Sahabat di Tanah Suci: Seutas Tali Penenun Makna

oleh -614 Dilihat
RAMELAN
H Ramelan saat wawancara dengan Surya Dharma Ali, menteri agama tahun 2013.

DI ANTARA jutaan langkah kaki yang berpijak di bumi Tanah Suci, di antara gemuruh doa yang mengalun menuju langit, dan di antara peluh yang menetes karena rindu akan ampunan Ilahi, selalu ada sosok sahabat. Ia bisa menjelma seperti oase di tengah gurun yang gersang. Menghadirkan keteduhan, menghapus lelah, dan membalut hati dengan kehangatan yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata.

Dalam perjalanan agung bernama haji, sahabat bukan sekadar teman seperjalanan. Ia adalah pelengkap ruhani yang menjadikan ibadah terasa lebih ringan, lebih indah, dan lebih bermakna.

Baca juga: Panggilan Langit

Haji bukan sekadar serangkaian ritual fisik. Tapi, pengembaraan jiwa menuju titik nol manusia. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]:197: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…”

Pesan yang pasti menjadi materi wajib bagi setiap jemaah. Tiga hal pokok, tapi kerap lupa. Ayat ini bukan hanya larangan terhadap hal-hal yang merusak ibadah, tapi juga penekanan pentingnya menjaga akhlak, suasana hati, dan harmoni selama beribadah.

Di sinilah, kehadiran seorang sahabat menjadi penting. Ia menjadi penawar ketika emosi membuncah, pengingat kala lalai, dan menjadi penopang saat fisik melemah.

Pun demikian ketika saya bertugas sebagai Media Center Haji (MCH) tahun 2013. Meski dari beragam latar dan asal, kami bersahabat. Sudah menjadi seperti keluarga. Di antara mereka itu ada nama Ramelan, seorang jurnalis sernior dari Radio Elshinta. Ia kelahiran Magetan, namun telah lama menetap di Jakarta. Kami tinggal sekamar. Sama-sama bertugas di Daerah Kerja (Daker) Makkah. Satu kamar enam orang. Semua awak media.

Baca juga: Gurun, Gelap, dan Malaikat Tambal Ban

Dalam kesederhanaan kamar yang kami tinggali, terbangunlah sebuah ruang batin yang penuh keakraban. Di sanalah kami bertukar cerita, berbagi keluh kesah, dan seringkali terbahak oleh guyonan ringan.

Sahabat tak hanya hadir dalam derai tawa, tapi juga terkadang mengusik hening dini hari. Meski suaranya mengurung lelap tidur seperti lebah, namun kami tak pernah marah. Sebab, aku tahu, itu bagian dari tugasnya. Sebagaimana aku pun memiliki tanggung jawab yang sama.

Dalam filosofi Jawa, sahabat adalah kanca wingking. Teman yang berjalan di belakang, mendorong dan menopang, bukan sekadar menemani.

Persahabatan di Tanah Suci seperti dua potong kain ihram. Sederhana, putih, tanpa jahitan, tapi menyatukan dua tubuh dalam tujuan yang sama. Mencari ridha-Nya. Ia seperti burung yang terbang beriringan, menjaga arah dan ritme agar tak terpisah oleh badai. Dalam padang Arafah yang luas, dalam desak-desakan tawaf, hingga ke tengah tenda Mina, sahabat menjadi tali tak kasat mata yang menyambungkan ruh dengan semesta.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kala di Arafah, angin berembus seperti bisikan dari langit yang membawa nama-nama yang dilafalkan dengan gemetar. Aku dan Ramelan serta sahabat lain dari MCH, saling duduk bersisian di bawah tenda yang terbuat dari terpal tipis, namun hangat oleh kebersamaan dan pengharapan. Hari itu, hari wukuf, kami tidak banyak bicara. Karena kata-kata kadang terlalu dangkal untuk menampung kedalaman perasaan.

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Tapi di sela keheningan, ia membuka suara. “Tahukah kau,” katanya pelan, “Arafah ini seperti halaman kosong dalam hidup kita. Tempat di mana kita boleh menulis ulang tanpa dicela, tempat di mana air mata menjadi tinta suci untuk surat pengampunan.”

Mataku memejam. Dalam dadaku, ada nama-nama yang tak sempat kupeluk cukup lama. Anak-anakku yang hanya kutatap lewat layar ponsel, istriku yang menanggung rindu tanpa pernah benar-benar berkata. Dan rasa bersalah itu, seperti batu besar di punggung. Di Arafah, aku belajar bahwa pengampunan bukan hanya tentang Tuhan yang Maha Memaafkan, tapi tentang keberanian memaafkan diri sendiri.

