Arafah: Cermin Mahsyar di Padang Waktu

oleh -538 Dilihat
WUKUF ARAFAH KEMENAG
ILUSTRASI: Wukuf di Padang Arafah (Foto Kemenag)

PERJALANAN spiritual menuju Arafah bukan sekadar perpindahan geografis. Dari Makkah ke padang tandus yang sunyi. Ia adalah perjalanan batin. Menembus batas ruang dan waktu. Membawa setiap jiwa ke hadapan cermin hakikat diri.

Sebagai bagian dari Media Center Haji (MCH) di tahun 2013, saya diberi kesempatan langka untuk menyaksikan dan merasakan langsung prosesi wukuf di Arafah, sebuah pengalaman yang menggetarkan jiwa dan menyentuh relung terdalam kesadaran.

Dulu, saat kecil, guru di madrasah kampung mengajarkan bahwa wukuf di Arafah adalah gambaran Padang Mahsyar, tempat seluruh manusia dikumpulkan untuk menanti pengadilan Allah SWT. Bayangan tentang padang yang luas, manusia berkumpul tanpa alas kaki dan pakaian, dalam keheningan yang menegangkan, tertanam kuat dalam benak. Saat berdiri di Arafah, saya menyadari bahwa bayangan itu bukan sekadar imajinasi, melainkan realitas spiritual yang menyentuh kalbu.

Karena itu, Rasulullah SAW bersabda, “Haji itu adalah wukuf di Arafah.” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini menegaskan bahwa inti dari ibadah haji terletak pada wukuf di Arafah. Tanpa wukuf, maka ibadah haji tidak sah. Ini menunjukkan betapa pentingnya momen ini dalam perjalanan spiritual seorang Muslim.

Baca juga: Panggilan Langit

Perjalanan sekitar 30 km dari Makkah ke Arafah diiringi lantunan talbiyah. Seolah tiada henti-henti. Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syarikalaka labbaik. Innalhamda wan ni’mata laka wal mulk, laa syarikalak.

Setiap lafaz talbiyah adalah deklarasi kepasrahan total kepada Allah SWT. Mulut melafazkan, hati menghayati, dan jiwa meresapi makna kehadiran di hadapan Sang Pencipta. Dalam iringan zikir itu, seakan jiwa terangkat dari belenggu duniawi, menuju samudra cahaya yang luas di mana segala ego luluh dan segalanya tunduk kepada satu: Laa ilaaha illallah.

Suhu Arafah siang itu menembus angka yang membuat pasir pun serasa ingin berteriak. Tapi dalam terik itulah, manusia diajak kembali kepada fitrah. Tanpa lapisan duniawi, tanpa kedudukan, tanpa gelar. Mau Presiden atau jenderal. Semuanya bersandar kepada satu hal: ketakwaan.

Di dalam tenda-tenda, suasana begitu khusyuk. Ada yang mengaji, ada yang berzikir, ada yang menangis diam-diam, ada pula yang menulis doa panjang untuk anak-anaknya, keluarganya atau titipan karib-karibnya. Demikian pula saya. Setelah itu, saya memilih keluar tenda. Berjalan dari tenda ke tenda jemaah. Setiap langkah terasa seperti mengarungi sungai batin yang berbeda. Suara tahlil dan doa-doa bersahutan, seperti simfoni ilahi yang mengalun dari berbagai penjuru. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda, semua larut dalam nuansa spiritual yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Baca juga: Jabal Rahmah: Ziarah Cinta di Tanah Rahmat

Dalam sebuah tenda kesehatan jemaah haji, saya menyaksikan bagaimana petugas medis berjuang menjaga kehidupan. Ambulans datang dan pergi, membawa mereka yang tergeletak. Kelelahan atau sakit. Beberapa tak tertolong. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Setiap kematian di Arafah adalah kemuliaan. Ia menutup hidup di tempat yang Allah janjikan penuh pengampunan. Dalam benak saya terngiang firman-Nya: “Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 199).

Langit Arafah menuju sore. Tak seperti biasanya. Cahaya lembut mengintip dari sela-sela tenda. Seolah langit pun ikut menyaksikan air mata yang mengalir dalam diam. Saya terus berjalan. Berkeliling. Tiba-tiba, di situlah saya bertemu sahabat lama saya. Nama yang sempat terlintas di batin saat di Arafah. Doktor Mohammad Thoha. Seorang tokoh yang pernah menjadi guru dan teman diskusi di Gresik, yang kini berdinas di Kemenag. Kami berpelukan, lama.

Dalam pelukan itu, tak perlu kata-kata. Kami tahu, ini bukan pertemuan biasa. Ini adalah takdir yang dirangkai Allah. Kami sama-sama duduk di tepi jalan. Menikmati udara, suasana, dan makna di luar tenda. Dan, di tengah lautan manusia itulah, kami dipertemukan. Sungguh, Allah punya cara yang tak terduga untuk menyampaikan berkah.

