KabarBaik.co – Kebijakan baru pemerintah yang membuka opsi penyelenggaraan ibadah umrah secara mandiri menuai sorotan tajam dari kalangan industri. Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menilai, meski bertujuan memberi fleksibilitas, aturan tersebut berpotensi menimbulkan risiko hukum dan kerugian finansial yang besar bagi jamaah.
Kekhawatiran ini disampaikan menyusul disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Pasal 86 ayat (1) UU tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan melalui tiga jalur: melalui PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah), secara mandiri, atau melalui Menteri.
Ketua Bidang Humas dan Media DPP Amphuri, Abdullah Mufid Mubarok, mengungkapkan bahwa tantangan terbesar dari umrah mandiri adalah ketiadaan payung perlindungan hukum yang jelas. “Tanpa payung hukum yang jelas, jamaah bisa menghadapi risiko fatal seperti gagal berangkat, penipuan visa, akomodasi yang jauh dari layak, hingga keterlambatan transportasi di lapangan,” ujar Abdullah, dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (26/10).
Kekhawatiran Amphuri tak berhenti pada potensi risiko di Tanah Suci. Kebijakan ini dinilai sangat berpotensi membuka pintu bagi praktik curang, yakni munculnya calo atau pihak-pihak tidak resmi yang menawarkan jasa penyelenggaraan umrah tanpa izin.
Abdullah menegaskan bahwa situasi ini dikhawatirkan akan memicu maraknya praktik Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ilegal. Jika ini terjadi, tidak hanya jamaah yang rugi, tetapi juga nama baik penyelenggaraan umrah Indonesia di mata Pemerintah Arab Saudi akan tercoreng.
“Tanpa pengawasan yang kuat, kebijakan ini bisa menciptakan pasar gelap penyelenggaraan umrah yang sulit dikontrol oleh negara,” tegasnya.
Di balik janji fleksibilitas, Umrah Mandiri juga sering diasumsikan sebagai jalur yang lebih murah. Amphuri mengakui, secara teori hal itu mungkin terlihat benar karena jamaah mengatur perjalanannya sendiri. Namun, dalam praktik, kenyataannya bisa berbalik.
Menurut Abdullah, total biaya justru bisa membengkak. Jamaah yang membeli tiket pesawat dan hotel secara publik tidak mendapatkan potongan harga korporat (corporate rate) yang biasa diperoleh biro perjalanan resmi. Ketiadaan efisiensi logistik serta potensi biaya tak terduga jika terjadi kendala di lapangan membuat pengeluaran total sering kali melampaui biaya paket resmi.
“Jadi, umrah mandiri tidak otomatis lebih hemat, bahkan sering kali justru berisiko membengkak karena tidak ada sistem perlindungan terintegrasi,” kata Abdullah, menambahkan bahwa PPIU resmi bekerja dengan harga kontrak dan fasilitas khusus dari mitra di Arab Saudi.
Lebih dari sekadar perjalanan fisik, ibadah umrah adalah perjalanan spiritual. Oleh karena itu, mayoritas jamaah dinilai tetap membutuhkan bimbingan dan jaminan layanan profesional, mulai dari pengurusan visa, transportasi, akomodasi, hingga bimbingan ibadah selama di Makkah dan Madinah.
“Umrah bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang membutuhkan arahan dari penyelenggara berpengalaman,” ungkap Abdullah.
Meski demikian, Amphuri menyatakan menghormati kebijakan yang tertuang dalam UU No. 14 Tahun 2025 tersebut, termasuk Pasal 87A dan 88A yang mengatur persyaratan dan hak jamaah mandiri. Namun, mereka meminta agar implementasinya dilakukan dengan sangat hati-hati.
Amphuri pun menawarkan solusi konkret: menjadikan PPIU resmi sebagai mitra strategis pemerintah, menerbitkan aturan turunan yang jelas, membentuk sistem registrasi dan pelaporan yang ketat bagi jamaah mandiri, serta menegakkan hukum terhadap penyelenggara ilegal.
“Amphuri bukan sekadar pelaku usaha, tetapi mitra strategis negara dalam menjaga marwah ibadah. Kami siap bersinergi agar umat dapat beribadah dengan aman, teratur, dan bermartabat,” tutupnya. (*)






