KabarBaik.co – Jembatan Jongbiru yang sebelumnya telah diresmikan oleh Bupati Kediri Hanindhito Himawan Pramana rupanya bukan sekadar jembatan yang menghubungkan wilayah Kota dan Kabupaten Kediri namun juga memiliki nilai sejarah di masa lalu.
Mas Dhito, sapaan akrabnya, berharap dengan diresmikannya Jembatan Jongbiru bisa mengadopsi kebesaran masa lalu sehingga menarik destinasi wisata.
Sementara itu, Imam Mubarok, Ketua DK4 Kabupaten KedirI mengatakan jika dalam prasasti Canggu -1358 M (Prasasti Canggu berisi tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas) tertulis nadi tira radesa.
Nadi merupakan istilah Jawa Kuno yang menunjuk urat yang berukuran besar pada tubuh manusia. Urat nadi. Sungai besar diibaratkan urat nadi bagi tubuh manusia. Dalam prasasti Canggu menyebut desa panambangan atau tempat penyeberangan sungai.
Menghubungkan desa yang berada di kanan dan kiri badan sungai. Majapahit era Raja Hayam Wuruk memberikan penghargaan desa sima karena jasanya menyeberangkan penduduk dari desa satu ke desa lain, salah satunya di Jungbiru ini.
Dalam Prasasti Kamalagyan (1037 M) memberikan informasi mengenai pembuatan bendungan dan kanal atau saluran air pemecah aliran sungai besar, memberitakan tentang Sungai Brantas dengan sebutan Bangawan.
Istilah bangawan digunakan untuk menyebut sungai yang besar. Sedangkan dalam Kakawin Nagarakertagama diberitakan pada era Singasari dibangun benteng di Canggu Lor dekat sungai Brantas untuk mengantisipasi serangan musuh.
“Susastra Kidung Panji Wijata Krama, Sudayana, Sunda, Kidung Ranggalawe yang menyebut kekuatan maritim Majapahit. Disebut pelabuhan sungai di Kediri, pelabuhan Jungbiru. Lokasinya tepat di DAS Brantas. Aliran Brantas berbentuk meander atau berkelok. Posisi berkelok ini sama persis dengan posisi pembangunan Jembatan Jungbiru yang saat ini dibangun oleh Kementerian PUPR dan diresmikan oleh Mas Dhito, Bupati Kediri,” kata Gus Barok, sapaan akrabnya, Sabtu (27/7).
Masih menurut Gus Barok, Kerajaan Kediri memiliki pelabuhan sungai di daerah yang berbentuk meander. Pulo Tondo merupakan pelabuhan sungai dengan posisi berkelok tajam. Ketika Raden Wijaya bersama rombongan beraudiensi dengan Jayakatwang, tidak diterima di ibu kota kerajan Kediri di Daha. Namun diterima di pelabuhan di Jungbiru pada tahun 1294.
“Mengenai bentuk kapal yang mengarungi sungai Brantas, merujuk pahatan relief di pandapa teras luar Candi Penataran, Blitar, Brantas dilalui dengan kapal besar, dengan tenaga penggerak berupa layar dan dayung renteng. Perahu tersebut dikenal dengan Perahu Jung Jawa. Hal ini perlu dan layak ditampilkan dalam bentuk replika perahu di lokasi Jembatan, sekaligus penambahan relief atau ornamen pada badan jembatan,” pungkasnya.(*)