KabarBaik.co- Tradisi Pacu Jalur Riau, sebuah perlombaan dayung yang telah mendarah daging di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, kini tak hanya menjadi kebanggaan lokal. Namun, juga sensasi global. Mendunia. Sorotan dunia tengah tertuju pada festival rakyat ini. Terutama berkat fenomena viral “Aura Farming” yang dilakukan para tukang tari (anak coki) di haluan perahu.
Aksi lincah dan penuh semangat mereka ternyata memikat perhatian klub-klub sepak bola raksasa Eropa, seperti Paris Saint-Germain (PSG) dan AC Milan, serta berbagai tokoh terkenal lainnya. PSG bahkan mengunggah video kompilasi selebrasi pemainnya yang disandingkan dengan tarian Pacu Jalur, lengkap dengan keterangan, “Auranya tiba sampai ke Paris.”
Tak ketinggalan, AC Milan melalui maskotnya juga turut menirukan gerakan “Aura Farming”, semakin mengukuhkan daya tarik luar biasa dari tradisi unik tersebut. Fenomena ini juga menarik perhatian bintang NFL, Travis Kelce, hingga Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka, yang turut membagikan konten terkait Pacu Jalur.
Pacu Jalur Riau adalah sebuah perlombaan dayung tradisional yang sangat populer dan merupakan pesta rakyat terbesar di Kabupaten Kuansing, Provinsi Riau. Istilah “Pacu Jalur” berasal dari bahasa Minangkabau Timur, di mana “pacu” berarti lomba atau balapan, dan “jalur” merujuk pada perahu panjang yang digunakan dalam perlombaan ini.
Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun selama ratusan tahun dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat, serta diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak tahun 2014.
Sejarah dan Asal Usul
Awal mula Pacu Jalur diyakini sudah ada sejak sekitar abad ke-17. Pada masa itu, jalur atau perahu panjang ini berfungsi sebagai alat transportasi utama bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan. Sungai merupakan jalur vital untuk menghubungkan antarwilayah, mengangkut hasil bumi, dan sebagai sarana komunikasi. Jalur-jalur ini pada awalnya dibuat untuk keperluan sehari-hari, namun seiring waktu, muncul ide untuk mengadu kecepatan antarjalur sebagai bentuk hiburan dan adu kekuatan.
Pada mulanya, perlombaan ini sering diadakan untuk merayakan hari-hari besar keagamaan Islam, seperti Idul Fitri. Namun, pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur juga dimanfaatkan untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Wilhelmina. Setelah kemerdekaan Indonesia, Pacu Jalur kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, yang biasanya jatuh pada bulan Agustus. Festival ini selalu menarik ribuan pengunjung dari berbagai daerah, bahkan mancanegara.
Perahu “Jalur”
Perahu yang digunakan dalam Pacu Jalur adalah “jalur” itu sendiri. Jalur ini bukan sembarang perahu, melainkan terbuat dari satu batang pohon utuh tanpa sambungan. Proses pembuatannya sangatlah rumit dan memakan waktu berbulan-bulan, melibatkan ritual adat yang kental. Kayu yang dipilih pun tidak sembarangan; harus memenuhi persyaratan kualitas, ukuran, dan dipercaya memiliki bobot magis atau spiritual tertentu. Jenis kayu yang sering digunakan antara lain kayu banio, kulim kuyiang, atau kayu keras lainnya yang lurus dan panjang.
Ukuran jalur sangat bervariasi, umumnya mencapai panjang 25 hingga 40 meter, dengan lebar yang mampu menampung 40 hingga 70 orang pendayung, yang disebut “anak pacu”. Setiap jalur dihiasi dengan ornamen warna-warni dan ukiran bermotif kepala binatang seperti ular, buaya, atau harimau di bagian haluannya, yang mencerminkan identitas kampung atau tim yang bersangkutan. Hiasan lain seperti payung, tali temali, kain, dan selendang juga ditambahkan untuk memperindah jalur.
Unsur-unsur Penting dalam Pacu Jalur
Pacu Jalur bukan hanya sekadar adu kecepatan mendayung, tetapi juga melibatkan berbagai peran penting dan unsur-unsur magis yang menambah kekhasan tradisi ini:
Anak Pacu (Pendayung): Mereka adalah inti dari setiap tim, bertugas mendayung jalur dengan kekuatan dan kekompakan. Jumlahnya bisa mencapai puluhan orang.
