Mengungkap Sisi Psikologis di Balik Tindak Sadis Mutilasi

oleh -1167 Dilihat
MUTILASI ILUSTRASI

KabarBaik.co- Kejahatan mutilasi selalu mengguncang publik. Setiap kali kasus ini muncul di media, masyarakat bukan hanya merasa ngeri, tetapi juga dipenuhi tanda tanya. Bagaimana mungkin seseorang sanggup membunuh lalu memotong-motong tubuh manusia?

Pertanyaan tersebut bukan hanya milik orang awam. Para peneliti psikologi forensik dan kriminologi pun telah lama mencoba mencari jawabannya melalui berbagai studi, dan hasilnya memberi gambaran bahwa di balik tindakan sadis itu ada pola-pola psikologis tertentu.

Salah satu temuan yang cukup konsisten adalah kaitan erat antara mutilasi dan sadisme seksual. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of Forensic Sciences menyebutkan bahwa mutilasi tubuh, mutilasi genital, hingga tindakan memasukkan benda asing ke tubuh korban sering kali menjadi tanda adanya sadisme seksual dalam bentuk paling ekstrem (Mokros et al., 2014).

Dalam kasus semacam itu, pelaku bukan hanya ingin mengakhiri hidup korban, melainkan benar-benar mendapatkan kepuasan dari penderitaan yang ditimbulkan. Kepuasan itu bisa berupa rasa kuasa, kendali, bahkan kenikmatan. Hal inilah yang membedakan mereka dari pelaku pembunuhan biasa yang didorong oleh motif uang, dendam, atau konflik sesaat.

Namun mutilasi tidak selalu terjadi karena dorongan sadisme. Dalam literatur klasik, Ressler, Burgess, dan Douglas (1988) menjelaskan bahwa mutilasi juga kerap dilakukan untuk menyembunyikan identitas korban, menghilangkan bukti, atau sebagai simbol untuk menyampaikan pesan tertentu.

Dengan kata lain, meskipun tindakannya sama-sama brutal, motif di baliknya bisa sangat berbeda. Ada kasus di mana mutilasi dilakukan setelah korban meninggal tanpa penyiksaan, dan itu menunjukkan bahwa pelaku lebih terdorong oleh tujuan praktis ketimbang dorongan seksual sadis.

Penelitian lain menyoroti sisi kepribadian pelaku. Piel dan rekan (2018) menemukan bahwa dibandingkan dengan pembunuh biasa, pelaku mutilasi jauh lebih sering memiliki riwayat rawat psikiatri, gangguan kepribadian, serta skor tinggi pada Psychopathy Checklist—Revised. Individu dengan tingkat psikopati tinggi ditandai dengan kurangnya empati, sifat dingin, dan kecenderungan memperlakukan orang lain sebagai objek semata. Dalam konteks mutilasi, sifat-sifat ini membuat korban benar-benar dipandang bukan sebagai manusia, melainkan benda yang bisa diperlakukan sesuka hati.

Faktor masa kecil juga memainkan peran penting. Harbort dan Mokros (2001) menemukan bahwa banyak pelaku pembunuhan berantai yang melakukan mutilasi memiliki riwayat pelecehan di masa kanak-kanak, baik pelecehan fisik maupun seksual. Luka psikologis yang diderita sejak kecil diyakini berkontribusi pada perkembangan pola relasi yang menyimpang.

Anak yang terbiasa hidup dalam kekerasan cenderung memandang rasa sakit sebagai hal normal dalam hubungan antarmanusia. Sebagian dari mereka kemudian mengekspresikan luka batin itu secara ekstrem ketika dewasa, termasuk melalui kekerasan sadis.

Ada pula sebagian kecil pelaku yang menderita gangguan psikotik. Chan, Heide, dan Beauregard (2016) mencatat adanya kasus mutilasi yang dilakukan oleh penderita skizofrenia akibat halusinasi atau waham. Dalam kondisi tersebut, pelaku benar-benar percaya bahwa tindakannya diperintahkan oleh suara atau kekuatan tertentu.

Meski begitu, penting dicatat bahwa mayoritas pelaku mutilasi tidak mengalami psikotik. Banyak dari mereka bahkan tampak berfungsi normal dalam kehidupan sehari-hari, bekerja, berinteraksi, bahkan berkeluarga, tetapi menyimpan kepribadian berbahaya di balik penampilan itu.

Memahami faktor psikologis di balik mutilasi menjadi penting bukan untuk membenarkan tindakan, melainkan agar masyarakat lebih waspada dan aparat penegak hukum lebih terarah dalam penyelidikan. Tanpa pemahaman yang tepat, kasus mutilasi hanya akan dipandang sebagai kejahatan aneh tanpa sebab, padahal di baliknya ada pola-pola psikologis yang bisa dideteksi. Pengetahuan ini juga berguna untuk pencegahan, misalnya dengan mendeteksi perilaku berisiko sejak dini, seperti penyiksaan hewan atau fantasi kekerasan sadis yang terus-menerus muncul.

Selain deteksi dini, peran keluarga tidak kalah penting. Anak yang tumbuh dalam pola asuh penuh kasih memiliki risiko lebih kecil untuk berkembang menjadi pelaku kekerasan ekstrem. Dukungan emosional dan pendidikan empati di sekolah pun terbukti dapat membantu. Di sisi lain, akses terhadap layanan kesehatan mental harus diperluas dan stigma perlu dikurangi. Banyak orang dengan masalah psikologis berat enggan mencari pertolongan karena takut dicap negatif, padahal intervensi seperti konseling, terapi trauma, atau perawatan psikiatri dapat mencegah terjadinya kekerasan.

Akhirnya, kolaborasi antara aparat hukum dan psikolog forensik sangat diperlukan. Analisis psikologis membantu memahami motif, memetakan pola kejahatan, serta mencegah kasus berulang. Seperti yang pernah ditekankan Ressler dan tim FBI, pemetaan psikologi pelaku bukan hanya soal ilmu, tetapi juga upaya menyelamatkan nyawa di masa depan.

Mutilasi adalah bentuk kejahatan yang paling sulit dipahami karena menembus batas kemanusiaan. Namun penelitian memperlihatkan bahwa tindakan ini bukan terjadi tanpa sebab. Ada kombinasi sadisme, psikopati, trauma masa kecil, hingga gangguan mental yang membuat sebagian orang melangkah ke wilayah kelam ini. Dengan memahami akar persoalannya, masyarakat bisa lebih peduli, lebih waspada, dan lebih siap mencegah kekerasan ekstrem sejak awal. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Editor: Supardi


No More Posts Available.

No more pages to load.