Amicus Curiae untuk Timnas Indonesia

Editor: Hardy
oleh -801 Dilihat

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

ANDA sudah tahu timnas Indonesia bakal bertemu Uzbekistan! Di babak semifinal Piasa Asia U-23 2024. Uzbekistan lolos ke semifinal setelah Jumat (26/4) tadi malam, tim Serigala Putih itu sukses menerkam Arab Saudi, pemenang Piala Asia 2022. Skor 2-0 untuk Uzbekistan.

Garuda Muda sendiri, Anda pun sudah tahu. Betapa super dramatisnya. Menegangkannya. Menguras emosi. Yang akhirnya berbuah macan alias manis dan cantik. Kegembiraan. Di mana-mana. Dari pelosok-pelosok kampung sampai ke tembok Istana.

Tim Korea Selatan (Korsel) pun dipaksa pulang. Sejarah baru di panggung sepak bola. Bukan hanya bagi Indonesia, melainkan juga bagi Korsel. Akankah timnas Indonesia melanjutkan kemenangan melawan Uzbekistan pada Senin (29/4) malam, pukul 21.00 WIB?  Degdegan.

Yang pasti, kemenangan-kemenangan Indonesia masih terus happening. Di media pers maupun media sosial. Gaduh. Saling berlomba mengunggah status. Tulisan atau foto-foto. Pokoknya, apapun yang berbau Merah-Putih. Sebagai ekpresi keriangan. Wujud turut berbahagia. Tidak terkecuali saya. Ha…ha…

Diakui atau tidak, kemenangan Indonesia tersebut juga buah dari ’’amicus curiae’’. Sahabat pengadilan. Tentu, bukan pengadilan di meja hijau, melainkan di lapangan hijau. Wasit. Amicus curiae di sini bukan berupa surat seperti yang dilayangkan Bu Megawati Soekarnoputri atau tulisan bersejarah Alexander Hamilton. Tapi, video assistant referee (VAR).

Andai saja tidak ada VAR, mungkin saja timnas Indonesia seperti judul lagunya Evie Tamala: Kandas. VAR, saat gol cepat pemain Korsel di menit ke delapan. VAR ketika kartu merah diberikan wasit untuk Lee Young-jun. Striker andalan Korsel itupun sampai menangis. Atau VAR Justin Hubner saat adu pinalti. Mereka nyesek. Kita tertawa.

Baca juga:  Ukir Sejarah! Cukur Yordania 4-1, Timnas Indonesia Melaju ke Babak 8 Besar

Itulah mungkin sebagian menyebutnya dengan keberkahan. Tangan Tuhan. Setelah kita diperlakukan ”tidak adil” ketika melawan Qatar. Lalu, keidakadilan itu disebut telah berbuah kuwalat bagi Qatar. Dihabisi Jepang 4-2. Alhamdulillah…

Kini, begitu Indonesia ke semifinal, sebagian orang pasti ada yang memilih sikap ini. Termasuk saya. Yakni, menurunkan ekspektasi atau harapan. Sudahlah! Kalah dengan Uzbekistan di semifinal, tidak apa-apa. Indonesia sudah begitu luar biasa.

Saat ini, saat dilatih Shin Tae-yong. Sebuah nama yang sekarang teramat familiar. Populer. Dikagumi. Dielukkan. Siapa yang mengkritisinya, ’’habislah’’ dia. Jadi sasaran amuk jari netizen. Salah seorang di antaranya Anda sudah tahu: Bung Towel. Ha…ha,…

Shin Tae-yong. Begitu ’’it’s mean to us’’. Bahkan, nama Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang baru ditetapkan KPU sebagai Presiden-Wapres terpilih pun pasti kalah. Popularitas maupun liketabilitas. Seolah tenggelam dari euforia timnas Indonesia di Piala Asia U-23 ini. Di warung-warung kopi, pematang sawah, atau ruang-ruang perkantoran. Lebih-lebih di media sosial. Begitu riuh.

Baca juga:  Tak Sabar Menanti Aksi Bang Jay Bersama Timnas Melawan Irak dan Filipina

Bukan putus asa. Pilihan menurunkan ekspketasi tersebut. Lebih karena pertimbangan psikologis. Jika ekspektasi sudah terlalu tinggi, tapi kenyataannya nanti tidak sesuai, dampaknya bisa bahaya. Bisa sebahaya makan timah. Jadi tidak enak makan, susah tidur, beraktifitas apa saja terasa tak nyaman. Anda pun mungkin pernah mengalami itu. Berharap cinta diterima, ternyata kenyataan bertepuk sebelah tangan.

Itulah kira-kira rasa yang juga diungkap Sigmund Freud. Dengan teori kekecewaannya. Freud percaya bahwa kekecewaan itu berasal dari konflik antara ego, superego, dan id. Ketika keinginan atau harapan tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan frustrasi, kecemasan, dan bahkan depresi. Pandangan serupa juga kurang lebih sama dengan Abraham Maslow, tentang hirarki kebutuhan itu.

Nah, saya tidak ingin frustasi, cemas, apalagi depresi, kalau sampai timnas Indonesia nanti kalah melawan Uzbekistan. Padahal, telanjur menggantungkan harapan tinggi. Menang. Ternyata kalah. Jadi, tidak enak makan, sulit tidur, kalau ingat-ingat membayangkan kekalahan tersebut.

Karena itu, sejak detik ini, sudah menata hati. Menancapkan betul dogma ini: Sudahlah, Indonesia sudah istimewa. Lolos sampai perempat final saja, sebetulnya sudah top-markotop. Apalagi sampai di semifinal.

Kalau pun Indonesia kalah, saya sudah siap. Tidak gelo, segelo-segelonya.  Hati dan pikiran sejak awal sudah tertata. Kalau pun timnas Indonesia, ternyata menang atas Uzbekistan, kemudian bertemu Jepang atau Irak di partai puncak final, anggap saja bonus. Betapa teramat sangat bahagianya. Sudah pasti berjingkrak-jingkrak. Sujud syukur. Makan pun terasa lebih lahap. Tidak tidur semalaman karena begadang pun badan terasa enteng saja.

Baca juga:  Qatar vs Indonesia: Garuda Muda Penuh Percaya Diri di Laga Pertama

Walaupun, bagi kita, sebetulnya kemenangan itu hanyalah sabatas rasa. Tentu, yang mendapat ’’keberkahan’’ langsung adalah Rizky Ridho dkk. Shin Tae-yong, Ketua Umum PSSI Erick Thohir, dan mereka-mereka.

Tapi, kemenangan tersebut seolah menjadi obat. Hormon dopamine. Obat di tengah impitan ekonomi mungkin, obat di tengah persoalan keluarga atau persoalan kerja mungkin, obat kehausan prestasi Indonesia mungkin, atau obat di tengah riuh politik lokal, nasional atau geopolitik global.

Kita mesti terus berdoa sebagai wujud dukungan untuk Indonesia. Berharap Garuda Muda terus terbang tinggi. Tidak hanya di Piala Asia U-23. Bahkan, juga Piala Dunia. Menorehkan prestasi sejarah baru dengan tinta emas. Dan, kita turut menjadi saksi-saksi hidup.

Meski demikian, menjaga keseimbangan antara ekpektasi dan kenyataan juga perlu. Bukankah sebaik-baik perkara adalah yang di tengah-tengah? Memuji tidak berlebihan, membenci tidak berlebihan, mencintai tidak berlebihan. Kita tetap Indonesia. (*)

—-

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kampung Suci, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.