Menafsir Nasihat Hati-hati dari Jokowi Atas Kebijakan Efisiensi Presiden Prabowo

oleh -830 Dilihat
ILUSTRASI UANG
Ilustrasi (Foto Freepik)

‘’EFISIENSI anggaran itu bagus. Memang perlu dilihat anggaran-anggaran yang tidak efesien, memang harus dipotong. Tetapi, juga mesti melihat urgensinya. Apakah kalau SPD perjalanan dinas kalau dipotong terlalu banyak bisa mempengaruhi okupansi hotel, bisa mempengaruhi jumlah penumpamg pesawat, larinya bisa kemana-mana. Tapi, apapun efisiensi harus dilakukan. Tapi, harus dilihat secara hati-hati.’’

Itulah jawaban singkat Joko Widodo (Jokow), Presiden RI ke-7. Jawaban itu disampaikan Jokowi menanggapi pertanyaan Najwa Shihab, yang bisa ditonton di kanal YouTube Narasi TV. Sebelum menjawab itu, Jokowi diperlihatkan Instruksi Presiden Probowo Subianto tentang kebijakan efesiensi anggaran di kementerian atau lembaga, dan juga daerah-daerah. Efisiensi disebut bisa mencapai Rp 300 triliun lebih.

Jika dicermati, jawaban Jokowi tersebut memang singkat. Namun, di akhir jawabannya, Jokowi menyatakan harus dilihat secara hati-hati. Kalimat “hati-hati” ini mungkin terbilang sepele. Sederhana. Namun, sejatinya terkandung makna mendalam. Ada warning kuat. Ibaratnya, salah diagnosa dan berakibat salah obat, maka dampaknya bisa fatal. Bukannya sembuh, yang terjadi malah kegawatan atau bahkan kematian.

kabarbaik lebaran

Bukan tanpa alasan Jokowi memberi peringatan hati-hati tersebut. Semua tentu mesti ingat, di awal pemerintahannya, pernah juga menerapkan kebijakan serupa. Efisiensi. Yakni, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) yang saat itu dijabat Yuddy Chrisnadi. Ia mengeluarkan surat edaran (SE) . Di antara kebijakannya membatasi perjalanan dinas, rapat-rapat di hotel, operasional kantor, dan sejenisnya.

Maksud dan tujuan efiensi itu sebetulnya bagus. Mulia. Mencegah potensi kebocoran, KKN, dan lainnya. Namun, baru diberlakukan pada 1 Desember 2014, SE yang diteken Menteri PAN-RB itu kemudian ditinjau ulang pada April 2015. Artinya, kebijakan  itu tidak bertahan lama. Ini setelah terbukti menimbulkan multiplier effect terhadap sektor lainnya. Sederhananya, berniat penghematan, tetapi bisa ’’membunuh’’ yang lain.

Demikian juga reaksi terhadap surat instruksi efisiensi pemerintahan sekarang ini. Beberapa sektor mulai merasakan dampaknya. Mulai jasa EO, perhotelan hingga transportasi. Para pelaku usaha itu mulai berteriak. Ketar-ketir. Demi efesiensi itu beberapa kalangan juga melakukan pemutusan hubungan kerja atau mengurangi pegawai atau karyawannya. Termasuk TVRI dan RRI. Kondisi tersebut tentu sangat beralasan. Sebab, mereka tentu tidak berharap besar pasak dari tiang.

***

Ya, pengetatan atau efisiensi anggaran (austerity) dapat berdampak serius terhadap potensi multiplier effect. Terutama dalam konteks kebijakan fiskal. Secara teorii, ketika pemerintah mengurangi pengeluaran atau meningkatkan pajak untuk menyeimbangkan anggaran, mafhum kondisi itu dapat mengurangi permintaan agregat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Ketika pemerintah memotong pengeluaran, maka langsung mengurangi pendapatan yang diterima oleh sektor swasta lain. Misalnya, kontraktor, pekerja, atau pemasok. Pengurangan pendapatan itu pun berimbas terjadinya pegurangan konsumsi rumah tangga, yang selanjutnya mengurangi pendapatan pihak lain dalam rantai perekonomian. Akibatnya, multiplier effect bekerja secara terbalik. Pengurangan pengeluaran awal menyebabkan penurunan yang lebih besar dalam pendapatan secara nasional.

