KabarBaik.co – Suasana di Museum Islam Nusantara Hasyim Asy’ari (Minha), Tebuireng, Jombang, tampak berbeda. Puluhan karya kaligrafi Islam terpajang rapi di aula museum dalam pameran yang digelar Pondok Pesantren Kaligrafi (SAKAL) Jombang untuk memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025.
Pameran ini bukan hanya ajang unjuk karya, tapi juga sarana edukasi bagi masyarakat agar lebih mengenal khazanah seni kaligrafi Islam.
Pengasuh utama SAKAL Ustaz Atho’illah menjelaskan bahwa pameran ini bertujuan mengenalkan kaligrafi sebagai seni Islam yang inklusif.
“Selama ini kaligrafi sering dianggap milik kalangan tertentu. Lewat pameran ini kami ingin menunjukkan bahwa kaligrafi adalah seni rupa Islami yang bisa dipelajari dan dinikmati semua orang,” ujarnya, Kamis (23/10).
Menurutnya, Islam memiliki berbagai bentuk ekspresi budaya, mulai dari seni suara seperti qasidah hingga seni rupa seperti kaligrafi.
“Kaligrafi menjadi ruang ekspresi yang lebih diterima ketika seni lukis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama,” imbuhnya.
Pondok SAKAL yang berlokasi di lingkungan Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Jombang, hanya menerima sepuluh santri setiap angkatan agar pembelajaran bisa berjalan intensif.
“Jumlahnya memang terbatas karena kami ingin menjaga kualitas. Tapi alhamdulillah, santri kami kini berasal dari berbagai negara, seperti Somalia, Selandia Baru, Malaysia, Irak, dan beberapa negara Arab,” jelas Atho’illah.
Sejak berdiri pada 2012, SAKAL telah meluluskan lebih dari 360 santri, dan kini memiliki sembilan cabang, termasuk di luar negeri. Indonesia sendiri disebutnya menempati peringkat ketiga dunia dalam bidang Khod atau seni tulisan Arab.
Dalam pameran tersebut, pengunjung dapat menikmati berbagai jenis Khod seperti Maghribi, Kufi, Diwani, Naskh, hingga Tsuluts (Julus).
“Maghribi itu turunan dari Khod Hijazi yang sudah ada sebelum masa Rasulullah SAW. Sementara Kufi muncul di masa Sayyidina Ali bin Abi Thalib,” papar Ustadz Atho’illah.
Tulisan yang digunakan umumnya bersumber dari ayat Alquran, hadis, hingga maqolah. Misalnya, Khod Diwani Jali yang dulu dipakai menulis surat resmi para sultan Turki Utsmani.
Salah satu peserta pameran, Masrur Musyafa Wahyudin, menampilkan dua karya bergaya Diwani.
“Saya suka Diwani karena elegan dan punya nilai estetika tinggi. Salah satu karya saya mengambil Hadits Arbain Nawawi tentang halal dan haram, satunya lagi Surat Ar-Rahman ayat 46–53,” katanya.
Karya Masrur bahkan pernah meraih juara pertama lomba kaligrafi tingkat Jawa Timur di Malang.
Para santri menggunakan media alami—kertas daur ulang (muwohar) yang diperkuat dengan tawas, putih telur, dan tepung maizena, serta pena dari bambu atau lidi aren.
Ustaz Atho’illah menyebut beberapa karya kaligrafi bernilai ekonomi tinggi.
“Kalau ada yang ingin membeli karya, boleh saja. Pernah satu karya Diwani terjual sampai Rp 100 juta,” ungkapnya.
Melalui pameran ini, Pondok SAKAL ingin menunjukkan bahwa seni Islam bukan hanya tentang estetika, tapi juga edukasi dan peradaban.
“Kaligrafi bisa menjadi jembatan antara tradisi, keindahan, dan spiritualitas,” tutup Ustaz Atho’illah. (*)