KabarBaik.co – Olahan sidat, Oling atau Unagi yang terkenal di restoran Jepang menjadi salah satu olahan menu makanan tradisional yang kerap dimasak penduduk Banyuwangi. Biasanya sidat atau yang dikenal di sejumlah daerah di Pulau Jawa dengan nama Oling diolah menjadi pepes. Selain dibuat pepes, sidat sebenarnya bisa juga dibuat penyetan seperti lele, belut, wader dan aneka ikan lainnya. Namun karena sidat lebih sulit didapatnya, kurang popular dibanding olahan ikan tawar lainnya.
Sidat yang dijelaskan peneliti banyak mengandung omega 3, beta karoten, vitamin A, B, dan C, serta protein tinggi dimasak dengan aneka macam bumbu khas suku Osing dan dibungkus menggunakan daun pisang. Ada dua cara pengolahannya, dibakar ataupun dikukus.
Keduanya sama-sama nikmat. Perpaduan antara aneka bumbu dengan kelembutan daging sidat membuat cita rasa yang otentik. Sehingga itulah alasan mengapa pepes sidat banyak diminati masyarakat dari segala kalangan usia.
Ikan sidat sendiri menjadi salah satu andalan ekspor perikanan yang ada di Banyuwangi jumlahnya mencapai 147 ton per tahun. Kualitas ikan sidat Banyuwangi merupakan yang terbaik di dunia. Dimana pengakuan tersebut datang langsung dari kementerian kelautan dan perikanan.

Hal tersebut tidak lepas dari kualitas air tawar di Banyuwangi yang begitu baik. Di Bandung sendiri hanya terdapat 10.000 PPM dalam setiap 25 miligram kandungan bakteri, unggul jauh dari Jakarta yang kandungan bakteri yang mencapai 550.000 PPM.
Ikan sidat sendiri dipilih karena nilai ekonomi yang besar. Ikan silat juga menjadi primadona di sejumlah kandungan protein dan gizinya yang begitu tinggi yang tidak dimiliki oleh ikan lain. Itu yang menjadikan ikan sidat paling digemari di sejumlah negara terutama Jepang.
Bahan Baku Sulit Didapat, Pepes Oling Diminati
Menu pepes oling biasanya dijumpai pada warung-warung makan yang menjajakan aneka olahan ikan tawar. Menu pepes oling salah satu menu paling laris yang digemari para wisatawan domestik dan warga sekitar yang menyukai olahan oling.
Seperti di Warung Mbok Yook, milik Arsono, 43 tahun, di Dusun Mondoluko, Desa Tamansuruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Di tempat yang menjual aneka olahan ikan air tawar itu, pepes oling dijual dengan harga Rp 15 ribu. Setiap bungkus pepes berisi tiga potongan sidat berukuran kecil sekali hap.
Sejak membuka warung pada tahun 2020 silam, Arsono mengakui bila pepes oling menjadi menu andalan yang paling laris dijualnya. Rata-rata pembelinya adalah warga lokal Banyuwangi maupun wisatawan dari sekitaran Jawa Bali.
Selain karena rasanya yang memang enak, sebagian pelanggan mencari menu olahan sidat karena meyakini membawa khasiat sebagai obat.

“Sejak buka empat tahun silam, saya selalu jualan pepes oling. Karena memang laris dan banyak diburu pelanggan. Entah itu orang tua ataupun anak-anak suka olahan sidat ini,” kata bapak beranak dua tersebut.
Menu itu disebutnya juga menu spesial. Alasannya karena memang sidat sebagai bahan baku pepes sudah sangat langka. Lebih-lebih di Banyuwangi, sidat seolah nyaris tak pernah bisa ditemukan.
Arsono menyebut memperolehnya dari para pencari sidat yang masih bergantung pada alam. Biasanya para pencari sidat menempuh jarak puluhan kilometer hingga ke hutan-hutan perbatasan Situbondo hingga Bondowoso, hanya demi bisa memperoleh sidat.
“Saya beli dari mereka (pencari sidat) itu harganya Rp 70 ribu – Rp 90 ribu per kilogramnya,” jelasnya.
Terkadang bila saking sulitnya, Arsono memilih terjun sendiri, karena memang dia juga sudah berpengalaman mencari sidat. Lokasinya pun sama jauhnya dengan para pemburu sidat lainnya.
“Karena memang sejak buka warung, saya selalu mengupayakan menu pepes oling ini selalu tersedia supaya pelanggan tidak kecewa,” ujar pria yang sebelumnya sudah belasan tahun menggeluti pekerjaan sebagai pencari ikan air tawar itu.
