Mengangeni Gus Dur, Merefleksi Nilai Keterbukaan dan Kejujuran

oleh -1063 Dilihat
HUD

OLEH: M. SHOLAHUDDIN*)

GUS DUR. Ada yang menyebut Pak Gus Dur. Anda sudah tahu. Nama itu adalah panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 1984-1999, Presiden RI ke-4. Yang mungkin Anda belum tahu adalah siapa nama kecilnya serta nama lengkap keempat putrinya.

Gus Dur sudah meninggalkan kita. Pada 30 Desember 2009 lalu. Banyak kalangan memperingati hari wafatnya. Dengan beragam kegiatan. Mulai doa bersama, seminar-seminar, dan sejenisnya. Ini menjadi satu bukti bahwa Gus Dur memang salah satu tokoh istimewa. Ribuan orang pun datang berziarah ke makamnya. Setiap hari. Bukan hanya orang Islam, namun juga non-Muslim.

Gus Dur memang telah berpulang. Sejak 15 tahun lalu. Namun, namanya masih abadi. Pernyataan-pernyataan semasa hidupnya, terus mendesir terasa seperti selimut embun. Kutipan-kutipan indahnya, nilai-nilai perjuangannya, syair tanpa watonnya, hingga lelucon atau humor-humor segarnya.

Bahkan, celetukan prediksinya. Sebut saja, Prabowo akan menjadi Presiden di masa tuanya, Timnas Indonesia akan masuk Piala Dunia. Dan banyak lagi. Semua berserak di beranda-beranda kita. Gus Dur seolah masih hidup. Setia mengawani kita. Seperti baru kemarin.

Tentu, saya juga mengenal Gus Dur. Tapi, kalau Anda tanya apakah Gus Dur kenal saya? Jawabnyai tidak, walaupun dalam beberapa kesempatan saya pernah berinteraksi dengannya. Curi-curi kexempatan untuk dapat berfoto bersama. Dulu, saat beliau belum berpulang. Sebelum dan sesudah menjadi Presiden. Juga, kala sudah meninggal dengan menziarahinya.

Dua kali pengalaman menarik dapat berfoto bersama Gus Dur. Sepenggal foto bercerita. Paling tidak bagi saya. Pertama, kala rezim Orde Baru tumbang. Presiden Soeharto lengser. Pada 1999 silam. Berarti sudah 25 tahun. Saya masih di Unair. Mahasiswa semester akhir. Saat itu, bersama sejumlah teman sekampus, kami berangkat ke Jakarta. Bondo nekat. Tujuannya Cuma satu. Ke kantor PBNU di Kramat Raya.

Naik kereta api. Ingat saya, ongkosnya masih Rp 17 ribu. Dari Pasar Turi Surabaya ke Pasar Senen Jakarta. Membawa undangan dan proposal untuk disampaikan ke Gus Dur di kantor PBNU itu. Agar beliau berkenan hadir dalam sebuah acara seminar kami. Menjadi keynote speaker. Tema seminarnya keren sekali: Menggagas Indonesia Madani.

Pokoknya ke Jakarta dulu. Soal apakah bertemu Gus Dur atau tidak, itu hal lain. Maka, sampailah kami di Jakarta. Bayangkan. Orang kampung tiba di kota besar. Kami pun tolah-toleh. Melihat gedung-gedung angkuh tinggi menjulang. Modal kami hanya mulut. Untuk bertanya. Maklum, belum ada Google Maps. Tanya, jalan kaki lagi. Tanya, jalan kaki lagi. Begitu seterusnya.

Beruntung jarak dari Stasiun Pasar Senen ke kantor PBNU tidak jauh. Hanya sekitar 2 kilometer. ‘’Jangan ribet-ribet ngasih petunjuknya. Kanan-kiri, kanan-kiri saja. Percuma kasih tahu nama tempat atau jalannya, ini bocah datang dari kampung,’’ kata pedagang pinggir jalan kepada rekannya saat menjawab pertanyaan kami.  Kami pun tertawa lirih memakluminya. Memang kami  sekumpulan orang kampung. Baru kali pertama ke Jakarta.

Tiba di kantor PBNU, kami pun bertanya kepada sekuriti setelah memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Unair Surabaya. ‘’Apakah Gus Dur ada?’’ Sekuriti cepat menjawab bahwa Gus Dur sedang tidak ada di kantor PBNU. ‘’Beliau sibuk tampaknya. Apalagi mau pemilihan Presiden kan?’’ jawab sekuriti meyakinkan.

