Waspada Banjir Informasi di Media Instan, Perlu Kolaborasi dan Konsistensi Mengedukasi Masyarakat

oleh -736 Dilihat
DIALOG KHUSUS scaled
Dialog Khusus di Studion TV9 Nusantara, Jumat malam (31/1).

KabarBaik.co- Kalangan jurnalis dari sejumlah media mainstream serta relawan antihoaks Jatim mendorong pentingnya kolaborasi untuk menyikapi tantangan era digital kini dan ke depan. Yakni, perlu konsistensi  mengedukasi masyarakat dalam hal literasi digital. Selain itu, tata kelola regulasi untuk mengatur “media instan” yang kian membanjiri beranda publik.

Persoalan tersebut menjadi “kata kunci” dan bahasan menarik sejumlah narasumber dalam Dialog Khusus bertajuk “Pers Indonesia dan Tantangan Jurnalisme Digital”, dalam rangka memperingati Hari Lahir (Harlah) Ke-15 TV9 Nusantara di Kantor TV9 Surabaya, Jumat (31/1) malam. TV9 Nusantara lahir di Surabaya pada 31 Januari 2010.

Hadir menjadi narasumber dalam Dialog Khusus itu, Ahmad Wiliyanto (ketua IJTI Jatim dari RCTI), Tomy Gutomo (Dirut Harian Disway), Gus Yusuf Adnan (Direktur NU Online Jatim), Dheni Ines Tan (Mafindo Jatim), dan Edy M Yakub (Penulis Buku Kesalehan Digital dari LKBN ANTARA Jatim).

“Awalnya, munculnya platform digital menimbulkan kegelisahan kalangan pers karena masyarakat mulai melirik media digital sebagai sarana informasi, sehingga terjadi pergeseran dari media ke gadget, atau ada pemirsa TV yang hilang,” kata Ketua IJTI Jatim Ahmad Wiliyanto.

Jurnalis senior televisi itu menjelaskan, kegelisahan itu muncul akibat dampak era digital dari sisi bisnis. Kondisi itupun memaksa media elektronik untuk turut melebur dalam dunia media digital sosial. Baik secara teknis maupun konten.

“Itulah yang disebut konvergensi media,’’ papar Willy dalam perbincangan yang dipandu host TV9, Ely Prabowo.

.Secara teknis, lanjut dia, TV pun harus menjadi platform TV di gadget atau HP. Kemudian, secara konten harus masuk ke jalur sebaran lewat YouTube, sekaligus memperhatikan informasi yang viral. Namun, produksi berita masih tetap melalui kaidah jurnalistik.

Hal yang sama juga dialami media cetak yang juga terjun ke media online. “Ya, sekarang memang terjadi banjir informasi, sehingga masyarakat tidak bisa membedakan media yang benar dan salah, mana berita dan mana informasi,” kata Dirut Harian Disway, Tomy Gutomo.

Namun, dalam 3-4 tahun terakhir ada kabar baik dengan banyaknya masyarakat yang mulai mencari informasi yang benar. Dengan demikian, media-media siber atau media online pun mulai berkembang, walaupun ada masalah dalam bisnis. Sebab, pengunduh atau pembaca media online umumnya gratis dan menghindari iklan. Apalagi ada kompetisi sebanyak 1.500 dari 17.000-an media online terverifikasi dewan pers. “Secara bisnis pun ada masalah, karena kue bisnis sekarang ada pada pemerintahan atau APBN/APBD serta algoritma Google,’’ ungkapnya,

Kondisi itu, menurut Tomy, memunculkan tantangan independensi bagi media pers. Nah, hal itu menjadi PR (pekerjaan rumah) dalam literasi untuk pemerintah dan Google. ’’Alhamdulilah, Google mulai berbenah dan minta kualitas serta mencegah plagiasi,” katanya.

Sementara itu, Direktur NU Online Jatim Gus Yusuf Adnan menyatakan, tantangan sama juga dihadapi media dengan publik yang segmented seperti NU Online. Tantangan terbesar era digital adalah literasi pemirsa, kecepatan delivery konten, dan gempuran algoritma dari Google sebagai platform digital yang “mengatur” narasi global.

“Untuk itu, kita tidak harus terus mengekor atau menjadi follower, namun melakukan siasat dan control atau kendali. Selain perlu kolaborasi dalam literasi untuk masyarakat, juga perlu ada regulasi media online dari kalangan eksekutif dan legislatif, sehingga ada penertiban media-media instan itu,” katanya.

Perlunya edukasi dan literasi digital untuk masyarakat serta regulasi untuk mengatur “media instan” itu pun didukung Dheni Ines Tan dari Mafindo Jatim. “Banjir informasi itu nggak bisa dihindari, kami ada di garda edukasi, mulai anak-anak hingga akademi digital lansia,” katanya.

Mafindo lahir pada 2016 untuk mengedukasi masyarakat dengan berbasis kerelawanan dan dukungan Komdigi/Google. “Saat ini, masyarakat sudah mulai teredukasi untuk membedah informasi melalui cek fakta, karena hoaks pun beragam. Tinggal, pemerintah membuat regulasi media online yang bersifat penertiban, bukan menunggu pelaporan saja,” katanya.

Soal pentingnya kolaborasi dalam literasi digital yang masif untuk menyikapi era digital juga menjadi catatan penting dari Edy M Yakub selaku penulis buku Kesalehan Digital. “Persoalan berat tapi penting adalah literasi digital, karena kemajuan teknologi digital masih bersifat kemajuan teknologi, bukan kemajuan manusia-nya,” katanya.

Jurnalis senior dari LKBN ANTARA Biro Jatim itu menambahkan ada dua persoalan di era digital yakni teknologi dan literasi, namun persoalan penting dan berat adalah literasi yang dalam “bahasa agama” bisa disebut Kesalehan Digital, karena penghuni dunia digital masih didominasi generasi non-digital, sehingga ada kegaduhan. Literasi itulah kesalehan digital. Sebab, faktor penting era digital adalah manusianya.

Menurut Edy, untuk dapat saleh secara digital perlu kembali pada tiga keunggulan media pers. Yakni, akurasi, etika, dan dokumentasi. Untuk akurasi. perlu sanad atau narasumber, untuk etika itu perlu matan aau konten berbasis kode etik seperti tidak sepihak atau mesti bermbang dan lainnya. ‘’Nah, untuk dokumentasi itu perlu rawi, rujukan, referensi yang kredibel atau legal,” katanya. (*)

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini



No More Posts Available.

No more pages to load.