Di Muzdalifah, malam jatuh seperti selimut pekat yang merangkul bumi. Ribuan jiwa tidur berserakan di tanah terbuka. Hanya beralaskan sajadah dan langit. Aku, Ramelan, dan sahabat lain pun ikut terduduk, mata menatap bintang, hati merenungi kerikil-kerikil kecil yang kami kumpulkan.

Ramelan menoleh ke arahku. Tertawa kecil saat aku memilih kerikil terlalu besar. “Yang kecil saja. Setan itu tak perlu ditumbangkan dengan batu besar. Cukup dengan niat yang jujur dan istiqamah yang teguh.”

Kerikil-kerikil itu bukan sekadar batu. Mereka adalah simbol dari setiap bisikan iri, setiap rayuan ego, setiap dendam yang menggerogoti diam-diam. Saat mengumpulkannya, aku seperti mengumpulkan serpih-serpih gelap dari dalam diriku sendiri, untuk kemudian kulempar. Bukan ke setan di luar sana, tapi ke setan dalam diri.

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

Di dalam kendaraan, saat menuju Mina, kelelahan menebal. Tapi kami kerap tersenyum paling lepas. Di balik wajah-wajah yang lelah, ada kegembiraan aneh, seperti anak-anak yang baru saja berhasil menyelesaikan tugas besar dari sekolah kehidupan.

Kami bercanda tentang sandal tertukar atau sepatu hilang yang konon punya “nyawa sendiri”. Cerita tentang Jemaah tersesat jalan dan sejenisnya. Kami tertawa, bukan karena lucu, tapi karena tawa adalah bentuk syukur yang tak bisa dijelaskan.

Di antara gurau itu, ia sempat menepuk bahuku dan berkata, “Kau tahu, sahabat yang baik bukan yang selalu serius. Tapi yang bisa membuatmu tertawa saat semua terasa berat, dan menangis bersamamu saat kau lupa cara menangis.”

Setelah menyelesaikan semua rukun haji, kami menuju Madinah. Di kota Nabi ini, suasana berubah. Damai dan teduh menyelimuti. Kami duduk di Raudhah bersama, bergiliran berdoa. Ramelan tak banyak bicara, tapi setelah keluar dari Masjid Nabawi, ia berkata, “Andai semua orang tahu betapa indahnya beribadah bersama sahabat.”

Dalam tasawuf, sahabat disebut sebagai rafiq ilallah, teman menuju Allah. Ia tidak harus selalu sempurna, tapi selalu mengingatkan arah. Imam Al-Ghazali berkata, “Teman sejati adalah cermin yang menunjukkan aib kita, bukan menutupinya.”

Sahabat yang baik selama haji adalah mereka yang tidak hanya menyemangati, tapi juga menasihati. Mereka hadir bukan karena dunia, tapi karena cinta yang dititipkan Allah.

Psikologi Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Ketika seseorang berada dalam tekanan spiritual dan fisik seperti dalam ibadah haji, kehadiran sahabat berperan besar dalam menjaga stabilitas emosional.

Studi menunjukkan bahwa dukungan emosional dari teman dekat mengurangi risiko stres dan kelelahan. Dalam konteks haji, di mana tantangan cuaca, fisik, dan emosi bertumpuk, peran sahabat bahkan bisa menjadi penentu kualitas ibadah seseorang.

Baca juga: Menyusuri Jejak Sunyi di Langit Hira

Setelah semua ritual usai, lembar paspor ditutup, dan tanah air kembali dipijak, tidak semua hubungan bertahan. Tapi ada yang abadi. Hubungan yang dibangun dengan semen kesadaran.

Hari-hari haji terus berlalu seperti lembaran-lembaran kitab yang dibalik satu per satu. Di setiap lembar itu, aku menemukan bagian diriku yang lama hilang, dan menemukan Ramelan, salah seorang sahabat yang seperti cermin. Tidak selalu memuji pantulan, tapi mengingatkan kotoran yang tertinggal di sudut wajah.

Saat kami kembali ke tanah air, aku tidak hanya membawa sertifikat. Aku membawa sesuatu yang lebih abadi. Persahabatan yang ditulis dengan doa, disahkan oleh peluh, dan dimeteraikan oleh air mata.

Haji memang mengajarkan banyak hal. Keikhlasan, kesabaran, kerendahan hati. Tapi, yakinlah salah satu pelajaran terindah adalah bahwa Allah tidak membiarkan hamba-Nya berjalan sendiri. Ia selalu titipkan sahabat atau suadara di setiap sudut. Kadang berupa senyuman, kadang berupa bahu untuk bersandar.

Dan, begitulah haji menyempurnakan. Bukan hanya rukun Islam yang terakhir, tapi juga tali kasih antarmanusia yang dikuatkan karena cinta pada-Nya. (*/bersambung)

Baca juga: Ziarah Rindu

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin
Editor: Hardy


No More Posts Available.

No more pages to load.