Kami pun diskusi. Apakah meninggalkan undangan itu untuk disampaikan ke Gus Dur ataukah menanti. Barangkali ada keajaiban. Toh Gus Dur itu ajaib. Siapa tahu Gus Dur tiba-tiba muncul.

Kami pun bersepakat memilih menunggu. Tetap berada di depan kantor PBNU. Entah sampai kapan. Sebagian dari kami, membeli teh botol di pedagang asongan depan kantor PBNU. Penawar lapar. Belum makan selama berada di kereta. Maklum, pengiritan. Bisa sampai di Jakarta dan pulang saja, bersyukur.

Tegukan dingin teh botol terasa begitu nikmat sekali. Menyiram kerongkongan. Bak hujan di terik kemarau. Betul bahwa makanan dan minuman paling enak sedunia adalah saat haus dan lapar. Bukan yang lain. Termasuk Mi Gacoan atau Bebek Pak H Slamet sekalipun.

Belum habis teh botol, mata kami tertuju ke sebuah mobil yang tiba-tiba muncul. Masuk ke pelataran kantor PBNU. Jangan-jangan Gus Dur? Dalam benak kami.  Subhanallah, benar. Terasa ajaib. Gus Dur dengan didampingi asisten pribadinya. Kami pun cepat membayar teh botol itu, Lantas bergegas ke arah Gus Dur. Mendekat. Lalu, berupaya bersalaman dan mencium tangannya.

Tidak lama berselang, beberapa wartawan datang. Mereka ingin mewawancarai Gus Dur. Maklum, beliau termasuk salah satu tokoh sangat penting. Bersama sejumlah awak media, kami pun ikut ke dalam kantor PBNU. Gus Dur masuk ke ruangannya. Kami pun mengutarakan maksud dan tujuan ke asisten Gus Dur, sambil memberikan undangan.

Singkat cerita, acara seminar Mengagas Indonesia Madani itupun terselenggara. Di Islamic Center Surabaya. Gus Dur memang berhalangan hadir. Namun, acaranya sungguh tidak terduga-duga. Meledak. Gedung itu penuh. Ribuan orang hadir. Padahal, untuk bisa mengikuti itu, ada infak mahasiswa/pelajar Rp 5.000 dan VIP Rp 20.000 (dapat makan). Rezeki anak sholeh,

Sejumlah narasumber hadir. Ada KH Hasyim Muzadi (waktu itu ketua PWNU Jatim, Prof Alwi Shihab, Choirul Anam (Cak Anam), Prof Kacung Marijan (Guru Besar Unair), dan sejumlah tokoh ternama lainnya. Yang membanggakan lagi, banyak kiai juga tampak datang. Salah seorang di antaranya KH Agoes Ali Masyhuri (Gus Ali).

Kelak, 25 tahun kemudian, sejumlah teman yang mbonek ke PBNU untuk bisa bertemu Gus Dur itu kini telah menjadi ‘’orang’’. Maksudnya bukan mahasiswa lagi. Ada yang menjadi pejabat eselon II. Menjadi wakil kepala sekolah, pengusaha, dan saya sendiri. Mengenang cerita itu sungguh menjadi kenangan tersendiri. Tersenyum lirih. Kok kelakon…

***

Pengalaman kedua, terjadi pada 2004 silam. Saat tergelar Muktamar NU di Asrama Haji Donohudan, Solo. Bukan lagi menjadi mahasiswa. Sudah lulus dari Unair. Menjadi jurnalis di Jawa Pos. Suasana sebelum muktamar terasa sudah menegangkan. Bahkan, sempat ada wacana membuat ’’NU tandingan’’. Gus Dur dan beberapa kiai khas atau kiai langit di satu sudut, beberapa kiai lain di sudut lainnya.

Ada ’’pergolakan pemikiran’’. Antara barisan Gus Dur dengan KH Hasyim Muzadi, yang ingin maju lagi sebagai ketua umum PBNU. Selepas tidak terpilih menjadi Wapres kala berpasangan dengan Megawati Soekaroputri. Anda bisa membaca-baca arsip beritanya. Google saja. Dan, pertentangan pemikiran di kalangan Nahdliyyin itu biasa. Di awal terasa gegeran, tetapi ujung-ujungnya ’’ger-geran’’ Itulah mungkin ikhtilafu rahmah.