Menurut Keynes, dalam kondisi resesi atau permintaan agregat yang rendah, pengurangan pengeluaran pemerintah atau peningkatan pajak akan memperburuk situasi ekonomi. Keynes berargumen bahwa multiplier effect bekerja lebih kuat dalam kondisi perekonomian yang lesu karena sumber daya (seperti tenaga kerja dan modal) tidak sepenuhnya digunakan. Pengetatan anggaran dalam kondisi ini dapat menyebabkan spiral deflasioner. Di mana terjadi penurunan permintaan agregat menyebabkan penurunan produksi, pendapatan, dan lapangan kerja.

Memang, mengacu pandangan expansionary fiscal contraction, beberapa ekonom berargumen bahwa pengetatan anggaran dapat memiliki efek positif dalam jangka panjang jika hal itu meningkatkan kepercayaan investor dan konsumen. Misalnya, jika pengetatan anggaran mengurangi defisit dan utang pemerintah, maka hal ini dapat menurunkan suku bunga, meningkatkan investasi swasta, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, ‘’mazhab’’ ini kontroversial dan umumnya hanya berlaku dalam kondisi tertentu. Misalnya, ketika utang pemerintah sangat tinggi dan pasar keuangan tidak stabil. Nah, apakah kondisi Indonesia sekarang demikian?

Dalam beberapa referensi, sejumlah negara juga pernah melakukan kebijakan tersebut. Namun, justru berujung negatif. Kasus Yunani pada 2010, misalnya. Selama krisis utang Eropa, Yunani menerapkan kebijakan pengetatan anggaran. Hasilnya, perekonomian Yunani mengalami kontraksi yang parah, pengangguran meningkat, dan multiplier effect negatif bekerja dengan kuat.

Tentu, sekelas Menteri Keuangan Sri Mulyani jauh lebih tahu dan paham tentang teori itu. Namun, rasanya kita setuju seperti nasihat yang disampaikan Jokowi.  Efisiensi anggaran mesti dilakukan dengan hati-hati. Sebab, dapat berdampak serius terhadap multiplier effect. Terutama dalam kondisi ekonomi yang lemah. Kebijakan ini dapat mengurangi permintaan agregat, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan bahkan memperburuk resesi. Terlebih, kita baru bangkit setelah dihantam pandemi global Covid-19.

Kalau memang kebijakan efisiensi itu diambil lantaran tingkat utang yang sangat tinggi sehingga diperlukan untuk memulihkan kepercayaan pasar dan stabilitas fiskal jangka panjang, maka seyogyanya pengetatan anggaran dirancang dengan cermat dan hati-hati. Dengan tetap mempertimbangkan konteks ekonomi dan potensi dampaknya.

Belajar dari pepatah Jawa: Ngono yo ngono, ning ojo sampek ngono. Jangan sampai ingin mematikan tikus di lumbung padi, namun dengan membakar lumbungnya.

Mayoritas percaya bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto memiliki semangat dan tekad kuat untuk mensejahterahkan rakyat. Terbukti rating approval terhadap pemerintahan saat ini rata-rata di angka 80 persen. Program ketahanan pangan, kemandirian energi, hingga makan bergizi gratis (MBG) adalah sedikit contoh dari tekad tersebut. Dan itu sungguh luar biasa.

Namun demikian, akan semakin luar biasa jika setiap kebijakan yang akan diambil atau dilaksanakan badan publik mulai dari tingkat pusat hingga desa, terus mengedepankan transparansi dan akuntabel, sehingga tingkat kepercayaan dan partisipasi rakyat semakin kuat. Indonesia pun benar-benar menuju masa Keemasan di 2045. Semoga  (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.