Praktisi Hukum di Malang Tolak RUU Kejaksaan Karena Dinilai Perburuk Sistem Hukum

oleh -226 Dilihat
WhatsApp Image 2025 02 22 at 11.05.17
Praktisi hukum dan mahasiswa di Kota Malang berdiskusi menolak RUU Kejaksaan. (Foto: P. Priyono)

KabarBaik.co – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur menggelar diskusi dan deklarasi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan di salah satu hotel di Kota Malang. Acara yang digagas Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) itu dihadiri berbagai aktivis, praktisi hukum, dan mahasiswa.

Praktisi hukum, Firdaus, yang menjadi salah satu narasumber mengkritisi RUU Kejaksaan yang mengharukan izin Kejaksaan Agung sebelum memeriksa jaksa yang diduga melakukan tindak pidana. “Izin Kejaksaan Agung sebelum memeriksa jaksa adalah tindakan abuse of power dan berpotensi adanya intervensi antara lembaga negara dalam proses penegakan hukum di Indonesia,” tegas Firdaus.

Selain itu, Firdaus juga menyoroti pasal 28 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan. Menurutnya, hal ini menjadi persoalan serius karena penyidikan seharusnya merupakan kewenangan kepolisian.

kabarbaik lebaran

”Kejaksaan juga diberi wewenang untuk menghentikan penyidikan. Ini rancu, karena dua instansi diberikan kewenangan yang tumpang tindih. Dalam praktiknya hal ini justru akan menyulitkan penyelesaian perkara,” tegas Firdaus.

Menurut Firdaus, hal tersebut tidak boleh dilakukan di negara demokrasi. Setiap warga negara atau lembaga diposisikan setingkat. Apabila melakukan kasus tindak pidana harus segera diproses hukum, seperti halnya bila ada anggota kepolisian yang diduga melakukan korupsi maka langsung ditangkap dan diproses.

“Namun dalam RUU Kejaksaan, satu perkara yang ditangani polisi dan bisa diberhentikan oleh kejaksaan. Lalu, siapa yang bertanggung jawab? Ini tidak jelas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Firdaus, mestinya ide penambahan wewenang kejaksaan dalam materi RUU Kejaksaan dipertimbangkan lagi. Kejaksaan lebih banyak refleksi dan pengevaluasi kasus-kasus transaksi perkara yang menghebohkan masyarakat Indonesia. Dia menilai aturan ini semakin memperjelas tumpang tindih kewenangan dan dapat memperburuk sistem hukum.

“Sebuah pekerjaan yang semakin dilebarkan justru membuatnya semakin tidak jelas dan lepas dari tanggung jawab. Seharusnya bukan memperlebar kewenangan institusi, melainkan memperkuat pengawasan,” tutur Firdaus.

Sebagai solusi, Firdaus menekankan perlunya perbaikan yang lebih substansial. “Bukan soal kewenangan kelembagaan yang diperluas, melainkan memasukkan Komisi Pengawasan Kejaksaan. Itu yang seharusnya diatur, bukan malah menambah tumpang tindih kewenangan,” paparnya.

Menurut Firdaus, prinsip perumusan undang-undang harusnya dapat menjamin adanya kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Namun, dalam RUU Kejaksaan ini malah tidak mencerminkan prinsip-prinsip dasar itu. ”Malah akan menciptakan ketidakproporsional kewenangan dari lembaga negara,” kata Firdaus.

Supriyadi dari Unmer Malang menambahkan, perubahan dalam sistem hukum harus didasarkan pada efektivitas dan kepastian hukum. Bukan justru menimbulkan kebingungan baru. “Jika sistem ini tetap dipaksakan, dikhawatirkan akan semakin menambah ketidakpastian dalam proses penegakan hukum,” tegasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Penulis: P. Priyono
Editor: Hairul Faisal


No More Posts Available.

No more pages to load.