Sebelum Jadi PWNU Bernama Majelis Konsul, Ini Nama Rais Syuriah dan Ketua NU Jatim dari Masa ke Masa

oleh -2691 Dilihat
LAMBANG NU

KabarBaik.co Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur mencatatkan babakan sejara baru. Melalui Konferensi Wilayah (Konferwil) XVIII di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, telah menetapkan KH Anwar Manshur dan KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) sebagai Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah PWNU Jatim periode 2024-2029.

Dua kiai tersebut mencatatkan dan menambah daftar baru perjalanan kepemimpinan NU di Jatim. Memang, Ormas Islam terbesar itu terlahir di Kota Surabaya. Namun, tidak serta merta kepengurusan wilayah NU di Jatim terbentuk. Ada proses cukup panjang yang mengawalinya.

Dilansir dari berbagai literatur, memasuki tahun ketiga berdirinya NU atau pada 1929, Hadratussyaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai pelopor berdirinya NU tergerak untuk mendirikan pengurus cabang (PC) di berbagai daerah.

Seiring perjalanan waktu, upaya itu membuahkan hasil. Pada 1934, hampir 60 persen daerah-daerah di Nusantara, telah berdiri PCNU. Untuk mempermudah konsolidasi dan koordinasi, Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO)—nama awal PBNU—membentuk konsul. Tugasnya, mengkoordinasi beberapa cabang di sekitarnya.

Kepengurusan konsul itu menjadi cikal bakal kepengurusan PWNU di daerah setingkat provinsi. Di Jatim, sebelum berdiri PWNU, terdapat tiga konsulat. Pertama, Konsul Madura yang dipimpin KH Abdul Munif dari Bangkalan. Daerahnya meliputi seluruh Madura. Kedua, Konsul Malang dengan ketua dijabat KH Iskandar Sulaiman yang meliputi wilayah Malang dan Mataraman.

Sedangkan wilayah timur Jatim dalam koordinasi Konsul Pasuruan. Bahkan, Konsul Pasuruan kala itu meliputi Bali hingga Nusa Tenggara. Ketua konsulnya adalah KH Abdurrahman. Namun, pada 1937, KH Abdurrahman terpilih sebagai Hoofd Voor Islamitische Zaken di Batavia. Karena itu, kiai asal Legi, Pasuruan itu mengundurkan diri dari NU. Selanjutnya, Konsul NU Pasuruan dipegang KH Muhammad Dahlan.

Seiring waktu, tiga konsul tersebut bermufakat menjadi satu struktur. Hal ini sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar XX NU pada 1954. Dalam Anggaran Dasar hasil Muktamar NU pada 1954 itu, tepatnya di Pasal 5, menyebutkan bahwa pengurus NU terdiri dari: (a) Pengurus Besar; (b) Madjelis Konsul Wilajah; (c) Tjabang; (d) Madjelis Wakil Tjabang dan; (e) Ranting.

Karena aturan tersebut, ketiga konsul di Jatim melebur dalam satu kepengurusan dalam naungan Majelis Konsul Wilayah NU Jatim. Pada saat itu, KH Mahfudz Sjamsulhadi asa Banyuwangi terpilih sebagai ketuanya. Adapun KH Umar Burhan, asal Gresik, ditunjuk sebagai sekretaris.

Selain itu, kepengurusan juga dilengkapi dengan bendahara, pembantu urusan dakwah, ma’arif, mabarot, muslimat, pertanian, perekonomian dan pembantu-pembantu yang tidak ditentukan bagiannya.

Majelis Konsul Wilayah, juga diperkenankan untuk membentuk Komisaris Daerah (Komda) yang berkedudukan di setiap keresidenan. Majelis Konsul yang memiliki wilayah yang luas, dapat mengangkat lebih dari satu Komda. Posisi ini sendiri tak memiliki staf dan pekerjaan khusus. Kinerjanya berlaku secara umum sebagaimana yang perintahkan oleh PBNU ataupun Majelis Konsul Wilayah.

Penyatuan Konsul tersebut erat kaitannya dengan situasi politik. Yakni, pelaksanaan Pemilu 1955 yang melibatkan Partai NU. Saat itu, hirarki partai tak mungkin menggunakan sistem konsul. Namun, mengikuti konstruksi nasional yang menempatkan struktur partai di tingkat provinsi, kabupaten hingga ke bawah.

Berkat penyatuan konsul itu, PWNU Jatim meraih hasil yang cukup maksimal. Ketika itu, perolehan suara Partai NU di Jatim menduduki peringkat pertama dengan sebanyak 3.370.554 suara. Mengacu hasil Pemilu tersebut, saat dibentuk DPRD Peralihan Tingkat I Jatim, kader-kader NU mendominasi. Dari 70 kursi, Partai NU mendapatkan 21 kursi atau lebih dari 30 persen.