Selama pelaksanaan Muktamar NU Solo, saya memilih berada di barisan Gus Dur. Maksudnya, ke mana Gus Dur bergerak, saya selalu berupaya untuk membuntuti. Berdua. Sama satu rekan wartawan lain dari Tempo. Namanya Ahmad Nawardi. Saya biasa memanggilnya Cong Mawardi. Maklum, sahabat dari Madura. Gus Dur ke arena muktamar, kami mbuntuti bersama rombongannya. Demikian juga saat ke penginapannya atau hotel.

Wira-wiri itu selama beberapa hari. Hingga Muktamar NU Solo itu mau usai. KH Hasyim Muzadi kembali terpilih sebagai ketua umum PBNU. Lalu, KH M. Sahal Mahfudz menjadi Rais Aam.

Muktamar memang selesai. Namun, ketegangan pascamuktamar rasanya saat itu tidak lantas mereda. Masih ada bara. Banyak kiai khas berkumpul di penginapan itu. Demikian juga sejumlah wartawan. Termasuk saya dan rekan dari Tempo. Karena muktamar berakhir, kami pun harus kembali ke Surabaya. Namun, sebelum pulang, mendadak rekan Mawardi nyeletuk. ‘’Berhari-hari norok (ikut, Red) Gus Dur, kok kita belum sempat befoto dengan beliau?’’ ujarnya kepada saya.

Saya mengangguk. ‘’Iya, tapi piye carane? Suasana lagi tegang begini,’’ jawab saya. Namun, di hati kecil, saya percaya Mawardi punya cara. Salah satu yang melatari keyakinan saya adalah orang Madura biasanya banyak akal. Selalu selangkah di depan. ‘’Ayo ikut saya cong!’’ katanya menggamit tangan kanan saya cepat-cepat sembari berjalan. Saya pun menurut.

Mawardi lantas bertanya kepada sejumlah orang. Pakaian hitam-hitam. Boleh jadi mereka sekumpulan Pagar Nusa atau Banser. ‘’Di mana kamar Gus Dur?’’ tanyanya.

Lalu, kami pun ditunjukkan nomor dan arah kamarnya. ‘’Tapi, Gus Dur sedang pertemuan dengan para kiai di kamarnya. Nggak bisa diganggu,’’ jawabnya. ‘’Maaf, ini kami sedang dipanggil Gus Dur. Lagi mendesak,’’ jawab Mawardi sambiil menunjukkan identitas pers yang terkalung di lehernya. Mereka percaya.

Lalu, kami bergegas menuju ke nomor kamar dimaksud. Beberapa pengawal membuntuti. Tiba di depan kamar Gus Dur, diam-diam saya beberapa kali mengucap shalawat. Seorang penjaga di depan pintu. Mencegat. ‘’Mau bertemu siapa dan dari mana?’ tanya penjaga penuh selidik. ‘’Saya dari Tempo dan Jawa Pos, ini mau bertemu Gus Dur. Kami dipanggil,’’ jawab Mawardi singkat, penuh percaya diri.

Kami pun mengetuk pintu, Beruluk salam. Ternyata, tidak meleset. Di kamar kelas presiden suite itu sedang banyak orang. Kami tahu mereka adalah para kiai langit atau kiai khas. Dari beberapa daerah. Saya mengenal sejumlah namanya. Saya memilih berjalan di belakang Mawardi. Dada berdetak cukup kencang. ‘’Assalamulaikum, Gus. Mohon maaf, saya Ahmad Nawardi dari Tempo, dan rekan Sholahuddin dari Japos (Jawa Pos, Red)’’ ucap Mawardi dengan logat khas Maduranya.

Saya mengamati sekeliling ruangan. Gus Dur duduk di sebuah sofa motif coklat muda. Didampingi Bu Nyai Shinta Nuriyah serta Mbak Yenny Wahid. Sementara itu, para kiai khas duduk di hamparan karpet di bawah.

Begitu terdengar salam dan ucapan Mawardi, mata beberapa kiai tampak menatap ke kami. Terasa penuh keheranan. Saya tertunduk. ‘’Iyo, ono opo?’’ jawab Gus Dur. ‘’Mau minta foto Gus,’’ kata Mawardi. Saya melihat beberapa kiai khos itu lantas tersenyum mendengar pernyataan itu. Boleh jadi, kehadiran kami mencairkan ketegangan suasana pascamuktamar.

‘’Oh iyo.. Asal ojo jaluk duwek,’’ celetuk Gus Dur yang kembali mengundang senyum para kiai khos. Mungkin dalam benak beliau-beliau, ada-ada saja ulah dua wartawan usil ini. Pikir mereka, mau ada urusan penting atau minta wawancara dengan Gus Dur, eh ternyata meminta foto.

