PADA tahun 2013, sebuah perjalanan suci membawa aku dari kampung terpencil menapaki jejak-jejak agung di Tanah Haram. Bukan hanya tubuh yang menempuh perjalanan, tetapi jiwa yang dipanggil untuk merasakan ziarah batin. Di antara barang-barang yang kubawa, terdapat sepasang sepatu: DI 19. Sebuah merek karya Dahlan Iskan, salah seorang tokoh yang saya kagumi. Gaya kepemimpinannya. Kewartawanannya.
Sepatu itu bukan hanya alas kaki. Ia adalah simbol dari mimpi, perjuangan, dan harapan tentang keberkahan dan perubahan. Dalam budaya yang mengagungkan simbol, sepatu itu adalah bagian dari narasi. Layaknya Musa yang diminta menanggalkan sandal saat menginjak Lembah Suci Thuwa (QS. Thaha: 12), aku membawa sepatu itu bukan sekadar penutup kaki, melainkan saksi perjalanan batin.
Baca juga: Panggilan Langit
Aku lahir dari sebuah kampung sunyi, tempat di mana cita-cita sering dianggap terlalu mewah untuk dikejar. Aku tumbuh dengan menapaki tanah berlumpur, mengukir langkah-langkah dengan harapan yang digerus waktu. Maka, ketika aku berhasil menembus tembok dunia jurnalistik dan bekerja di bawah Dahlan Iskan, aku merasa seolah sebagian dari mimpi menjelma nyata.
Sepatu DI 19 seolah menjadi saksi. Simbol kedekatan spiritual antara diriku dan sang mentor. Sepatu itu kubeli dengan niat bukan hanya untuk kenyamanan, tetapi karena mewakili semangat, nasionalisme, dan kerja keras. Bahkan saat Dahlan Iskan ikut konvensi calon presiden melalui Partai Demokrat, harapan pun turut kugantungkan di ujung tali sepatu itu. Bahwa, perubahan, barangkali bisa berjalan melalui langkah-langkah yang penuh integritas.
Maka, ketika aku mendapatkan panggilan langit menjadi bagian dari Media Center Haji (MCH), aku tak ragu untuk membawa sepatu itu ke Tanah Suci. Makkah dan Madinah, kota-kota agung itu menerima jejak seorang anak desa yang biasa bertelanjang kaki menyusuri jalanan berdebu. Kini, dengan sepatu yang membawa nama “Demi Indonesia.”
Baca juga: Jejak Padang Hudaibiah: Sabar di Balik Kecewa
Musim haji hampir selesai. Bau bantal rumah, telah terlukis di pelupuk. Hari itu, aku dan seorang rekan dari TVRI melangkah menuju Masjidil Haram. Salat di Baitullah sebelum kembali ke Tanah Air. Dengan penuh khidmat dan percaya diri, kami menanggalkan sepatu di rak. Aku sengaja tidak asal memilih rak untuk menitipkan sepatu yang sebetulnya tidak baru itu. Aku mencari rak bernomor 19, angka yang bagiku bukan kebetulan. “Biar mudah dicari, dan semoga mendapat berkahnya,” kataku pada sang rekan itu.
Temanku yang lebih senior itu menimpali. “Taruh di rak mana pun tak mengapa, ini Baitullah (rumah Allah).”
Namun, aku tetap bersikukuh. Dalam pikiranku, angka 19 mengandung makna mistik. Alquran mengisyaratkan angka ini dalam surat Al-Muddatsir ayat 30: “‘Alayhā tis‘ata ‘ashar—di atasnya ada sembilan belas (penjaga).”
Tak sedikit mufassir menyebut angka 19 itu sebagai angka yang istimewa. Bahkan, jumlah huruf dalam basmalah juga sembilan belas. Aku berharap, angka itu menjadi pengikat keberkahan. Usai salat, kami kembali ke rak 19. Namun, yang kutemukan hanyalah kehampaan. Sepatu itu lenyap, seolah dibawa angin atau dilupakan waktu. Bersama itu, sepatu temanku pun turut menghilang. Kami berupaya mencari ke rak-rak lain, menyisir sudut masjid, namun hasilnya tetap nihil.
Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu
Kami pun pulang ke maktab di daerah kerja (Daker) Makkah dalam kondisi nyeker. Naik bus salawat tanpa alas kaki, menjadi ironi di tengah jutaan umat manusia yang berpakaian ihram seragam. “Makanya, jangan bawa urusan politik ke Tanah Suci,” gumam temanku sambil sedikit mencibir.
Aku hanya diam. Membisu. Merasa bersalah. Tenggelam dalam labirin pikiranku sendiri. Apakah ini teguran karena terlalu menggantungkan makna spiritual pada benda fana? Apakah ini pengingat agar aku kembali ke hakikat ibadah, melepaskan simbol, dan menanggalkan segala bentuk keterikatan dunia?
Di dalam Alquran, Allah SWT mengingatkan: “Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Sepatu itu, pada akhirnya, mungkin harus hilang agar aku belajar bahwa keberkahan bukan datang dari benda. Tapi, dari hati yang ikhlas dan pasrah. Dalam banyak hikayat sufi, kehilangan bukanlah tragedi, melainkan pintu masuk menuju penyadaran. Jalaluddin Rumi pernah berkata, “Apa yang kau cari, sedang mencarimu.” Maka sepatu yang hilang itu, sejatinya bukanlah kehilangan, melainkan pertemuan dengan pemahaman baru.
Baca juga: Ziarah Rindu
Aku merenung. Mungkin aku terlalu percaya pada simbol: sepatu, angka, nama besar. Mungkin aku telah menjadikan sepatu itu sebagai jimat, bukan sebagai penunjang ibadah. Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Perjalanan pulang menjadi babak baru. Aku tak lagi membawa sepatu itu. Aku membawa sesuatu yang lebih penting. Kesadaran. Bahwa, segala hal duniawi bisa hilang seketika, namun pemahaman dan kesadaran spiritual akan tinggal lebih lama dalam jiwa. Tanpa sepatu, aku merasa lebih ringan. Seolah Tuhan telah menanggalkan beban simbolik dari kakiku, agar langkah ini lebih tulus dan merdeka.
Sepatu DI 19 itu mungkin tak pernah ditemukan lagi. Ia telah berubah menjadi cerita. Sebuah kisah tentang keikhlasan, keterikatan, dan kesadaran akan hakikat ibadah. Langkah-langkah kakiku mungkin telah kembali. Menjejak tanah kampung. Namun, kini dengan jiwa yang lebih lapang. Sepatu bisa hilang, pelajaran akan tetap tinggal.
Sebagaimana firman Allah SWT: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci
Dan, dalam kehilangan sepatu itu, tersimpan keberkahan yang lebih hakiki. Bertemu dengan makna yang tak kasat mata. Bahwa, semua perjalanan, seindah dan seberat apapun, sejatinya adalah ziarah menuju Tuhan. (*/bersambung)