Wabah Senyap Kanker Paru, Waspadai Usia Muda dan Perempuan Indonesia

oleh -75 Dilihat
IMG 20251101 WA0007
Faktor gender juga masih berperan, di mana pria 2,9 kali lebih berisiko terkena kanker paru ketimbang wanita. Namun, yang paling mencengangkan adalah faktor genetik.

KabarBaik.co – Memperingati Bulan Kesadaran Kanker Paru, National Hospital (NH) Surabaya menggelar seminar dan edukasi publik yang bertajuk “Deteksi Dini dan Terapi Kanker Paru” ini menjadi pengingat pahit bahwa ancaman kanker paru kini tak lagi hanya milik perokok aktif, melainkan telah merangkul generasi muda, perempuan, bahkan mereka yang tak pernah menyentuh rokok.

Dibawakan oleh ahli kenamaan, dr. Bambang S. Simon, Sp.P, FCCP, FAPSR, FISR, seminar ini memaparkan fakta-fakta mengejutkan tentang bagaimana kanker paru menjadi “wabah senyap” di Indonesia.

​Dr. Bambang Simon menekankan bahwa ada risiko yang berada di luar kendali kita, dan ini sering terabaikan. Menurutnya, banyak kasus di Indonesia terjadi pada usia yang relatif muda, yakni rata-rata 57 tahun, bahkan tak jarang dijumpai pada usia 40–45 tahun.

Faktor gender juga masih berperan, di mana pria 2,9 kali lebih berisiko terkena kanker paru ketimbang wanita. Namun, yang paling mencengangkan adalah faktor genetik.

“Keturunan pertama dari keluarga yang mengidap kanker paru berisiko 50 persen untuk turut menderita kanker paru. Artinya, jika seorang ayah atau ibu divonis, anak pertamanya memiliki peluang separuh untuk mengidap penyakit yang sama,” ujar dr. Bambang ditemui di sela-sela Seminar di Auditorium Ang Kang Hoo, National Hospital, Sabtu (1/11).

​Fakta ini menjadi peringatan keras bagi keluarga yang memiliki riwayat kanker untuk segera waspada dan melakukan skrining.

​Selain faktor genetik, dr. Bambang juga membedah risiko-risiko yang sesungguhnya masih dapat dikendalikan, meskipun beberapa di antaranya terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Tentu saja, merokok menempati urutan pertama. Merokok aktif meningkatkan risiko hingga 85 persen. Namun, perokok pasif yang terus-menerus terpapar asap rokok juga memiliki risiko yang tinggi, lebih dari 30%. Dr. Bambang menjelaskan, sebatang rokok mengandung lebih dari 5.000 bahan kimia, di mana 70 di antaranya bersifat karsinogenik (penyebab kanker).

​”Asap rokok sangat jahat. Bahan kimia tersebut merusak DNA di paru-paru kita, yang seharusnya berfungsi melindungi dari kanker. Kerusakan DNA inilah yang kemudian memicu sel untuk berkembang menjadi tumor,” tegasnya.

Tak berhenti di asap, polusi modern juga menjadi dalang. Partikel ultra-kecil PM 2.5 yang berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri, disebut meningkatkan risiko terkena kanker paru sebesar 1 hingga 1,2 kali lipat. Bahaya tak hanya mengintai di luar, melainkan juga di dalam rumah (indoor pollution) seperti paparan asbes, radon, atau bahkan kontaminasi pirolizidin dari makanan dan minuman yang tercemar.

​Kanker paru memiliki sifat yang menipu. Gejala klasiknya sering dianggap remeh, seperti batuk tak kunjung sembuh, mudah ngos-ngosan atau lelah, nyeri dada, serta penurunan berat badan drastis.

Namun, bahaya terbesar ada pada stadium awal yang seringkali tanpa gejala. Dr. Bambang mengingatkan, perkembangan kanker paru dari stadium 1A (tumor kecil) ke stadium 3 dapat terjadi dalam rentang waktu yang sangat cepat, rata-rata hanya 1 hingga 1,5 tahun jika tidak dideteksi.

“Bukan berarti tanpa gejala berarti tidak ada tumor. Kanker paru yang masih stadium 0 atau 1 seringkali sunyi, dan jika sudah menimbulkan gejala nyeri dada atau sesak, kemungkinan besar sudah memasuki stadium lanjut,” jelasnya.

​Mengingat progresivitas penyakit yang begitu cepat, deteksi dini melalui skrining menjadi kunci utama. Rekomendasi skrining kanker paru dilakukan menggunakan Low-Dose CT (LDCT).

Prosedur ini sangat mudah—tanpa puasa, tanpa kontras, dan yang terpenting, dosis radiasi yang sangat kecil. Skrining ini direkomendasikan untuk kelompok berisiko tinggi: usia 45 hingga 71 tahun, perokok berat aktif maupun pasif, dan mereka yang memiliki riwayat keluarga kanker.
​“LDCT terbukti dapat menurunkan angka kematian akibat kanker paru hingga 20 sampai 25%. Dengan deteksi lebih awal, peluang hidup pasien akan lebih panjang,” kata dr. Bambang.

Bagi yang terdeteksi memiliki benjolan mencurigakan, tindak lanjut berupa CT dengan kontras dan pemeriksaan mutasi genetik wajib dilakukan.

​Perkembangan pengobatan kanker paru telah melalui evolusi dramatis, dari bedah (tahun ’70-an) hingga kemoterapi (tahun ’80-an), dan kini mencapai era terapi modern.

Salah satu kabar baik adalah berkembangnya Terapi Target (Targeted Therapy). Pemeriksaan mutasi gen (seperti EGFR) sangat penting untuk menentukan terapi yang tepat. Dr. Bambang menyoroti bahwa di Asia, termasuk Indonesia, mutasi EGFR sangat banyak dijumpai, bahkan pada ibu-ibu yang tidak merokok.

“Indonesia menduduki peringkat ketiga di Asia dalam tingginya mutasi EGFR. Jika mutasi ini positif, respons terhadap pengobatan berupa tablet (obat oral) cukup baik dan efektif. Ini adalah harapan baru bagi pasien,” tutup dr. Bambang, menandaskan pentingnya kombinasi deteksi dini dan pengobatan yang dipersonalisasi

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: Dani
Editor: Gagah Saputra


No More Posts Available.

No more pages to load.