Bersiap-siap! Daya Beli Masyarakat Turun, Utang Negara Tembus Rp 8.909 Triliun, Ekonomi Nasional Berpayung Mendung

oleh -1799 Dilihat

KabarBaik.co- Ekonomi Indonesia tengah berpayung mendung. Belakangan, mendung itu terasa kian menebal. Tantangan makin berat.  Baik dari faktor eksternal maupun internal. Berbagai sektor yang sebelumnya menjadi backbone (tulang punggung) pertumbuhan kini menghadapi perlambatan. Daya beli masyarakat terus menurun.

Indikator mendung ekonomi nasional itu juga tampak dari pergerakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Per akhir Februari, anggaran negara mencatat defisit. Besar pasak daripada tiang. Jumlah pengeluaran, jauh lebih besar dari pendapatan yang masuk. Jumlah defisit sudah menembus Rp 31,2 triliun atau setara dengan 0,13 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menafsir Ceramah Gus Dur 1999 Silam: Membangun Kembali Bangsa dari Bawah dengan Keluguan, Kelugasan, dan Kesederhanaan NU

Dampak defisit itu pemerintah mencatat realisasi pembiayaan utang pada Januari hingga Februari 2025 sudah mencapai Rp 224,3 triliun atau 28,9 persen dari target yang ditetapkan pada tahun ini sejumlah Rp 775,9 triliun.

Sejalan dengan naiknya jumlah pembiayaan utang, posisi utang pemerintah per Januari 2025 juga terkerek ke angka Rp 8.909,14 triliun atau naik senilai Rp 108,05 triliun dari posisi Desember 2024. Pada 2014 silam atau di akhir masa Presiden SBY, jumlah utang negara masih di angka Rp 2.608,78 triliun (rasio PDB 24,74 persen), Lonjakan utang hampir mencapai 30o persen dalam 10 tahun terakhir.

Di antara yang membuat APBN tekor adalah penurunan pendapatan negara. Terutama dari pajak. Per akhir Februari 2025, penerimaan pajak tercatat hanya Rp 187,82 triliun. Angka ini anjlok 30,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pajak Penghasilan (PPh) 21, yang menjadi kewajiban karyawan/pegawai atas gaji/upah, tercatat disetor hanya Rp 26,3 triliun pada Januari-Februari 2025. Turun 39,5 persen dibandingkan dua bulan awal tahun lalu.

Demikian juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pada Januari-Februari 2025, hanya terkumpul Rp 102,5 triliun. Berkurang 9,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Dua pos pajak tersebut menjadi gambaran aktivitas ekonomi. PPh 21 menjadi cerminan kesejahteraan karyawan/pegawai. Sebab, setoran PPh itu mengikuti jumlah gaji/upah yang diterima. Adapun PPN, mencerminkan frekuensi transaksi di perekonomian domestik. Artinya, kalua dua pos pajak ini menurun, maka mendung perlambatan ekonomi akan makin terasa.

Menyedihkan! Dalam 10 Tahun Terakhir Utang BUMN Karya Bengkak hingga Rp 181 Triliun

Kondisi tersebut juga linier dengan sejumlah data yang dirilis sebelumnya. Sebut saja, pada pekan lalu Bank Indonesia (BI) merilis hasil Survei Konsumen periode Februari 2025. Hasilnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada Februari sebesar 126,4. IKK di atas 100 menandakan konsumen masih percaya diri dalam memandang perekonomian saat ini hingga 6 bulan ke depan.

Namun, angka IKK Februari itu lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya, yang mencapai 127,2. Dan, IKK 126,4 tersebut menjadi yang terendah dalam rentang 3 bulan terakhir.

Laporan dari BI juga mengungkap, masyarakat terpaksa makan tabungan alias mantab untuk memenuhi konsumsi. Ada indikasi masyarakat berbelanja untuk kebutuhan Ramadan dan Idulfitri, dengan menggunakan pendapatan yang seharusnya bisa ditabungkan.

Rasio tabungan masyarakat Indonesia pada Februari jatuh di bawah 15 persen. Tepatnya, hanya sebesar 14,7 persen. Terakhir kali rasio tabungan serendah itu terjadi pada April 2021, yaitu saat terjadi Pandemi Covid-19. Saat itu, rasio tabungan ada di kisaran 14,8 persen.

Pada saat bersamaan, proporsi pendapatan yang dibelanjakan masyarakat naik 1,1 poin menjadi 74,7 persen. Sedangkan pendapatan yang digunakan untuk membayar cicilan utang, turun sedikit menjadi 10,6 persen dibandingkan bulan lalu.

Menafsir Nasihat ”Hati-hati” dari Jokowi Atas Kebijakan Efisiensi Presiden Prabowo

Selain indikator itu, pekan ini BI juga merilis hasil Survei Penjualan Eceran. Penjualan eceran (ritel) yang dicerminkan dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2025 diperkirakan sebesar 213,2. Turun 0,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, bulan Februari menjelang Ramadan. Biasanya, penjualan ritel sebulan sebelum Ramadan kencenderungannya mengalami pertumbuhan cukup pesat.

Pada 2024, misalnya. Saat itu, Ramadan jatuh pada pertengahan Maret. Penjualan ritel pada Maret tahun lalu naik 9,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan 2023, Ramadan jatuh pada awal April, di mana penjualan eceran pada Maret tumbuh dan 4,9 persen.

Dari data realisasi penerimaan PPh 21, PPN, IKK, dan penjualan ritel, menjadi gambaran bahwa daya beli masyarakat tertekan. Sejumlah ekonom menganggap, penurunan daya beli masyarakat itu merupakan efek menurunnya kelas menengah, penurunan produktivitas berbagai industri, dan masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan.

Dilansir dari beberapa literatur, dalam menghadapi situasi ekonomi yang sulit, masyarakat cenderung melakukan berbagai strategi adaptasi untuk bertahan. Berdasarkan teori perilaku ekonomi dari Keynes (1936), saat terjadi ketidakpastian ekonomi, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi sebagai bentuk kehati-hatian. Selain itu, meningkatkan tabungan. Itupun kalau ada pendapatan untuk bisa ditabung.

Menuai Kontroversi, Anggota Kabinet Merah Putih Bergantian dalam Sorotan Publik

Beberapa perilaku masyarakat yang umumnya muncul di tengah perlambatan ekonomi antara lain mengurangi pengeluaran konsumtif. Masyarakat lebih selektif dalam membelanjakan uangnya, dengan lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibandingkan barang sekunder atau tersier. Lalu, berupaya mencari sumber pendapatan tambahan melalui pekerjaan sampingan atau usaha kecil untuk menambah penghasilan. (*)

 

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.