Kader Partai NU bernama Ahmad Thohir Hadisoeparto asal Sumenep sebagai Ketua DPRD Peralihan Tingka I Jatim dan KH Machfudz Sjamsulhadi sebagai wakil ketuanya. Sedangkan Ketua Fraksi NU kala itu dijabat H Muhammad Saleh.

Pada 1956, Majelis Konsul NU Jatim melaksanakan konferensi, di Ponorogo. Dalam konferewnsi itu dilakukan penyesuaian nomenklatur serta penyusunan tugas-tugas sebagaimana diamanatkan dalam Muktamar XX NU di Surabaya.

Satu tahun kemudian, tepatnya pada 18 Maret 1957, Majelis Konsul NU Jatim mengeluarkan surat nomor 224/A/Tanf/PW/III-57. Isinya, pengumuman perubahan nama. Dari Konsul PBNU wilayah Jatim menjadi Pengurus Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim. Sejak itu, mulailah diperkenalkan ke PCNU di seluruh Jatim.

Pada masa ini, PWNU Jatim langsung menghadapi perhelatan Pemilu daerah untuk menentukan anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pada Pemilu yang digelar 29 Juli 1957, Partai NU di Jatim mencapai 2.999.785 suara. Angka itu menyusut hingga 11 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 1955.

Meski demikian, Partai NU Jatim tetap berada di urutan pertama. Sebab, Partai Nasional Indonesia (PNI) juga mengalami penurunan jumlah suara. Adapun yang mengalami peningkatan suara drastis di Jatim adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meraup 17,6 persen.

Penurunan suara Partai NU tersebut antara lain dipicu sejumlah hal. Terutama dari faktor internal. Banyak terjadi riak-riak di tingkat PWNU maupun PCNU tentang pembagian jabatan. Terutama, saat pengisian kursi DPRD. Di sejumlah PCNU, juga terjadi friksi yang sama.

Terlepas dari fenomena itu, PWNU Jatim terus menggerakkan roda organisasi. NU Jatim menggelar konferensi wilayah (Konferwil) untuk kali pertama pada 26-28 September 1959, di Bondowoso. Pada konferensi itu, KH Mahfudz Sjamsulhadi terpilih kembali sebagai ketua. Adapun Rais Syuriah adalah KH Mahrus Aly, Lirboyo, Kediri, dan Wakil Rais Syuriah KH Ridwan Abdullah Surabaya.

Sejak itu, PWNU Jatim menyelenggarakan Konferwil. Sebagaimana diatur dalam Anggaran Rumah Tangga NU, Konferwil sedikitnya dilaksanakan satu tahun sekali (ART NU Hasil Muktamar XXIV NU, Pasal 41, ayat 1). Sedangkan pemilihan Rais Syuriah dan ketua, dilakukan setiap dua tahun sekali (ART NU Hasil Muktamar 24 NU, Pasal 17, ayat 7). Seiring waktu, terus berubah. Mulai dari 3 tahun, 4 tahun hingga 5 tahun sekali sebagaimana dilaksanakan sekarang.

Dari sini, PWNU Jatim telah berganti nakhoda berulang kali. Berikut Rais Syuriah PWNU Jatim dari waktu ke waktu:

  • KH Mahrus Ali sejak awal 1957  hingga 1985
  • KH Najib Abdul Wahab, 1985-1987
  • KH Ahmad Syarqowi, 1987-1988
  • KH Imron Hamzah, 1988-2000
  • KH A Masduki Machfudz, 2000-2007
  • KH Miftahul Achyar, 2007-2015
  • KH M Anwar Manshur, 2015-sekarang

Sampai masa kepemimpinan KH Imron Hamzah, semua Rais Syuriah PWNU Jatim tergantikan setelah beliau wafat. KH Masduqi Mahcfudz, tergantikan oleh KH Miftakhul Akhyar saat Konferwil. Lalu, Kiai Miftah mengundurkan diri sebagai Rais Syuriah PWNU Jatim pada 2015 karena didaulat menjadi Pj Rais Am menggantikan KH Makruf Amin, yang mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden RI.

Sementara itu, berikut Ketua PWNU Jatim mulai awal dibentuk:

  • KH Machfudz Sjamsulhadi l, 1957-1963
  • KH Abdullah Siddiq, 1963-1967
  • KH Achmad Siddiq, 1967-1975
  • KH Abdullah Siddiq, 1976-1982
  • KH Hasyim Latief, 1982-1986
  • KH Syafi’i Sulaiman, 1986-1992
  • KH Hasyim Muzadi, 1992-1999
  • KH Ali Machsan Moesa, 1999-2008
  • KH Mutawakil Alallah, 2008-2018
  • KH Marzuki Mustamar, 2018-2023
  • KH Abdul Hakim Mahfudz, 2023-2029

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.