KabarBaik.co- Harapan PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk tetap dapat menjual konsentrat tembaga ke luar negeri (ekspor) dengan dalih pabrik smelter yang baru dibangun di Gresik terbakar, belum gayung bersambut. Sejak izin berakhir pada 31 Desember 2024 lalu, sejauh ini Pemerintah RI masih berpegang pada ketentuan perundang-undangan. Belum mengeluarkan perpanjangan izin.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah belum memberikan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga PTFI.
Menurut Bahlil, sesuai peraturan perundang-undangan, sudah tidak boleh lagi melakukan ekspor konsentrat tembaga setelah 31 Desember 2024. Sebab, semua perusahaan yang mengelola tembaga, wajib untuk membangun smelter.
Di Indonesia, sudah ada dua smelet, yakni PT Amman dan PTFI. Dan, semuanya sudah jadi. ‘’Freeport itu investasinya USD 3 miliar dan sudah selesai,” kata Bahlil pada konferensi pers kinerja Sektor ESDM 2024, di Jakarta, Senin (3/2).
Tapi, kemudian dalam prosesnya smelter yang dibangun PTFI itu terbakar. Hal itu disebut Bahlil termasuk kondisi kahar atau force majeur. ’’Nah kami sedang mempelajari, sampai hari ini (3/2) belum ada keputusan ekspo. Sampai dengan hari ini saya bicara ini. Nah, saya tidak tahu kalau malam hari bagaimana nanti. Wallahu A’lam,” ujar menteri yang juga ketua umum Partai Golkar itu.
Seperti pernah diberitakan, PTFI sudah berkali-kali mendapatkan relaksasi perpanjangan ekspor konsentrat tembaga. Kekayaan alam tanah air yang diambil dari Bumi Papua. Kelonggaran izin itu diberikan mulai masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak rencana hilirisasi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba hingga Presiden Joko Widodo, yang belakangan merevisi UU tersebut
Nah, apakah kelonggaran berulang-ulang bakal kembali berlanjut di masa Presiden Prabowo Subianto? Ataukah Prabowo bakal tegas mengakhiri permintaan relaksasi itu sejalan komitmen kuat untuk melanjutkan rencana hilirisasi karena masuk program prioritas Asta Cita? Tunggu saja. Yang jelas, beberapa waktu lalu Baleg DPR RI secara mendadak mengajukan usulan revisi UU Minerba lagi.
Sebelumnya, sejumlah kalangan atau pengamat menilai, PTFI disebut jauh lebih untung mengekspor konsentrat tembaganya daripada mengolah di dalam negeri melalui pabrik smelternya. Karena itu, PTFI tentu berharap untuk dapat terus mendapat kelonggaran menjual konsentrat tembaga ke luar negeri. Jika itu terus dilakukan, tentu yang untung PTFI. Sebaliknya, nilai manfaat dan nilai tambah yang didapat Indonesia sebagai pemilik kekayaan alam dianggap kurang sebanding.
Sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itulah gema hilirasasi itu terus mengemuka dan telah diundangkan dalam UU tentang Minerba tersebut.
Berdasarkan laporan tahunan PTFI, selama ini tembaga memang memiliki kontribusi besar sebagai sumber pundi-pundi utama pendapatan PTFI. Rata-rata pendapatan PTFI sejak 2021 berkisar Rp 129,76 triliun. Dari angka itu pendapatan tembaga berkisar Rp 78,58 triliun. Artinya, sumbangsih dari tembaga mencapai sekitar 60 persen dari total pendapatan.
Selain berupa katoda, konsentrat tembaga juga menjadi andalan PTFI untuk diekspor atau dijual ke luar negeri. Pada 2022 dan 2023, misalnya. Dengan menambang rata-rata lebih dari 190 ribu metrik ton bijih tembaga per hari, PTFI selalu memproduksi sedikitnya 3 juta ton konsentrat berkadar 25 persen Cu per tahun.
Adapun rata-rata laba yang dicetak PTFI mencapai USD 3,07 miliar atau setara Rp 45,43 triliun sejak 2021. Per September 2024, menurut laporan keuangan perusahaan itu, laba tahun berjalan PTFI senilai USD 3,37 miliar.
Sementara itu, pendapatan yang diterima negara dari hasil pajak dan sejenisnya, cukup jauh di bawah pendapatan atau keuntungan yang didapatkan PTFI dari aktiviras penambangan tersebut. (*)