HARI Santri, yang diperingati setiap 22 Oktober, bukan sekadar perayaan seremonial untuk mengenang peran santri dalam sejarah Indonesia. Lebih dari itu, momen ini adalah cerminan ketangguhan, keberanian, dan kontribusi besar santri sebagai representasi umat Islam dalam menjaga keutuhan bangsa di tengah berbagai ancaman dan tantangan yang terus berubah seiring zaman.
Santri, dalam pengertian yang lebih luas, bukan hanya mereka yang pernah menimba ilmu di pesantren, melainkan jiwa-jiwa yang mewarisi spirit Islam ala para wali dan ulama Nusantara—Islam yang rahmatan lil ‘alamin, moderat, dan berpijak pada kearifan lokal. Dari masa kerajaan Islam, perjuangan merebut kemerdekaan, hingga pengawalan kemerdekaan, santri telah menjadi cat tebal dalam kanvas keberagaman Nusantara. Di era disrupsi informasi dan digitalisasi saat ini, tantangan yang dihadapi santri tidak mereda, melainkan kian kompleks dan berpotensi mengguncang fondasi keimanan, keilmuan, dan kebangsaan mereka.
Sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, santri telah menjadi tulang punggung penyebaran ajaran Islam yang damai dan inklusif. Para ulama seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati hingga Sunan Kalijaga tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membangun peradaban melalui pendidikan, budaya, dan ekonomi. Mereka menghadapi ancaman animisme dan dinamisme yang kuat pada masa itu.
Namun, dengan pendekatan bijak, mereka memadukan nilai Islam dengan kearifan lokal, menciptakan harmoni yang menjadi ciri khas Islam di bumi Nusantara. Pesantren, sebagai pusat pembentukan santri, menjadi sarana utama untuk melahirkan generasi yang berilmu, berakhlak, dan cinta tanah air. Semangat santri tidak terbatas pada dinding pesantren; ia hidup dalam setiap individu yang meneladani cara para wali dan kiai menyebarkan Islam dengan kasih sayang dan kepekaan budaya.
Pada era pra-kemerdekaan, santri menunjukkan peran heroiknya. Ketika penjajah Belanda dan Jepang mencengkeram Nusantara, pesantren menjadi pusat perlawanan, tetapi semangat santri juga terpancar dari masyarakat luas yang terinspirasi oleh nilai-nilai keislaman dan kebangsaan. Resolusi Jihad yang digelorakan oleh Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi tonggak sejarah, menggerakkan para santri—baik yang mondok maupun yang tidak—untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka bertempur dengan senjata, doa, dan semangat keimanan, menghadapi ancaman fisik dan ideologis dari kolonialisme. Santri, dalam pengertian luas, adalah setiap jiwa yang memperjuangkan kemerdekaan dengan landasan nilai-nilai Islam di Nusantara.
Pasca-kemerdekaan, tantangan terus bergulir. Santri menghadapi ideologi komunisme yang berusaha merenggut nilai-nilai agama dan kebangsaan pada dekade 1960-an. Baik santri pesantren maupun masyarakat yang mewarisi spirit ulama Nusantara menjadi benteng pertahanan dalam menjaga ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI. Ketika komunisme runtuh, ancaman baru muncul dalam bentuk radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Santri, dengan landasan keilmuan yang kuat dan pemahaman Islam yang moderat, kembali menjadi garda terdepan dalam melawan narasi yang memecah belah umat dan bangsa, menunjukkan bahwa semangat santri adalah warisan universal yang tidak terbatas pada lingkungan pesantren.
Memasuki era disrupsi informasi dan digitalisasi, santri—baik mereka yang belajar di pesantren maupun yang hidup dengan jiwa pewaris Islam moderat—menghadapi badai tantangan yang lebih kompleks. Dunia digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, memperoleh informasi, dan membentuk pandangan dunia. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, era ini juga membawa ancaman baru: penyebaran hoaks, radikalisme digital, dan polarisasi sosial. Media sosial, sebagai alat utama penyebaran informasi, sering kali menjadi ladang subur bagi narasi intoleransi, ujaran kebencian, dan propaganda yang mengancam harmoni keberagaman Nusantara.