Baca juga: Sepuntung Asap di Tanah Suci

Wukuf di Arafah menghapus batas antara langit dan bumi. Di sinilah doa paling tulus terbang menembus langit ketujuh. Dosa-dosa jatuh seperti dedaunan kering. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba-Nya dari neraka selain hari Arafah.” (HR. Muslim).

Maka setiap detik di Arafah menjadi ladang harapan. Harapan agar hidup tak hanya singgah, tapi bermakna. Harapan agar Allah menerima segala doa dan permohonan. Harapan agar nama kita kelak disebut sebagai hamba yang berserah.

Saya menyaksikan jemaah dari berbagai bangsa dan negara. Ada yang duduk di bawah pohon, menyandarkan punggung pada batu, memegang mushaf dengan tangan gemetar. Ada pula yang berdoa sambil menatap Jabal Rahmah, tempat bertemunya Adam dan Hawa setelah diturunkan dari surga. Di sanalah cinta pertama manusia disebut dirajut kembali. Tak heran bila banyak pasangan berdoa di sana. Memohon cinta yang bersih, cinta yang kelak membawa ke surga.

Baca juga: Simfoni Sunyi Kepak Merpati di Tanah Suci

Sebagai bagian dari MCH, saya mencatat, merekam, dan berupaya menuliskan peristiwa. Tapi ada saatnya pena saya diam. Kamera saya mati. Karena yang sedang berlangsung bukan sekadar peristiwa. Ini adalah wahyu yang hidup. Dalam hening saya merenung, apakah tulisan saya akan mampu menggambarkan kedalaman makna Arafah? Apakah lensa saya bisa menangkap cahaya yang tak terlihat oleh mata biasa? Rasanya tidak. Karena Arafah adalah medan yang hanya bisa disentuh oleh jiwa.

Wukuf adalah latihan menuju hari kebangkitan. Hari di mana manusia berdiri menghadap Allah, membawa catatan amal yang tak bisa disangkal. Di Arafah, kita latihan telanjang dari kemewahan. Kita latihan jujur dalam doa. Kita latihan siap menerima takdir. Dalam latihan itu, saya belajar satu hal. Bahwa, hidup ini singkat, dan Arafah adalah alarm. Sebuah peringatan keras bahwa kita semua sedang dalam perjalanan pulang.

Saya teringat doa Nabi Ibrahim AS, yang selalu dibacakan dalam momen-momen seperti ini: “Rabbi habli hukman wa alhiqni bish-shalihin. Waj’al li lisana shidqin fil akhiriin. Waj’alni min waratsati jannatin na’im.” Doa agar diberikan hikmah, disandingkan dengan orang-orang saleh, diberi nama baik, dan menjadi pewaris surga. Betapa sederhana, tapi dalam. Karena hidup bukan tentang seberapa tinggi kita naik, tapi seberapa lurus jalan pulang kita.

Baca juga: Hajar Aswad dan Nama Ibu

Langit mulai gelap. Angin Arafah berbisik, seakan membawa pesan dari para malaikat yang turun menyaksikan ibadah wukuf. Saya duduk bersila di depan tenda. Sambil menunggu penjemputan bus. Mata saya menerawang. Dalam diam, saya menyadari bahwa Arafah bukan tempat, tapi keadaan. Keadaan di mana hati kita bersih dari prasangka. Keadaan di mana doa menjadi bahasa utama. Keadaan di mana manusia sadar bahwa ia tak memiliki apapun, kecuali harapan akan rahmat Tuhannya.

Ketika malam benar-benar jatuh dan kendaraan mulai bersiap menuju Muzdalifah, saya berjalan perlahan. Tak ada kata, tak ada obrolan. Hanya desir angin, dan zikir dalam hati. Di atas langit Arafah, bintang-bintang bersinar malu-malu. Tapi saya tahu, cahaya terbesar bukan dari langit. Cahaya itu dari hati-hati yang berserah, di padang ini, pada hari ini. Semoga kelak, saat kita benar-benar dikumpulkan di Mahsyar, kita telah belajar dari Arafah: tentang pasrah, tentang sabar, tentang pulang.

Semoga Allah menerima ibadah haji kita dan menjadikannya sebagai haji yang mabrur. Amin. (*/bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News

Kami mengajak Anda untuk bergabung dalam WhatsApp Channel KabarBaik.co. Melalui Channel Whatsapp ini, kami akan terus mengirimkan pesan rekomendasi berita-berita penting dan menarik. Mulai kriminalitas, politik, pemerintahan hingga update kabar seputar pertanian dan ketahanan pangan. Untuk dapat bergabung silakan klik di sini

Penulis: M. Sholahuddin


No More Posts Available.

No more pages to load.