KabarBaik.co- Sabtu pagi waktu Timur Tengah, dunia tersentak. Tiga fasilitas nuklir utama Iran, di Fordow, Natanz, dan Isfahan, dihantam rudal dan bom dalam serangan besar yang diluncurkan Amerika Serikat (AS). Suara ledakan menggema hingga radius puluhan kilometer. Jadi sebuah pesan jelas. Ketegangan kawasan telah melampaui titik didih.
Di balik layar, ini bukan hanya serangan militer. Ini adalah babak baru dalam sejarah ketegangan nuklir yang rumit, dan taruhannya tidak pernah sebesar ini. Dari potensi konflik regional hingga dampak ekonomi global yang menjalar jauh melampaui perbatasan Iran.
Serangan AS tidak datang tiba-tiba. Seminggu sebelumnya, Israel telah melancarkan serangan udara ke sejumlah situs strategis di Iran. Target mereka bukan sembarangan. Para komandan militer, ilmuwan nuklir, dan fasilitas pertahanan. Iran membalas. Rudal-rudalnya menghantam kota-kota Israel, menewaskan 25 orang dan melukai ratusan. Namun dampaknya lebih mengerikan di Iran. Data resmi menunjukkan lebih dari 430 warga Iran tewas, dan lebih dari 3.500 terluka akibat serangan Israel.
Ketika konflik tampak akan mereda, justru datang hantaman berikutnya. Danm kali ini dari Amerika. Lebih dari 125 pesawat terlibat dalam operasi militer AS. Dari pesawat pembom siluman B-2 hingga jet tempur F-15 dan rudal yang diluncurkan dari kapal selam, semuanya digerakkan dengan presisi militer kelas dunia. Fordow, yang dibangun di dalam gunung dan dikenal sangat sulit ditembus, dilaporkan mengalami kerusakan parah.
Jenderal Dan Caine, pejabat tinggi Angkatan Udara AS, menyebut bahwa operasi ini sebagai “koordinasi udara dan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya”. Namun, di balik klaim keberhasilan itu, dunia bertanya-tanya. Ke mana arah konflik ini?
Dunia Bereaksi: Antara Kecaman dan Kekhawatiran
Di Dewan Keamanan PBB, nada yang muncul adalah kemarahan. Rusia menyebut AS telah membuka “Kotak Pandora”. China menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Bahka, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan bahwa situasi ini sebagai “eskalasi yang sangat berbahaya”.
China, Rusia, dan Pakistan segera mengajukan rancangan resolusi PBB yang mendesak gencatan senjata. Mereka menekankan pentingnya melindungi warga sipil, menjaga integritas fasilitas nuklir, dan memulai kembali proses diplomatik yang sempat terhenti.
Di tengah hiruk-pikuk elite politik, suara rakyat AS menggema di jalanan. Di lebih dari 15 kota, termasuk New York dan Los Angeles, ribuan warga turun ke jalan membawa spanduk “No War with Iran” dan “Bring Troops Home”.
Koalisi anti-perang seperti ANSWER dan Veterans for Peace mengecam pemerintahan Trump yang dinilai gegabah dan berisiko menciptakan perang besar-besaran. Mereka menuntut dana militer dialihkan untuk pendidikan, layanan kesehatan, dan krisis domestik yang lebih mendesak.
Dari Hambalang, Presiden RI Prabowo Subianto memimpin rapat darurat terbatas. Dalam pernyataan resminya, Indonesia menekankan perlunya jalan damai dan kembali ke meja perundingan. “Kita tidak boleh membiarkan kawasan Timur Tengah kembali menjadi ladang perang terbuka,” kata Menkopolhukam Budi Gunawan.
Indonesia juga segera mengevakuasi warga negaranya. Gelombang pertama sebanyak 29 orang telah dipulangkan lewat rute Baku, Azerbaijan, dan tiba di Jakarta pada Senin malam. Kementerian Luar Negeri menyiapkan evakuasi tahap berikutnya jika situasi terus memburuk.
Ancaman Global: Selat Hormuz dan Ekonomi Dunia
Salah satu reaksi paling strategis datang dari parlemen Iran. Mereka menyetujui rencana untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui sekitar 20 juta barel minyak per hari. Angka ini merupakan seperlima pasokan dunia.
Jika jalur ini ditutup, harga minyak global bisa melonjak tajam. Tentu berpotensi memperburuk inflasi dan memperlambat pemulihan ekonomi global yang baru saja bangkit dari krisis.
Kini, semua pihak menahan napas. Apakah Iran akan membalas serangan ini? Apakah AS dan Israel bersiap ke medan perang terbuka? Ataukah diplomasi internasional akan kembali menemukan jalan di tengah reruntuhan dan abu?
Seperti kata diplomat senior China, Guo Jiakun. “Jika dunia diam saat hukum internasional dilanggar, maka bukan hanya Timur Tengah yang terbakar, tapi harapan untuk perdamaian global juga akan hangus.” (*)