syarat di Pasal 87.
Ketua FK Patuh Jatim, Ahmad Bajuri, menilai pengesahan UU ini merupakan langkah maju dalam modernisasi layanan ibadah umat Islam di Indonesia.
“Inilah bukti bahwa pemerintah selalu berupaya mencerdaskan rakyatnya,” ujar Bajuri saat ditemui di Kantor FK Patuh Jatim, Surabaya, Senin (27/10).
Tiga Kecerdasan
Bajuri menjelaskan, untuk melaksanakan umrah mandiri tidak cukup hanya dengan niat baik, melainkan diperlukan tiga bentuk kecerdasan, yaitu cerdas intelektual, cerdas emosional, dan cerdas spiritual.
“Cerdas intelektual itu artinya mampu memilih sarana transportasi dan hotel yang murah, nyaman, dan aman,” jelasnya.
Menurutnya, calon jemaah perlu membaca dan mempelajari berbagai penawaran layanan transportasi dan akomodasi yang tersedia.
“Kalau salah memilih hotel, bukan murah yang didapat, tapi justru kemahalan,” tukasnya sambil tersenyum.
Selanjutnya, cerdas emosional, kata Bajuri, adalah kemampuan berkomunikasi dan membangun jejaring dengan orang-orang berpengalaman.
“Kalau tidak ingin tersesat dan terlantar, harus belajar dulu dan bertanya kepada mereka yang sudah pernah melakukan umrah mandiri,” tegasnya.
Sementara itu, cerdas spiritual menjadi kunci utama agar ibadah tetap bernilai sah.
“Umrah mandiri menuntut seseorang memahami ilmu agama, terutama ilmu manasik. Kalau tidak paham, ibadahnya bisa berubah jadi sekadar wisata rohani, bahkan berpotensi tidak sah,” ujarnya.
Syarat Umrah Mandiri
Menurut Bajuri, masyarakat tidak boleh salah paham bahwa legalisasi umrah mandiri berarti bebas tanpa aturan. UU No. 14 Tahun 2025 tetap memberikan batasan dan mekanisme perlindungan negara.
“Ada syarat penting: jemaah umrah mandiri harus sudah membeli paket layanan dan wajib melapor ke Kementerian Agama. Ini bentuk perlindungan negara kepada rakyatnya,” jelas Bajuri, merujuk pada Pasal 87 huruf (e).
Ia menilai, langkah ini merupakan kompromi bijak antara semangat keterbukaan dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warganya di luar negeri.

Reaksi Travel Umrah
Menanggapi reaksi pelaku industri, Bajuri mengatakan bahwa mayoritas pimpinan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di Jawa Timur dapat menerima kebijakan ini dengan lapang dada.
“Memang ada yang setuju, ada juga yang belum setuju. Tapi saya yakin itu hanya soal waktu dan kebiasaan. Lama-lama pasti bisa menerima,” ujarnya optimistis.
Ia mengakui, sekitar 25 persen travel umrah masih merasa khawatir bahwa pasar jemaah mereka akan berkurang setelah adanya umrah mandiri.
“Tapi mereka bukan takut atau menolak perubahan, hanya kaget saja karena kebijakan ini baru dan butuh penyesuaian,” kata Bajuri.
Payung Hukum
Bajuri menegaskan bahwa hadirnya UU No. 14/2025 justru memberikan payung hukum bagi fenomena umrah mandiri yang sudah terjadi di masyarakat sejak beberapa tahun terakhir, terutama di era digital.
“Faktanya, banyak jemaah yang sudah berangkat umrah mandiri lewat platform digital. Tanpa dasar hukum, justru mereka tidak terlindungi,” ujarnya.
Dengan adanya legalisasi ini, pemerintah memiliki dasar untuk melakukan pengawasan, perlindungan, dan edukasi agar jemaah tidak menjadi korban penipuan.
“Kalau tidak ada aturan, rakyat justru kehilangan perlindungan dari negara. Jadi UU ini harus kita lihat sebagai peluang, bukan ancaman,” pungkasnya.
Era Baru
Menurut Bajuri, FK Patuh Jatim bersama asosiasi lain akan terus mendorong pelaku travel untuk beradaptasi dengan perubahan zaman, meningkatkan kualitas layanan, dan memperkuat kolaborasi dengan pemerintah.
“Umrah mandiri ini era baru. Bagi yang siap, ini peluang besar. Tapi bagi yang lalai, bisa jadi tantangan berat. Jadi bukan waktunya menolak, tapi berbenah dan berinovasi,” tutup Bajuri.