Begitu senangnya kami mendengar jawaban Gus Dur tersebut. Mawardi lantas mendekat Gus Dur. Memohon izin Bu Nyai Shinta dan Mbak Yenny untuk berkenan geser. Agar mendapat tempat foto terbaik. Duduk bersebelahan dengan Gus Dur. Lalu, Mawardi cepat-cepat meminta saya untuk memotretnya.

Batin saya, Mawardi ini terasa ’’kurang ajar’’. Namun, pasti tidak ada niat buruk. Perilaku itu sebagai wujud cintanya kepada Gus Dur. ‘’Mohon maaf Gus, izin memegang tangan Gus Dur,’’ ungkap Mawardi, kemudian tangannya memagang tangan Gus Dur.

Dalam hati, saya merasa sedikit gerundel. Saya pun memilih memotretnya dengan tidak menampakkan tangannya. Setelah saya memotretnya, giliran saya yang meminta foto dengan Gus Dur. Mawardi yang memotretnya. Gantian. ‘’Ngapunten Gus, saya juga ingin berfoto,’’ kata saya. Gus Dur pun menuruti.

Setelah keinginan bisa berfoto dengan Gus Dur terkabul, kami pun berpamitan. Gus Dur pun tampak tersenyum. Pun begitu dengan para kiai khos. Mungkin di pikiran beliau-beliau, ada-ada saja. Sayangnya, mengapa kami tidak bersalaman dangan para kiai khos itu saat berpamitan? Untuk ngalap keberkahan mereka. Namun, boleh jadi karena seperti mimpi, kami pun cepat permisi.

Tentu, foto di zaman itu tidak secanggih sekarang. Masih analog. Belum digital. Mesti diafdruk dulu. Kami pun menjaga betul agar foto itu tidak kobong. Begitu pentingnya momen, setting, dan latarnya.

Sepulang dari Muktamar, saya pun cepat-cepat mencetaknya. Alhamdulillah, foto itu jadi dan bagus sekali. Hanya, sahabat Mawardi agak sedikit dongkol pada saya. Sebab, tangannya saat menggandeng tangan Gus Dur, tidak tampak utuh dalam foto tersebut.

Kelak, entah kebetulan atau tidak, tak lama setelah itu karir Mawardi terbilang moncer. Ia hijrah dari dunia jurnalistik ke panggung politik. Lalu, terpilih menjadi anggota DPRD Jatim dari PKB, kemudian jalan tiga periode menjadi Senator atau anggota DPD RI. Mungkin ada buah keberkahan. Sungguh mengenang cerita foto itu, kami selalu tersenyum.

Namun, kami juga kerap berupaya menafsir pernyataan Gus Dur. ‘’Ojo jaluk duwek’’ itu. Tiba-tiba air mata menetes,

***

Mengagumi seorang tokoh adalah langkah awal yang baik untuk mendalami nilai-nilai luhur dan wawasan yang diwariskan. Demikian juga kepada Gus Dur. Dan, menulis menjadi bagian dari refleksi, sebagai salah satu kekangenan kepadanya. Tentu tulisan itu mungkin tidak begitu bernilai. Masih banyak yang lebih penting dan berisi. Sebab, kami hanya sekumpulan pengagum kelas tribun.

Yang ingin kami sampaikan sebatas  kekangenan pada Gus Dur. Terlebih di tengah kondisi dunia global yang sedang tidak baik-baik saja. Termasuk Ibu Pertiwi kini.

Saya pun membuka kembali lembar-lembar catatan Gus Dur. Juga sebagai bagian refleksi. Di antara tulisan Gus Dur yang begitu berserak, saya menemukan ini dalam buku berjudul: Menapaki Sejarah Perjalanan Bangsa: Catatan 80 Tokoh. Judul tulisan Gus Dur adalah Kita Harus Jujur dan Terbuka. Berikut tulisannya:

Sebenarnya bangsa ini memiliki perasaan sebagai bangsa yang kuat sekali. Jadi untuk masalah nasionalisme bangsa ini, tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah apa yang hendak kita perbuat untuk bangsa ini. Sebab, saat ini ada dua faktor yang sama sekali tidak nampak pada bangsa ini, yaitu kejujuran dan keterbukaan.