Salah satu warung tradisional yang juga menjual pepes sidat yakni Warung Puthuk Mbok Misnah di Desa/Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Dia bahkan sudah menyuguhkan menu ini sejak tahun 2016 silam.
Namun dari tahun ke tahun sidat semakin sulit didapatnya. Ia pun juga semakin jarang memasak olahan sidat.
“Oling sudah sulit dicari, gak tentu mesti ada. Jadi sekarang sudah jarang masak pepes oling,” jelas Mbok Misnah sang pemilik warung.
Padahal, kata dia, pepes oling banyak dicari pelanggannya. Bahkan tidak hanya penduduk lokal tapi juga turis-turis asing asal China.
“Banyak yang tanya pepes oling kalau kesini, tapi ya gimana saya jelaskan kalau oling sulit dicari. Saya rekomendasikan menu lain ada olahan ikan lain ada wader, ada ikan lainnya juga. Alhamdulillah cocok juga,” tukasnya.
STP Pelopori Budidaya Sidat Berkelanjutan
Sidat memang menjadi salah satu jenis ikan air tawar bernilai tinggi karena permintaannya yang sangat besar di pasar kuliner di Asia dan dunia. Sidat banyak disukai karena rasanya lezat dan kandungan nutrisinya yang tinggi, menjadikannya pilihan untuk hidangan premium.
Persoalannya sidat memang memiliki siklus hidup yang kompleks dan misterius. Oleh sebabnya, sidat untuk kebutuhan industri didapatkan dari hasil alam mengandalkan sidat muda (glass eel) di alam liar yang kemudian dibesarkan untuk dikomersialisasikan.
Penangkapan secara besar-besaran akan mengancam populasi sidat di habitat alami mereka. Begitupun dari sisi komersil, cara itu juga tidak menguntungkan, karena tidak adanya kepastian pasokan.
Oleh karenanya, fasilitas Aquaculture Research Center (ARC) yang didirikan PT Suri Tani Pemuka (STP) anak perusahaan Japfa bekerja keras melakukan riset agar sidat bisa dibudidaya dan dikembangbiakan.
Berkolaborasi dengan institusi internasional terkemuka seperti Higher Institution Centres of Excellence, Borneo Marine Research Institute of Universiti Malaysia Sabah (UMS) dan Universitas Kindai melakukan percobaan budidaya dan perkembangbiakan sidat di Banyuwangi. Peneliti memilih sidat tropis (Anguilla bicolor) untuk jadi objek percobaan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, di tahun 2024 kolaborasi ini membuahkan hasil. Tim ARC berhasil menetaskan 70.000 larva, dengan keberhasilan pemeliharaan larva selama 11 hari.
Japfa menjadi yang pertama di dunia dan mendandai kemajuan besar dalam pengelolaan populasi sidat dan menunjukkan adanya potensi untuk memproduksi sidat tropis dalam skala besar di penangkaran.
“Pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam upaya kami untuk mengelola populasi sidat secara berkelanjutan, karena untuk pertama kalinya kami berhasil menetaskan sidat tropis di lingkungan yang terkendali,” ujar Ardi Budiono, Direktur Utama STP.
Keberhasilan langkah pertama reproduksi sidat tropis dalam penangkaran ini tidak hanya menunjukkan kemajuan signifikan dalam teknologi akuakultur, namun juga memberikan harapan baru bagi konservasi sidat tropis, Anguilla bicolor, yang saat ini diklasifikasikan sebagai “Hampir Terancam/ Near Threatened (NT)” dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
“Untuk memastikan keberlanjutan sidat tropis, STP akan terus menerapkan praktik budidaya sidat yang berkelanjutan, melakukan berbagai penelitian mengenai sidat, dan terus mendukung upaya untuk meningkatkan populasi sidat di habitat alami mereka, sebagai bagian dari komitmen kami terhadap budidaya perairan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Disebutkan bahwa terobosan dalam pembiakan sidat tropis ini sejalan dengan komitmen JAPFA terhadap produksi pangan yang efisien dan berkelanjutan di seluruh portofolio produk protein yang beragam. Lebih-lebih memperbanyak pilihan asupan protein bagi masyarakat selain daging merah dan unggas, ditengah fokus Pemerintah Republik Indonesia dalam menekan angka kasus stunting.
Selain itu, keberhasilan budidaya STP itu juga akan memberi dukungan bagi para pelaku umkm untuk mendapat kemudahan dan kepastian pasokan sidat. Sehingga berdampak pada industri pariwisata Banyuwangi maupun pertumbuhan ekonomi lokal. (*)