Menafsir Ceramah Gus Dur 1999 Silam: Membangun Kembali Bangsa dari Bawah dengan Keluguan, Kelugasan, dan Kesederhanaan NU

oleh -378 Dilihat
Bendera Nahdlatul Ulama (NU)

ANDA pegiat media sosial? Dalam beberapa pekan belakangan, mungkin Anda menyimak pidato KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini. Sejatinya, kutipan ceramah Gus Dur ini sudah lama. Disampaikan ketika pembukaan Muktamar NU ke-30 di Pesantren Lirboyo, Kediri, 21 Desember 1999. Artinya, sudah hampir seperempat abad atau 25 tahun.

Berikut kutipan ceramah Presiden RI keempat tersebut: Ini orang NU mulai lupa faktor barokah ini. Saya paling sedih waktu jadi mubaligh dulu, itu kalau dijemput orang di lapangan terbang atau di stasiun, mesti ketua panitianya, kadang-kadang ketua cabangnya mengatakan pada saya, Alhamdulillah Pak, hubungan kita dengan Pak Bupati bagus sekali. Mulai kapan NU ingat Bupati dan lupa kepada Allah SWT.

 Tapi sebagai ketua NU, saya berdiam diri saja, tertawa-tawa, tapi hati saya menangis. Lupakan itu semua, silakan membangun kembali bangsa ini dari bawah dengan keluguan, kelugasan, dan kesederhanaan Nahdlatul Ulama. Hanyalah dengan cara demikian, kita bisa menyelamatkan bangsa kita yang terancam dalam segenap segi kehidupannya sekarang ini.

Pertanyannya, mengapa ceramah itu kembali viral? Apakah kondisi sekarang ini kongruen dengan apa yang disampaikan Gus Dur? Apakah bangsa ini tengah terancam dalam segenap segi kehidupan? Apakah fenomena di NU yang disampaikan Gus Dur itu masih atau semakin mewabah? Bangga ketika dekat bupati atau lebih luasnya kekuasaan?

Yang jelas, pernyataan Gus Dur itu menarik. Kalau tidak menarik, tentu kutipan ceramah putra pendiri NU itu tidak kembali viral. Sebuah konsep membangun kembali bangsa ini dari bawah dengan keluguan, kelugasan, dan kesederhanaan NU. Gus Dur yang diyakini warga Nahdliyin sebagai wali itu terang menyatakan bahwa hanyalah dengan cara demikian itu kita bisa menyelamatkan bangsa kita yang terancam dalam segenap segi kehidupan.

Membangun dari Bawah

Saat ini, Bangsa Indonesia menghadapi tantangan global. Multidimensi. Yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari persoalan etika atau moral, ketimpangan sosial, hingga degradasi nilai-nilai kebangsaan. Tentu, semua itu memerlukan solusi. Tidak hanya visioner, melainkan juga menyentuh akar rumput. Dalam konteks ini, NU sebagai organisasi keagamaan terbesar, Gus Dur jauh-jauh hari telah menawarkan pendekatan yang unik dan menarik. Membangun bangsa dari bawah dengan keluguan, kelugasan, dan kesederhanaan.

Keluguan (innocence) bukanlah sebuah kelemahan, melainkan kekuatan. Dalam teori sosiologi, Emile Durkheim menyebutkan, masyarakat membutuhkan nilai-nilai bersama (collective conscience) untuk menjaga kohesi sosial. Nah. NU dalam setiap geraknya seperti banyak tertulis dalam literasi sejak era Hadratussyaikh KH Hasyim As’yari, selalu menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tidak terjebak dalam retorika politik yang rumit. Namun, fokus pada upaya nyata di akar rumput, seperti, Pendidikan, pesantren dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Mulai dari RT, kampung-kampung.

Dalam catatan sejarahnya, keluguan itu juga tercermin dalam sikap yang tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu politik yang memecah belah. Dalam teori konflik, Lewis Coser menjelaskan bahwa konflik dapat bersifat fungsional jika dikelola dengan baik. NU, dengan keluguannya, mesti mampu menjadi penengah dalam berbagai konflik sosial, menjaga harmoni, dan memastikan bahwa perbedaan tidak merusak persatuan bangsa.

Lalu, kelugasan (straightforwardness). Ini juga mesti menjadi ciri khas dalam menyikapi setiap masalah. Tidak bertele-tele dalam mengambil tindakan. Max Weber, dalam teori aksi sosial menjelaskan bahwa tindakan sosial yang efektif harus didasarkan pada rasionalitas dan tujuan yang jelas. Dengan kelugasannya, NU bisa mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan masalah di masyarakat, seperti membangun pesantren, mendirikan klinik kesehatan, atau membantu korban musibah.

