Berebut Satu Karcis, Menunggu Perjamuan Baru dengan Guinea

Editor: Hardy
oleh -660 Dilihat

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

SAYA, mungkin juga Anda, rasanya masih asing dengan Guinea (baca Gini, Red). Satu nama negara di kawasan Afrika Barat. Negara yang hanya berpenduduk tidak lebih dari 13 juta jiwa. Tapi, belakangan Guinea kini terasa familiar. Sudah banyak disebut. Mewarnai pemberitaan media massa. Ini setelah tim sepak bola mereka bakal melawan timnas Indonesia U-23. Berebut satu karcis. Menuju Olimpiade Paris, yang digelar Juli nanti.

Presiden Jokowi pun pasti juga tidak menduga. Negara yang dipimpinnya akan berhadapan dengan Guinea. Delapan tahun lalu, tepatnya 3 Agustus 2016, Jokowi bertemu dengan Alpha Conde, Presiden Guinea kala itu. Pertemuan bilateral itu di Istana Merdeka. Jokowi didampingi Menlu Retno Marsudi, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dan Mensesneg Pratikno.

Dalam kesempatan itu, Jokowi sempat mengajak Conde ke bagian belakang Istana Merdeka. Pemberitaan sejumlah media massa mengungkapkan, Jokowi dan Conde terlihat berbincang santai sambil memandang rumput hijau dan pepohonan pelataran Istana. Pertemuan itu baru kali pertama. Tentu bukan membahas urusan bola. Conde menghadiri undangan World Islamic Economic Forum, di Jakarta Convention Center.

Ketika itu, Menlu Retno Marsudi mengatakan, kerja sama antara Indonesia dan Guinae akan fokus pada tiga bidang. Yakni, pertanian, energi, dan penerbangan. Khusus pada bidang pertanian, ada 6 juta hektare lahan pertanian yang bisa dikelola di Guinea.

Kini, Conde sudah tidak lagi menduduki kursi presiden. Dia dikudeta oleh junta militer pada 5 September 2021. Pemimpin kudeta itu adalah Kolonel Mamadi Doumbouya, mantan anak buah Conde sendiri, yang akhirnya telah dilantik menjadi presiden sementara. Menggantikan Conde, sampai tergelar Pemilu 2025 mendatang.

Conde berkuasa sejak 2010. Dia terpilih dalam pemilu yang kali pertama digelar di Guinea. Conde dikudeta karena mau mengubah konstitusi untuk memperpanjang kekuasannya. Dia ingin menjabat presiden tiga periode. Sebelumnya, kudeta juga terjadi di Guinea pada 2008. Situasi politik di Guinea memang dikenal rapuh.

Baca juga:  Rusia Gelar Pilpres, dan Jalinan Hubungan Baik dengan Indonesia

Guinae, tak ubahnya seperti kita meneropong wajah Nusantara. Berpenduduk mayoritas muslim. Negara yang banyak mengandalkan sektor pertanian. Sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan. Tingkat kemiskinannya masih sangat tinggi. Padahal, dikaruniai kekayaan sumber daya alam cukup melimpah seperti bauksit dan sejenisnya.

Olahraga paling populer juga sama. Sepak bola. Yang membedakan, di antara sedikit penduduknya itu Guinae lebih hebat. Paling tidak indikatornya peringkat FIFA. Guinae berada di urutan 75, sementara Indonesia masih ranking 134 dunia. Jumlah penduduknya hanya sepertiga warga Provinsi Jawa Timur, tapi mereka memiliki kesebelasan kuat. Kita dengan penduduk 270 juta jiwa, betapa tidak mudahnya hanya mencari sebelas orang. Bahkan, harus menaturalisasi.

Indonesia mesti menang dengan Guinea. Untuk bisa merebut satu karcis tersisa ke Olimpiade Paris tersebut. Ini karena Anda sudah tahu: Di perebutan tempat ketiga Piala Asia 2024 Qatar, ternyata Indonesia harus takluk. Kalah dengan tim Irak 2-1, pada Kamis (2/5) lalu.

Anda mungkin sama dengan saya. Tersaput mendung kecewa!

Kita semua meyakini skuad timnas Indonesia U-23 saat ini sedang bagus-bagusnya. Bisa tembus semifinal Piala Asia, tentu luar biasa. Bersejarah. Terlepas pro-kontra, kekalahan dengan Uzbekistan di semifinal, rasanya kita sepakat itu buah ’’ketidakadilan’’ dari wasit.

