KabarBaik.co- Sejak 1 Januari 2025, izin ekspor konstrentrat tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) terhenti. Perusahaan asal Amerika Serikat itupun terus berupaya melobi Pemerintah RI untuk kembali mendapatkan relaksasi (kelonggaran) perpanjangan izin.
Dalih utama permintaan itu tidak lain insiden kebakaran di Smelter Gresik pada Oktober 2024 lalu. Yang sejatinya, smelter itu baru selesai dibangun dan telah diresmikan oleh Presiden RI ke-7 Joko Widodo sebulan sebelumnya atau September 2024.
Untuk membahas perpanjangan izin itu, pekan lalu (3/1/2025) Presiden Direktur PTFI Tony Wenas terpantau mendatangi Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Bos PTFI menghadap Airlangga Hartarto.
Dalam kesempatan itu, Tony Wenas kepada awak media menyatakan bahwa saat ini fasilitas smelter baru (Gresik) masih sepenuhnya berhenti beroperasi karena sedang dalam perbaikan. ’’Kalau sedang diperbaiki, tidak mungkin produksi karena itu harus menangkap SO2 (sulfur dioksida),” jelasnya.
Meski operasional smelter baru di Gresik berhenti, operasional tambang Freeport dilaporkan tetap berjalan penuh. Soal keberlanjutan ekspor konsentrat tembaga, dia mengaku masih dalam pembahasan dengan pemerintah. ’’Ya, ini sedang dibahas. Kalau batasannya kapan itu tergantung pemerintah,” ujar Tony.
Seperti diketahui, Pemerintah RI telah beberapa kali memberikan kelonggaran izin ekspor konsentrat tembaga itu kepada PTFI. Pemberian izin kali terakhir sebanarnya sudah habis pada 31 Desember 2024.
Di pihak lain, perusahaan tambang di luar PTFI, sudah tidak lagi mendapatkan kelonggaran izin untuk mengekspor konsentrat itu seperti usaha tambang nikel.
Nah, apakah pemerintah akan kembali ‘’mengalah’’ dengan memperpanjang izin itu? Inilah yang tengah ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. Pasalnya, hal itu menjadi satu bukti keseriusan atau komitmen Pemerintah RI dalam mewujudkan program hilirisasi. Yakni, mengolah kekayaan sumber daya alam Indonesia di dalam negeri sendiri. Dengan begitu akan memberikan nilai tambah dan memberi manfaat jauh lebih besar daripada langsung diekspor dalam bahan mentah.
Jika sumber daya alam berupa minerba itu langsung diekspor, jelas yang paling banyak menangguk untung besar adalah perusahaan bersangkutan. Adapun Pemerintah RI ’’hanya’’ mendapatkan bagian kecil dari aktivitas ekspor bersangkutan. Dan, dalam hal ini PTFI sudah setengah abad melakukan aktivitas penambangan di tanah air.
Berdasarkan catatan, wacana hilirisasi sudah muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY). Kewajiban hilirisasi diatur dalam Undang-Undang (UU) tentang Minerba. Awalnya, UU Nomor 4 Tahun 2009 menargetkan penghentian ekspor bahan mentah, termasuk konsentrat tembaga, pada 2014. Namun, karena berbagai kendala, terutama terkait pembangunan smelter, rencana hilirisasi itu terus molor.
Karena rencana hilirasasi terus molor, UU tentang Minerba itupun beberapa kali harus mengalami revisi. Revisi paling signifikan adalah dengan diterbitkannya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Perubahan terakhir melalui Perppu Cipta Kerja, yakni UU Nomor 6 Tahun 2023.
Saat Ptesiden Joko Widodo memimpin, narasi hilirisasi itupun begitu kerap kali didengung-dengungkan. Pun begitu dengan saat transisi kepemimpinan ke Presiden Prabowo Subianto. Bahkan, hilirisasi menjadi salah satu program prioritas yang masuk dalam Asta Cita. Dalam beberapa kali pidatonya sebelum menjadi Presiden, Prabowo juga kerap menyampaikan bahwa kekayaan alam Indonesia jangan sampai dikuasai atau dinikmati asing.
Tarik-ulur dan ketegangan antara Pemerintah RI dengan PTFI terkait pengelolaan tambang dari Bumi Papua itu sudah beberapa kali terjadi. Di antaranya pada 2017. Bahkan, menjadi laporan khusus Parlementaria, media internal DPR RI. Di media edisi 147 Tahun XLVII Tahun 2017 memberikan judul besar: Freeport Harus Patuhi Undang-Undang. Di media ini juga diungkap banyak hal. Termasuk jumlah pendapatan yang diraup PTFI dan didapat Pemerintah RI. Jika dicermati, perbandingan hasil yang didapat terbilang jauh sangat timpang.
Kini, bola di tangan Presiden Prabowo Subianto. Dalam konferensi persnya di Jakarta pada 3 Desember 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan persoalan PTFI masih akan disampaikan kepada Presiden Prabowo. “Kami akan bawa dalam rapat dengan Bapak Presiden. Kami lagi ada kaji karena memang Freeport ini kan smelternya itu sudah jadi, tapi kemudian kan musibah, ada pabrik asam sulfatnya itu yang terbakar,” katanya.
Dia juga mengaku sudah rapat dengan PTFI. Awalnya, mereka menargetkan perbaikan smelter asam sulfat yang terbakar itu bisa rampung pada Agustus 2025. Tapi, pihaknua meminta target perbaikan dapat dipercepat. PTFI harus bisa menyelesaikannya pada Mei-Juni 2024. Sebenarnya, dia menyebut bahwa smelter PTFI yang terbakar hanya 5-6 persen dari total komponen keseluruhan.
’’Jadi, mungkin ini yang akan kita bahas dengan Bapak Presiden, dari sekarang sampai dengan Juni ini perlakuannya seperti apa (pada Freeport, Red),” kata Bahlil.
Yang jelas, lanjut dia, keputusan akan diambil dalam rapat bersama Presiden Prabowo. Keputusan itu juga bakal melibatkan sejumlah menteri teknis, seperti Menko Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, enteri Perdagangan, sampai Menteri Perindustrian.
Sebelumnya, di masa jelang izin ekspor konstrentat tembaga PTFI berakhir pada 31 Desember 2024, Bahlil juga sempat memberikan pernyataan tegas. ’’Freeport ini kan lagu lama sebenarnya. Dari saya masih mahasiswa, sampai menjadi Menteri ESDM, tema Freeport ini begitu terus. Aku udah banyak belajar sama Freeport. Masa dari S1 sampai jadi Menteri ESDM, belum hafal lagu Freeport.” Demikian salah satu kutipan Bahlil dalam sebuah wawancara dengan awak media. pada 18 Desember 2024.
Nah, apakah bakal ada perubahan atau kejutan besar di era Presiden Prabowo? Atau sama saja, kembali ”melunak” dengan dalih apa lagi? Kita tunggu bersama. (*)