Santri, sebagai pewaris tradisi keilmuan dan akhlak mulia para wali, dituntut untuk tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga memahami dinamika dunia digital. Tantangan ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi bagaimana menjaga akhlak, integritas, dan nilai-nilai Islam di tengah gempuran informasi yang tidak selalu sejalan dengan ajaran agama. Narasi radikalisme yang dikemas dalam konten digital sering menyasar generasi muda, termasuk mereka yang memiliki jiwa santri, dengan memanfaatkan isu-isu sensitif seperti ketidakadilan sosial atau konflik global. Di sisi lain, hedonisme dan sekularisme yang diusung budaya populer di dunia maya juga menjadi ancaman laten yang dapat mengikis nilai-nilai luhur yang diwariskan para ulama Nusantara.
Namun, ancaman ini juga membawa peluang. Digitalisasi membuka ruang bagi santri untuk memperluas dakwah dan memperkuat peran mereka sebagai agen perubahan. Pesantren modern kini mulai mengintegrasikan teknologi dalam pendidikan, melahirkan santri yang tidak hanya paham agama, tetapi juga melek teknologi. Di luar pesantren, mereka yang mewarisi semangat Islam tengah dapat memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi dan kebersamaan. Konten-konten keislaman yang kreatif, seperti video dakwah, podcast, dan artikel online, menjadi sarana baru untuk menyuarakan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Santri masa kini, dalam pengertian luas, memiliki kesempatan untuk menjadi “influencer” kebaikan, melawan narasi negatif dengan pesan-pesan positif yang berlandaskan Alquran, Hadis, Ijmak, Qiyas, dan kearifan lokal.
Santri, sebagai jiwa-jiwa yang mewarisi Islam ala para wali dan ulama Nusantara, tetap menjadi cat tebal dalam kanvas keberagaman Indonesia. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan suku bangsa, Indonesia adalah mozaik budaya yang unik. Santri, baik yang berasal dari pesantren maupun masyarakat luas yang menjunjung nilai-nilai Islam, telah lama memahami pentingnya menjaga harmoni dalam keberagaman. Tradisi tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan tawasuth (moderat) yang diwariskan para ulama menjadi modal besar untuk merajut kebersamaan di tengah pluralitas.
Namun, menjaga keberagaman ini bukan tanpa hambatan. Di era digital, polarisasi sosial semakin mudah terjadi karena algoritma media sosial yang mengelompokkan orang berdasarkan pandangan serupa. Santri harus mampu melampaui jebakan ini dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang diajarkan para ulama pendahulu. Mereka harus menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai elemen masyarakat, bukan malah terjebak dalam konflik identitas yang diciptakan oleh narasi digital.
Hari Santri mengingatkan kita bahwa peran santri—sebagai jiwa-jiwa pewaris Islam di Nusantara—tidak pernah usai. Tantangan di era disrupsi informasi menuntut santri untuk terus beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Pesantren harus menjadi laboratorium inovasi yang melahirkan generasi yang menguasai ilmu agama, sains, dan teknologi. Di luar pesantren, setiap individu yang hidup dengan semangat para wali harus turut berkontribusi menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat dan inklusif. Pendidikan karakter yang menjadi ciri khas Islam di Nusantara harus tetap menjadi fondasi, sehingga santri mampu menghadapi gempuran “budaya impor” tanpa kehilangan identitas keislaman dan keindonesiaannya.
Santri juga harus aktif dalam diskursus publik, baik di ruang digital, akademik, maupun sosial, untuk menyuarakan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan bekal keilmuan yang kuat dan akhlak mulia, santri dapat menjadi agen perubahan yang menjawab tantangan zaman, mulai dari hoaks, radikalisme, hingga ancaman disintegrasi bangsa. Pemerintah dan masyarakat memiliki peran penting untuk mendukung santri melalui investasi dalam pendidikan, infrastruktur, dan pengembangan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Hari Santri adalah momentum untuk merenungkan peran strategis santri sebagai jiwa-jiwa pewaris Islam ala para wali dan ulama Nusantara. Dari masa ke masa, santri telah membuktikan ketangguhannya dalam menghadapi ancaman dan tantangan, mulai dari animisme, kolonialisme, komunisme, hingga radikalisme. Di era disrupsi informasi, tantangan yang dihadapi santri semakin kompleks, tetapi peluang untuk berkontribusi juga semakin besar. Dengan keilmuan yang mendalam, akhlak mulia, dan semangat kebangsaan yang kokoh, santri akan terus menjadi cat tebal dalam kanvas Nusantara, menjaga harmoni dan keutuhan bangsa di tengah badai zaman. Mari dukung santri—baik dari pesantren maupun masyarakat luas yang mewarisi spirit Islam Nusantara—untuk terus bersinar sebagai lentera keislaman dan keindonesiaan, hari ini dan di masa depan. (*)