Tukang Tari (Anak Coki): Ini adalah salah satu peran yang paling mencuri perhatian dan belakangan ini viral. Tukang tari biasanya adalah seorang anak yang berdiri di bagian haluan jalur dan menari dengan lincah, memberikan semangat kepada pendayung dan menunjukkan kegembiraan jika jalur mereka unggul. Tarian ini diyakini membawa semangat, harmoni, dan kekuatan spiritual bagi tim.
Tukang Timbo Ruang: Berada di bagian tengah jalur, bertugas mengomandoi para anak pacu dan memastikan koordinasi dayungan berjalan baik. Ia juga bertugas menimba air yang mungkin masuk ke dalam jalur.
Tukang Onjai: Berdiri di bagian buritan atau kemudi, bertugas mengarahkan jalur agar tetap lurus dan tidak keluar jalur lintasan. Perannya sangat krusial dalam menjaga stabilitas dan arah jalur.
Pawang: Peran pawang sangat penting, terutama dalam proses pemilihan dan penebangan kayu untuk jalur. Pawang melakukan upacara “semah” agar kayu tidak “hilang” secara gaib. Dalam perlombaan, kekuatan magis dari kayu dan kesaktian pawang juga dipercaya turut menentukan kemenangan. Unsur magis ini menunjukkan kentalnya kepercayaan animisme dalam masyarakat setempat.
Penyelenggaraan Perlombaan
Festival Pacu Jalur umumnya diadakan setiap tahun di Sungai Batang Kuantan, dengan puncak acara di Teluk Kuantan, ibu kota Kabupaten Kuantan Singingi. Perlombaan menggunakan sistem gugur atau setengah kompetisi. Setiap jalur akan berhadapan satu lawan satu, dan jalur yang kalah akan langsung tersingkir, sedangkan pemenang akan terus melaju hingga mencapai babak final. Jarak lintasan biasanya berkisar antara 800 hingga 1.000 meter.
Selama festival, suasana di Teluk Kuantan sangat meriah. Selain perlombaan utama, ada berbagai acara pendukung seperti Pekan Raya, pertunjukan sanggar tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan kesenian tradisional lainnya. Festival ini tidak hanya menjadi ajang adu kecepatan, tetapi juga menjadi pesta rakyat yang mempererat tali silaturahmi antar-kampung dan mendorong perputaran ekonomi lokal.
Makna dan Nilai Budaya
Pacu Jalur memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Kuantan Singingi:
- Semangat Kebersamaan dan Gotong Royong: Pembuatan jalur, latihan mendayung, hingga pelaksanaan lomba, semuanya membutuhkan kerja sama tim yang solid dan partisipasi seluruh masyarakat kampung. Ini mencerminkan semangat kolektif yang kuat.
- Kebanggaan Kolektif dan Kehormatan Kampung: Kemenangan dalam Pacu Jalur membawa kehormatan besar bagi kampung peserta. Oleh karena itu, setiap tim berjuang keras untuk meraih kemenangan demi nama baik kampung mereka.
- Nilai Spiritual dan Adat: Adanya peran pawang, ritual adat dalam pembuatan jalur, dan kepercayaan terhadap unsur magis, menunjukkan nilai spiritual yang tinggi dan penghormatan terhadap alam serta leluhur. Jumlah payung dalam perahu yang sama dengan jumlah rukun Islam juga menunjukkan nilai religius.
- Sportivitas dan Ketangguhan Fisik: Lomba ini menguji ketangkasan, kekuatan fisik, dan daya tahan para pendayung. Meskipun kompetitif, sportivitas tetap dijunjung tinggi.
- Identitas Budaya: Pacu Jalur adalah identitas budaya yang kuat bagi masyarakat Kuantan Singingi dan Riau, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Dengan viralnya “Aura Farming,” Pacu Jalur Riau kini memiliki panggung yang lebih luas untuk terus dilestarikan dan dinikmati oleh generasi mendatang, sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada khalayak global. (*)