Masyarakat sendiri juga yang salah, sebab mereka menyerahkan begitu saja permasalahan bangsa ini pada birokrat. Kita merasa bahwa pemerintah itu sudah paling tahu. Kita menyimpang dengan yang dinyatakan oleh ahli perang Prusia, von Clausewitz bahwa perang terlalu penting untuk diserahkan pada seorang jenderal saja. Kita juga seperti itu, pembangunan terlalu penting untuk dilakukan oleh para birokrat saja. Seharusnya pembangunan itu dipimpin sendiri oleh masyarakat, melalui pembahasan-pembahasan, diskusi dan sebagainya, lalu diputuskan model orientasinya seperti apa. Jangan seperti sekarang, pembangunan hanya menghasilkan bagi kalangan sarjana saja. Bagi kalangan bawah tidak sama sekali. Akhirnya muncul jembatan kesenjangan dan kemiskinan.

Hal ini terlihat juga di dunia pendidikan. Pendidikan itu intinya adalah percontohan Mestinya, guru itu digugu lan ditiru (dipercaya dan ditiru) bukan wagu tur saru (tidak pantas dan norak). Untuk itu, ganti saja sistemnya semua, dan pemerintah yang harus melakukannya. Pemerintah itu kekuatannya sangat besar. Jadi merekalah yang memiliki wewenang untuk itu.

Dulu ada novel Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung. Salah satu novel terbaik yang pernah ada dalam bahasa Indonesia. Novel ini berkisah tentang seorang guru yang korupsi Dia mengkorupsi kapur, buku tulis, Lantas, bagaimana mau memberantas korupsi, kalau gurunya saja ngajarin korupsi. Jadi, korupsi itu terstruktur, termasuk di dunia pendidikan

Masalah Ekonomi

Sebenarnya kita juga tidak memiliki kerangka ekonomi yang jelas demi rakyat Indonesia. Yang ada hanyalah ketundukan pada IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia. Kita ini, oleh pihak luar didikte melalui globalisasi yang disetir oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kita lupa pada teman kita China dan India.

Ambil contoh Jepang, di Jepang itu ada daerah bernama Kanzai, meliputi Osaka, Yokohama dan Kyoto. Penanaman modal disana kecil-kecil, antara 20-30-dolar saja. Tapi kalau ditotalkan jumlahnya, jumlah investasi yang kecil-kecil itu bisa mencapai 50 juta dolar. Tapi, disini tidak ada semacam itu. Sebab ini membutuhkan kepercayaan, dan kita tidak mendapatkan kepercayaan dari dunia luar.

Yang harus kita lakukan adalah keberanian, terbuka dan jujur. Kita bisa menjalin hubungan luar negeri dengan negara manapun, tapi kepentingan kita itu nomer satu. Sekarang ini, barang kita kalau diekspor dibeli dengan murah sekali. Tapi, kalau kita beli di negara maju, harganya menjadi mahal sekali. Hutang luar negeri kita sangat besar, sampai ratusan miliar dolar. Anehnya, kita masih bangga. Malah dengan adanya penundaan pembayaran utang luar negeri saja, kita bangga.

Kesejahteraan bangsa Indonesia selama 100 tahun kebangkitan ini kalau dilihat baik sih baik. Kalau kita lihat ada kemajuan, rakyat tidak bodoh seperti 100 tahun lalu. Tapi, tercapai tidaknya arah pembangunan nasional ini ternyata tidak. Pembangunan kita itu elitis, hanya untuk penetingan orang-orang kaya saja. Saya tidak anti orang kaya, tapi kenyataannya seperti itu. Saya khawatir, kalau itu memuncak, semua bisa terjadi revolusi sosial.

Mari kita perbaiki Indonesia ini secara betul, jangan sampai tambah keliru. Mari kita berdialog bersama-sama sebagai bangsa mengenai hal-hal yang menyimpang tadi. Mari kita clear-kan birokrasi itu.

***

Rasanya betul kata Gus Dur. Pentingnya transparansi, kejujuran, dan etika dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam menjalankan negara. Ketika jujur dan terbuka, maka kepercayaan akan terbangun. Pada akhirnya akan membawa kebemanfaatan.

Sebaliknya, jika etika dikesampingkan, kebohongan-kebohongan dikedepankan, praktik di lorong-lorong gelap menjadi kebiasaan, maka tunggulah saatnya. Wallahu A’lam…(*)

*) M. SHOLAHUDDIN, penulis tinggal di Kabupaten Gresik Jatim

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News



No More Posts Available.

No more pages to load.