Andaikan gol Indonesia tidak dianulir, jalan cerita pasti lain. Apalagi ditambah kartu merah untuk sang kapten, Rizky Ridho. Jika tidak ada insiden-insiden itu, boleh jadi Indonesia menang. Kemudian, melenggang ke final. Bertemu Jepang, yang belakangan menjadi juara Piala Asia 2024, setelah mengalahkan Uzbekistan di final 1-0.

Baca juga:  Karakter Pergerakan Pemikiran NU Sebagai Pengembangan Islam di Indonesia

Sejatinya, Jepang vs Indonesia merupakan final ideal, ketimbang Jepang vs Uzbekistan. Jika saja laga final Jepang vs Indonesia itu benar-benar tergelar, betapa riuhnya Nusantara. Nonton bareng (nobar) pasti ada di mana-mana. Bukan hanya para tokoh nasional hingga calon-calon kepala daerah yang tengah berebut simpati untuk dipilih di Pilkada 2024 nanti, para ketua RT di kampung-kampung pun juga akan berlomba-lomba menggelar nobar. Lalu, di final itu tim Garuda Muda menang atas Jepang. Wowww! Makin riuhlah Indonesia. Jalan-jalan akan dibanjiri orang. Berkonvoi. Bunyi terompet, klakson, saling bersahutan, berpadu dengan nyala flare.

Sayang, itu hanya angan-angan. Andaikan. Sebatas mimpi. Faktanya, Indonesia mesti puas hanya sampai di semifinal pada Piala Asia 2024. Kini, kalau memang PSSI tetap memiliki gantungan mimpi bisa berlaga di Olimpiade, masih terbuka peluang. Mengalahkan Guinea.

Pertandingan playoff Indonesia vs Guinea itu digelar 9 Mei mendatang. Pas tanggal merah. Libur nasional peringatan Kenaikan Isa Almasih atau Yesus Kristus. Bertempat di Prancis. Berdalih pertimbangan keamanan, laga penting itu digelar tertutup. Tanpa penonton. Namun, kabarnya tetap ada siaran langsung live streaming.

Kemenangan bagi Indonesia kali ini harga mati. Tapi, hal itu jika Indonesia memang ingin kembali mengukir sejarah lagi. Anda sudah tahu, kali terakhir Indonesia tampil di panggung Olimpiade untuk cabor sepak bola pada 1956 silam, di Australia. Artinya, ada rentang begitu panjang menunggu. Kini, kesempatan terbuka di depan mata.

Baca juga:  Kunjungan Presiden Terpilih Prabowo, Ini Komitmen Pemerintah China untuk Indonesia

Terlepas apakah di Olimpiade Paris mendatang, mungkin saja Indonesia hanya sekadar ’’numpang lewat’’, itu persoalan lain. Yang jelas, Indonesia mesti menjawab hope. Membayar ekspektasi publik dengan kegembiraan bisa lolos ke Olimpiade Paris lebih dulu. Euforia yang sempat membuncah mesti terobati dengan prestasi. Mengusir pedih. Meminjam pernyataan sang penyair Inggris Lord Byron: Kepedihan mendalam membuat kepala kita tertunduk. Kepedihan itu datang ketika cinta hadir, tapi kita tidak punya harapan pada cinta itu.

Soal kemampuan teknis para punggawa timnas Indonesia U-23 kala melawan Guinae, Anda pasti sudah tahu. Justin Hubner, penjebol gawang saat melawan Irak, berpeluang absen. Ia kembali ke klub asalnya, Cerezo Osaka. Demikian juga Rizky Ridho, yang terkena kartu merah saat bertanding dengan Uzbekistan. Namun, ada kabar baik bahwa Elkan Baggott dan Alfeandra Dewangga yang masuk line-up baru. Ujian yang tidak mudah bagi Shin Tae-yong. Terkadang pujian selangit pun bisa mendadak runtuh di “negara lucu”.

Saat ini, 15 negara sudah menunggu Indonesia. Mereka adalah Prancis, Amerika Serikat, Selandia Baru, Argentina, Maroko, Irak, Ukraina, Uzbekistan, Jepang, Spanyol, Mesir Republik Dominika, Paraguay, Mali, dan Israel. Jika lolos, Indonesia masuk dalam grup A bersama Prancis, Amerika Serikat, dan Selandia Baru.

Kelak, kita memimpikan Presiden Jokowi kembali tersenyum dalam sebuah perjamuan lain dengan Presiden Guinae di Istana Merdeka, setelah timnas Indonesia benar-benar lolos ke Olimpiade Paris. Lalu, berkata ke pemimpin negara itu: ‘’Ngapunten, Indonesia sampun majeng.’’ Semoga! (*)

*) M. SHOLAHUDDIN, pecinta bola tinggal di Kampung Suci, Kabupaten Gresik.

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.