KabarBaik.co – Usai heboh pagar laut di Jakarta yang kemudian ternyata juga muncul Sertifikat Hak Guna Bangunan, kini keberadaan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 437,5 hektare juga muncul di Sidoarjo sehingga memicu polemik di masyarakat. Lahan berstatus HGB ini ditemukan berada bukan di daratan melainkan di perairan laut sisi timur Kabupaten Sidoarjo. Hal ini memunculkan dugaan adanya pelanggaran tata ruang dan aturan hukum yang berlaku.
Temuan ini pertama kali diungkap oleh Thanthowy Syamsuddin, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya. Ia mengaku menemukan data tersebut melalui aplikasi Bhumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Saya cek melalui aplikasi Bhumi dan Google Earth. Hasilnya, lahan yang tercatat sebagai HGB ini faktanya berada di atas laut, dekat dengan tambak dan mangrove,” ujar Thanthowy, Selasa (21/1).
Thanthowy menjelaskan bahwa keberadaan HGB di wilayah perairan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, yang melarang pemanfaatan ruang laut untuk kepentingan tertentu. Selain itu, temuan ini juga melanggar Perda Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang menetapkan kawasan tersebut sebagai zona perikanan dan konservasi.
“Ini harus segera diklarifikasi oleh pemerintah. Kenapa bisa ada pemanfaatan ruang di atas laut yang jelas bertentangan dengan peraturan?” tegasnya.
Sorotan juga datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur. Ketua Walhi Jatim, Wahyu Eka Setiawan, menduga adanya kaitan antara HGB ini dengan proyek reklamasi tersembunyi, khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL).
“Proyek ini sejak awal minim transparansi. Munculnya HGB di kawasan perairan ini menjadi indikasi kuat bahwa reklamasi mungkin sedang dipersiapkan,” ungkapnya.
Walhi mengkhawatirkan dampak lingkungan dari proyek reklamasi tersebut, terutama terhadap ekosistem mangrove di wilayah Kenjeran dan Wonorejo. Mangrove berfungsi sebagai pencegah abrasi, habitat biota laut, dan penyerap karbon, yang semuanya terancam jika reklamasi dilakukan.
“Penambahan daratan di laut akan mengubah arus air dan meningkatkan risiko erosi di wilayah pesisir lainnya. Ini sangat merugikan, terutama bagi nelayan yang bergantung pada ekosistem pesisir,” tambahnya.
Thanthowy dan Walhi mendesak pemerintah segera memberikan klarifikasi terkait status HGB ini, termasuk mengungkap siapa pemiliknya. Mereka juga meminta sinkronisasi data antara ATR/BPN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mencegah tumpang tindih pemanfaatan ruang.
“Transparansi sangat penting agar kasus serupa tidak terjadi lagi. Jangan sampai ada konflik kepentingan yang merugikan lingkungan dan masyarakat, terutama nelayan yang akan kehilangan akses melaut,” lanjutnya. (*)