Kelugasan NU juga terlihat dalam sikapnya yang tegas terhadap ancaman terhadap NKRI. Dalam teori negara, Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum dan norma adalah fondasi utama negara. Karena itu, dengan tegas, NU menolak segala bentuk radikalisme dan ekstremisme yang mengancam keutuhan bangsa. Sikap ini menunjukkan bahwa NU tidak hanya berwacana, tetapi juga bertindak nyata untuk menjaga keutuhan bangsa.

Kesederhanaan (simplicity) adalah nilai yang mesti selalu dijunjung tinggi. Dalam teori pembangunan, Amartya Sen menekankan pentingnya pembangunan manusia (human development) sebagai fondasi kemajuan bangsa. NU, dengan kesederhanaannya, mesti fokus pada hal-hal kecil yang sering diabaikan seperti pendidikan karakter di pesantren, pelatihan keterampilan untuk ibu-ibu, atau pembinaan generasi muda.

Kesederhanaan NU juga tercermin dalam gaya hidup para tokoh, kiai, dan pengurusnya. Dalam teori ekonomi sosial, Thorstein Veblen mengkritik konsumsi yang berlebihan (conspicuous consumption) sebagai penyebab ketimpangan sosial. NU mesti terus mengajarkan masyarakat untuk hidup sederhana dan bersyukur, sehingga tercipta keseimbangan sosial.

Faktor Barokah

Dalam ceramahnya Gus Dur itu juga mengingatkan tentang faktor barokah. Konsep “barokah” dalam tradisi NU, memiliki makna yang mendalam. Dan rasanya terus relevan dalam konteks membangun bangsa. Barokah sering diartikan sebagai keberkahan. Yaitu, tambahan kebaikan yang diberikan Allah SWT atas sesuatu yang dilakukan dengan niat ikhlas, cara yang benar, dan sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan. Dalam konteks membangun bangsa, faktor barokah menjadi penting. Sebab, ia tidak hanya mengedepankan hasil material, melainkan juga nilai-nilai spiritual dan moral yang mendasari setiap tindakan.

Barokah dalam konteks kebangsaan memiliki makna, pertama niat ikhlas untuk kebaikan bersama. Barokah dimulai dari niat yang tulus dan ikhlas. Dalam membangun bangsa, niat untuk memajukan masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan menciptakan keadilan sosial adalah fondasi utama. Niat yang ikhlas ini akan mendorong tindakan-tindakan yang penuh tanggung jawab dan berorientasi pada kemaslahatan umat.

Kedua, cara yang benar. Barokah juga terkait dengan cara atau metode yang digunakan. Dalam Islam, segala sesuatu harus dilakukan dengan cara yang halal dan baik (tayib). Misalnya, dalam pembangunan ekonomi, pentingnya untuk menghindari praktik riba, korupsi, atau eksploitasi. Dengan cara yang benar, hasil yang dicapai tidak hanya material, tetapi juga membawa kebaikan spiritual.

Ketiga, keseimbangan antara dunia dan akhirat. Barokah mengajarkan keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Membangun bangsa tidak hanya tentang infrastruktur atau pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang membangun karakter, moral, dan spiritualitas masyarakat. Ini sejalan dengan konsep “hablum minallah wa hablum minannas” (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia).

Sebagai negara berketuhanan, faktor barokah dalam membangun bangsa ini masih sangat relevan. Barokah dapat memperkuat modal sosial (social capital) seperti kepercayaan, solidaritas, dan gotong royong. Dalam teori sosiologi, modal sosial adalah kunci untuk membangun masyarakat yang kohesif dan harmonis. Dengan nilai-nilai barokah, akan membangun jaringan sosial yang kuat melalui pesantren, majelis-majelis, dan kegiatan sosial lainnya. Barokah juga mengajarkan kejujuran dan keadilan. Dalam konteks bangsa, ini berarti mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan nilai-nilai barokah, para pemimpin dan masyarakat diajak untuk bekerja dengan amanah dan bertanggung jawab.

Selain itu, barokah juga terkait dengan keberlanjutan (sustainability). Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), menekankan pentingnya menjaga lingkungan dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Ini sejalan dengan konsep “mizan” (keseimbangan) dalam Islam, yang mengajarkan manusia untuk hidup harmonis dengan alam. Barokah membantu membentuk identitas dan karakter bangsa yang berbasis pada nilai-nilai luhur. Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai seperti toleransi, kerukunan, dan gotong royong adalah manifestasi dari barokah yang telah dipraktikkan oleh NU selama puluhan tahun.

Dengan demikian, faktor barokah dalam membangun bangsa memiliki makna yang mendalam dan relevan. Ia tidak hanya mengedepankan hasil material, tetapi juga nilai-nilai spiritual dan moral yang mendasari setiap tindakan. Dengan barokah, pembangunan bangsa menjadi lebih holistik, berkelanjutan, dan penuh makna. Barokah mengajarkan kita bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari apa yang kita capai, melainkan juga dari bagaimana kita mencapainya dan apa dampaknya bagi orang lain. Inilah esensi sejati dari membangun bangsa. (*)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.