Apa Itu Megengan? Ini Hukumnya Menurut Pandangan Islam

oleh -278 Dilihat

KabarBaik.co- Ramadan sebentar lagi. Tinggal hitungan hari. Menyambut bulan puasa itu, umat Islam di Tanah Air memiliki tradisi khas. Terutama di Jawa Timur. Salah satunya yang biasa dikenal megengan. Beragam kegiatan dilakukan dalam tradisi megengan termasuk. Termasuk melakukan ziarah kubur.

Dikutip dari website Pondok Pesantren Tebuireng Online, megengan berasal dari kata megeng. Artinya, menahan. Ini sebagai peringatan kepada umat Islam bahwa sebentar lagi memasuki bulan Ramadan. Selama bulan suci itu diwajibkan menahan segala hawa nafsu dengan sebuah ibadah bernama puasa dan segala perangkat pelengkapnya.

Megengan diperkenalkan saat penyebaran Islam di Jawa. Terutama di wilayah Jatim dan Jateng bagian selatan, pada masa Sunan Kalijogo. Seperti diketahui, Sunan Kalijogo berdakwah pada masyarakat Jawa dengan metode akulturasi budaya.

Dalam akulturasi budaya tersebut, Kanjeng Sunan Kalijogo memasukkan muatan nilai-nilai keislaman. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, bahwa agama itu mudah, maka mudahkanlah, jangan dipersulit dalam pelaksanaannya.

Selain di Jawa, tradisi megengan juga di masyarakat Melayu. Intinya, menyambut bulan suci Ramadan itu dengan berkumpul bersama keluarga, makan bersama, dan membaca zikir dan tahlil untuk arwah keluarga yang telah wafat.

Selain itu, masyarakat juga melakukan ziarah kubur, menggelar sedeka di masjid atau musala. Ada juga masyarakat yang melakukan kunjungan silaturahim. Semuanya ini dilakukan dalam rangka menyambut gembira bulan suci Ramadan.

Baca juga:  Jelang Ramadan 1445 Hijriah, Pemkab Gresik Kembali Kucurkan Subsidi Tiket Kapal untuk Santri Pulau Bawean

Hukum Megengan

Masalahnya, bagaimana Islam memandang hal seperti ini? Mengutip laman NU Online, dari Riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i mengabarkan bahwa Rasulullah SAW juga mengekspresikan kegembiraannya kepada para sahabat perihal kedatangan bulan suci Ramadan sebagaimana dikutip berikut ini:

وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ كَمَا أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَفْظُهُ لَهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ بِقَوْلِ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ

Artinya: Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para sahabat atas kedatangan bulan Ramadan sebagaimana riwayat Imam Ahmad dan An-Nasai dari Abu Hurairah RA. Ia menceritakan bahwa Rasulullah memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadan dengan sabdanya: Bulan Ramadan telah mendatangi kalian, sebuah bulan penuh berkah di mana kalian diwajibkan berpuasa di dalamnya, sebuah bulan di mana pintu langit dibuka, pintu neraka jahim ditutup, setan-setan diikat, dan sebuah bulan di mana di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak. (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman: 222).

Bagi sebagian ulama, hadis ini menjadi dasar hukum bagi masyarakat yang mengekspresikan kegembiraan perihal kedatangan bulan suci Ramadan. Hadis ini membuktikan bahwa satu sama lain boleh bergembira atas kedatangan bulan Ramadan dan mereka dapat memberikan kabar gembira kepada yang lain.

Baca juga:  Selama Ramadan, Persebaya Lakukan Penyesuaian Jadwal Latihan

قال بعض العلماء هذا الحديث أصل في تهنئة الناس بعضهم بعضا بشهر رمضان

Artinya: Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ini menjadi dasar atas praktik penyambutan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atas kedatangan bulan Ramadan. (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman 223).

Adapun Al-Qamuli mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal hukum ucapan selamat atas hari Id, pergantian tahun, dan pergantian bulan yang diamalkan masyarakat. Tetapi yang jelas sejauh tradisi itu hanya berisi ucapan selamat datang atas bulan yang mulia tidak termasuk kategori sunah atau bidah.

Baca juga:  Bulan Ramadan, Pelayanan di MPP Lamongan Berjalan Normal

قال قمولي في الجواهر لم أر لأحد من أصحابنا كلاما في التهنئة بالعيد والأعوام والأشهر كما يفعله الناس لكن نقله الحافظ المنذري عن الحافظ أبي الحسن المقدسي أن الناس لم يزالوا مختلفين فيه والذي أراه أنه مباح لا سنة ولا بدعة انتهى

Artinya: Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir mengatakan: ‘Saya tidak melihat pendapat para ulama kita perihal  tahniah atau penyambutan gembira atas hari Id, pergantian tahun, atau bulan sebagaimana dilakukan oleh banyak orang. Tetapi Al-Hafiz al-Mundziri mengutipnya dari Al-Hafiz Abul Hasan al-Maqdisi: Orang-orang selalu berbeda pendapat perihal ini. Sedangkan pendapatku adalah bahwa hal itu mubah, bukan sunnah, bukan bid’ah.’ Selesai. (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman: 223).

Praktik megengan di Aceh, Jawa, Melayu, dan pelbagai belahan Nusantara lainnya memuat hal-hal yang baik. Dari mulai zikir, tahlil, silaturahim, makan bersama keluarga, ziarah kubur, hingga sedekah yang semuanya secara umum memang dianjurkan kapan saja oleh agama Islam. Wallahu a’lam. (kb01)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News


No More Posts Available.

No more pages to load.